Lihat ke Halaman Asli

Man in a Hole

Diperbarui: 13 Agustus 2025   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Gambar orang yang sedang melihat ke dalam lubang. (Sumber: IMDb)

Di dunia film, ada satu pola cerita yang diam-diam sering dipakai, dan entah kenapa selalu berhasil bikin penonton betah dari awal sampai akhir. Man in a Hole. 

Coba bayangin, seorang tokoh hidupnya biasa-biasa aja, lalu tiba-tiba jatuh ke dalam 'lubang' yang dalam. Bisa berupa kemiskinan, kehilangan, atau bahkan keputusasaan. Lalu, pelan-pelan, dia berjuang, dan akhirnya berhasil keluar dari lubang itu dengan cara yang bikin kita ikut lega, bahkan bangga.

Peneliti dari University of Vermont pernah membedah lebih dari enam ribu naskah film dan menemukan bahwa cerita dengan pola ini berpeluang besar jadi hit di box office. 

Alasannya sederhana, kita semua pernah 'jatuh' dalam hidup. Jadi saat menonton, kita merasa relate. Kita tahu rasanya terpuruk, dan kita ingin melihat ada jalan keluar, setidaknya di layar lebar.

Ambil contoh The Pursuit of Happyness (2006). Chris Gardner awalnya hidup pas-pasan, lalu kehilangan rumah, pekerjaannya, dan bahkan harus tidur di toilet umum sambil memeluk anaknya. Tapi dia terus berjuang sampai akhirnya berhasil jadi pialang saham. Endingnya memang bahagia, tapi yang bikin kita terharu adalah proses jatuh-bangunnya.

Atau Life of Pi (2012), kisah Pi Patel yang selamat dari kecelakaan kapal dan harus bertahan di lautan bersama seekor harimau Bengal di atas sekoci. Dia kehilangan keluarganya, rumahnya, bahkan daratan di bawah kakinya, tapi di tengah keterasingan itu, dia menemukan kekuatan yang bahkan dia sendiri tidak tahu ia miliki.

Formula ini juga dipakai di film animasi seperti Finding Nemo (2003). Marlin, sang ikan badut, kehilangan anaknya karena diculik penyelam. Dia menempuh perjalanan penuh bahaya dan tantangan untuk menemukannya kembali. Atau Up (2009), di mana Carl, seorang kakek yang baru saja kehilangan istrinya, memutuskan menerbangkan rumahnya ke Amerika Selatan demi memenuhi janji lama. Di perjalanan, ia menemukan kembali alasan untuk hidup.

Yang menarik, 'lubang' dalam Man in a Hole tidak selalu berbentuk bencana besar atau ancaman fisik. Kadang, lubang itu ada di dalam hati. Eat Pray Love (2010) adalah contohnya. Setelah bercerai, Liz Gilbert merasa kosong dan hilang arah. Perjalanannya keliling dunia untuk makan di Italia, berdoa di India, dan menemukan cinta di Bali, adalah proses naik-turun emosional yang sangat personal, tapi justru itulah yang membuat banyak orang merasa dekat dengan ceritanya.

Robert McKee, guru skenario yang terkenal cerewet soal struktur cerita, pernah bilang bahwa drama adalah konflik. Dan Man in a Hole adalah bentuk konflik yang paling jujur. Karena semua orang pernah merasakan titik terendah dalam hidupnya, lalu berusaha bangkit. Inilah yang bikin pola ini timeless. Formula ini akan terus hidup selama manusia masih jatuh dan terus berusaha bangkit lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline