Pemerintah seringkali bicara mengenai ketahanan pangan, tetapi setiap kali pemerintah membicarakan ini salah satu permasalahan mendasar yang terus muncul adalah regenerasi petani. Rata-rata usia petani Indonesia kini telah mencapai 47 tahun dan jumlah rumah tangga petani menurun lebih dari 5 juta dalam dua dekade terakhir, data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2023). Sangat ironis, padahal banyak sekali wacana mengenai "kemandirian pangan" dan "pertanian modern", minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian ini justru terus merosot. Pertanyaan yang harus diajukan bukan lagi mengapa pertanian penting, tetapi mengapa menjadi seorang petani tidak lagi dianggap penting bahkan tidak menarik bagi kalangan anak muda.
Imajinasi sosial mengenai siapa itu petani menjadi permasalahan utama yang harus dibenahi. Dalam banyak narasi media dan percakapan publik, petani acap kali digambarkan sebagai sosok tua, miskin, dan tertinggal. Citra ini telah terbentuk sejak lama, diakibatkan sistem ekonomi yang tidak berpihak dan kebijakan pembangunan yang lebih menonjolkan sektor industri dan jasa. Akibatnya, anak muda sering berpikir bahwasanya bertani bukanlah cita-cita, melainkan jalan akhir bagi mereka ketika sudah menemui kebuntuan.
Penelitian oleh Asian Development Bank (ADB, 2023) menunjukan bahwa terdapat banyak persepsi negatif terhadap sektor pertanian yang menjadi hambatan utama regenerasi petani muda di Asia Tenggara. Sementara itu, survei dari Kementerian Pertanian (Kementan, 2022) menemukan bahwa lebih dari 60% anak muda di pedesaan menganggap bertani itu "tidak menjanjikan secara ekonomi". Ketika era ini dipenuhi profesi digital yang lebih prestisius dan dianggap "keren" bagi anak muda, pekerjaan yang identik dengan lumpur dan sawah dipandang menjadi simbol masa lalu yang ingin ditinggalkan.
Padahal, dibalik citra lama itu, petani pada masa kini sedang berusaha untuk cepat adaptasi. Seperti pada sebagian kecil petani di Yogyakarta, Bali, dan Malang, mereka sudah menggunakan teknologi drone, sensor tanah, hingga aplikasi cuaca untuk mempermudah kerja mereka di kala bertani. Namun, mereka masih menjadi sebuah pengecualian, bukan kebiasaan baru. Masalahnya bukan pada potensi, tetapi pada ekosistem yang belum mendukung, seperti modal terbatas, akses lahan sulit, dan kebijakan pertanian yang masih berpihak pada petani besar (BRIN, 2023).
Bertani bukan hanya pekerjaan, ia adalah cara hidup bagi sebagian orang. Namun struktur ekonomi desa yang berubah drastis, membuat cara hidup ini kini sulit untuk dipertahankan. Alih-alih menjadikan fungsi lahan terus meningkat, sementara itu harga hasil tani sering tak sebanding dengan biaya produksi awal mereka. Pada akhirnya petani muda sering menghadapi dilema, ketika mereka mencoba untuk berinovasi tetapi sistem distribusi dan pasar tidak memberi ruang.
Menurut penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP, 2022), margin keuntungan dari petani kecil Indonesia rata-rata hanya 10-15% dari nilai jual akhir di pasar. Sementara rantai pasok panjang membuat keuntungan lebih besar jatuh ke tangan tengkulak dan distributor. Bagi anak muda yang hidup di era ekonomi digital, logika ekonomi seperti ini terasa tidak rasional. Maka, pilihan yang lebih "masuk akal" adalah bekerja di kota, menjadi pegawai, pekerja kreatif, atau konten kreator, ketimbang mempertahankan lahan warisan keluarga yang tak lagi produktif.
Terlebih, ruang untuk anak muda di desa sering kali tertutup oleh struktur sosial yang hierarkis. Ide inovatif mereka sering tidak diterima oleh kelompok tani yang didominasi generasi tua. Dalam banyak kasus, anak muda yang mencoba memperkenalkan sistem pertanian organik kepada masyarakat sekitar desa, pemasaran digital hasil tani, atau wisata edukatif pertanian sering dianggap "tidak realistis" oleh generasi terdahulu itu. (Nugroho, 2021). Akibatnya, inovasi yang dibuat oleh anak-anak muda tersebut sering kali mati sebelum cepat tumbuh.
Masa depan pertanian di Indonesia tidak akan ditentukan oleh berapa banyak traktor yang dibeli pemerintah, melainkan oleh bagaimana generasi muda memaknai ulang profesi petani. Untuk itu, kita perlu mengubah narasi dari "petani sebagai korban" menjadi "petani sebagai pencipta." Artinya, petani bukan lagi hanya penggarap tanah, melainkan pengelola pengetahuan, inovasi, dan teknologi.
Beberapa komunitas muda telah menunjukkan arah baru ini. Misalnya, Kampung Organik Cibodas di Lembang dan Komunitas Petani Muda Keren di Jawa Tengah, yang menggabungkan pertanian organik dengan pemasaran digital melalui media sosial (Raharjo, 2022). Mereka memposisikan petani sebagai entrepreneur hijau yang menggabungkan nilai ekonomi, keberlanjutan, dan kreativitas. Model semacam ini menunjukkan bahwa bertani bisa tetap modern tanpa kehilangan akar lokalnya.
Namun, agar model seperti ini bisa tumbuh luas, dibutuhkan dukungan kebijakan dan pendidikan yang berpihak pada generasi muda desa. Program regenerasi petani tidak cukup hanya berupa pelatihan teknis; ia harus menyentuh aspek kultural dan imajinatif yang membangun rasa bangga menjadi petani (Susanto, 2023). Sekolah dan universitas pertanian perlu memperkenalkan pertanian bukan hanya sebagai ilmu, tetapi sebagai gaya hidup masa depan yang berkelanjutan.
Menjadi petani tidak seharusnya menjadi pilihan terakhir. Ia bisa menjadi pilihan pertama, jika negara dan masyarakat mampu mengubah cara kita melihatnya. Anak muda tidak enggan bertani karena tidak mencintai tanahnya, tetapi karena mereka tidak melihat masa depan di dalamnya (FAO, 2024). Tugas generasi kita adalah menghadirkan masa depan itu: melalui teknologi yang adil, kebijakan yang berpihak, dan imajinasi sosial yang baru.