Lihat ke Halaman Asli

Kelahiran Hilal secara Cesar - bagian 1 [Syaikh Hamza Yusuf]

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Artikel aslinya dalam bahasa Inggris sebanyak total 39 halaman dapat dilihat di: http://www.masud.co.uk/ISLAM/misc/moonsighting/Cesarean_Moon_Births_Pt_1.pdf http://www.masud.co.uk/ISLAM/misc/moonsighting/Cesarean_Moon_Births_Pt_2.pdf Terjemah bagian 1 ini menterjemahkan hingga ke pertengahan halaman 10

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang

Beserta sholawat dan salam ke atas junjungan Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau

Kelahiran Hilal secara Cesar1

[Syaikh] Hamza Yusuf[a]

©2006

Pendahuluan

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat dan salam ke atas mahluk terbaik, junjungan sayyidina Muhammad, dan atas keluarganya serta para sahabatnya, dan semua yang mengikuti jejak langkah mereka. Maha Suci Dzat yang telah menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan meletakkan matahari dan bulan dalam orbit yang akurat sebagai alat bantu manusia untuk mengukur waktu dan mempelajari ilmu perhitungan.

Al-Qur’an adalah wahyu terakhir yang diturunkan kepada umat manusia. Petunjuknya akan tetap bertahan hingga hari kiamat, dan tidak ada petunjuk lain yang maksum yang akan diturunkan ke dunia hingga kembalinya Nabi Isa al-Masih yang akan menegaskan kebenaran Al-Qur’an dan menjabarkan maknanya secara jernih bagi umat Nabi Muhammad SAW.

_____________________________________

1Makalah ini diberi judul “Kelahiran Hilal secara Cesar” karena dua alasan. Seperti kelahiran secara cesar, pengumuman awal bulan qomariyah yang terlalu dini yang sepanjang sejarah mengikuti perhitungan hisab adalah terutama dikarenakan memenuhi kebutuhan perencanaan/penjadwalan yang diperlukan oleh birokrasi modern. Yang kedua, adanya ultimatum dari Cesar (Kaisar Romawi Kuno)-lah yang telah memaksa kaum Yahudi zaman Romawi kuno untuk meninggalkan ru’yah dan menggunakan hisab.

[a][catatan penerjemah: Syaikh Hamza Yusuf Hanson adalah seorang ulama’ ahlus sunnah wal jama’ah berkebangsaan Amerika Serikat. Beliau masuk Islam pada usia 17 tahun (tahun 1977) dan kemudian menimba ilmu agama ke Timur Tengah (UAE, Arab Saudi) lalu ke Maroko hingga ke pelosok Afrika Barat (Mauritania). Di Mauritania beliau belajar ilmu Fiqh madzhab Maliki dari ulama’ besar dan mufti Mauritania saat itu Syaikh Murabit al-Hajj. Beliau adalah pendiri Zaytuna College di Berkeley, California; yang merupakan universitas Islam pertama di Amerika Serikat.]

_____________________________________

Makalah ini membahas perdebatan mutakhir mengenai penentuan awal dari bulan kalender Qomariyah dengan menggunakan melihat dengan mata kepala (ru’yah) atau dengan menggunakan perhitungan matematis (hisab). Tulisan ini akan mencoba menjelaskan asal-usul perbedaan ini, pendapat yang diambil di masa lampau, dan kesimpulan saya pribadi mengenai hal ini.

Dikarenakan kompleksnya pembahasan ini, saya mengasumsikan bahwa pembaca memiliki cukup pengetahuan tentang pembahasan hukum fiqih, namun beberapa istilah akan dijelaskan untuk membantu pembaca muslim yang awam. Pembahasan seputar astronomi juga akan mudah dipahami oleh pembaca awam.

Saya juga ingin menegaskan sejak awal bahwa anggota Fiqh Council of North America adalah teman-teman saya pribadi dan sekaligus juga saudara yang dekat di hati. Tidak ada dalam tulisan ini sentimen pribadi, karena cinta dan hormat saya kepada mereka tidak akan tergadaikan.

Catatan: semua emphasis (cetak tebal/miring) di tulisan ini adalah dari saya sendiri. [catatan penerjemah: semua sisipan/tambahan dari penerjemah akan diapit oleh kurung kotak [] seperti kalimat ini sendiri.]

Aksioma

Ada empat sumber hukum yang disepakati bersama:

1) Al-Qur’an, yang pertama dan paling utama, 2) Sunnah, yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh jalur yang terpercaya, 3) konsensus para ulama’ Islam (ijma’), dan terakhir, 4) logika analogi (qiyas) yang digunakan sebagai pilihan terakhir ketika bukti yang jelas dan tegas (definitif) tidak ditemukan.

Namun dari keempat sumber hukum ini, dua sumber yang disepakati untuk digunakan secara mandiri adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW. Nabi Muhammad SAW  bersabda: “Aku tinggalkan kepadamu dua hal yang apabila kamu berpegang teguh kepada keduanya kamu tidak akan pernah tersesat: Kitab Allah dan Sunnahku”.

Di hadits yang lain Nabi Muhammad SAW berkata kepada Mu’adz sebelum mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim, “Apa yang akan kamu gunakan dalam mengambil keputusan?”.

Mu’adz menjawab, “Kitabullah”.

Nabi kemudian bertanya, “Apabila tidak diketemukan di kitab Allah?”.

Mu’adz menjawab, “Maka di sunnah Nabi”.

“Dan kalau tidak diketemukan di Sunnah?”, tanya Nabi.

“Saya akan berusaha dengan pikiran saya dan saya tidak akan menyerah” yang kemudian Nabi menimpali “Maha Suci Allah yang telah memberikan kesuksesan kepada utusan dari utusanNya”.

Hadits ini memaparkan metodologi yang mesti diikuti oleh ulama’ manapun yang ingin memahami suatu permasalahan fiqih: pertama, ulama’ harus melihat al-Qur’an, lalu ke Sunnah, kemudian ke konsensus ulama’-ulama’ sebelumnya, dan terakhir baru dia menggunakan pemikirannya secara mandiri (ijtihad).

Namun, ijtihad hanya dibolehkan apabila tidak ada teks yang jelas dan tegas (nash) dari Al Qur’an dan Sunnah; ini didasarkan atas kaidah fiqih “Tidak ada ijtihad jika ada nash”.

Satu lagi aksioma penting adalah Al-Qur’an dan Sunnah keduanya itu dalam bahasa Arab, maka setiap penafsiran harus sesuai dengan makna bahasa dari teks tersebut yang selaras dengan penggunaannya di masa diturunkannya yakni antara 610-632 M. Adalah terlarang menafsirkan menggunakan makna bahasa Arab dari selain era ini. Kita bisa mempelajari syair-syair Arab pra-Islam untuk dapat memahami makna dari kata-kata Arab ini karena penggunaan Bahasa Arab pada era itu dipergunakan di masa diturunkannya Al Qur’an.

Daya upaya yang sangat besar telah dilakukan oleh para pendahulu kita untuk menjaga makna-makna dari Bahasa Arab pada era Rasulullah, dan tidak ada komunitas agama manapun di muka bumi ini yang menyetarai umat Islam dalam hal kemantapan atas keaslian historis teks [kitab] suci dan tingginya keilmuan makna kata dari teks [kitab] suci; pertama karena janji Allah bahwa Al-Qur’an akan dijaga olehNya dan kemudian usaha keras dari para ulama’ yang telah menafsirkan Al-Qur’an dan menjaga Bahasa Arab era itu dalam berjilid-jilid kamus leksikon [makna kata] di abad-abad awal Islam.

Permasalahan

Kalender Islam adalah kalender lunar [bulan, qomariyah]. Kalender lunar mengikuti fase-fase bulan, dimulai dengan bulan sabit [hilal] dan berakhir dengan konjungsi bulan dan matahari [bulan dan matahari berada dalam satu garis lurus bersama bumi, disebut juga: ijtima’] dalam gerak semu [seolah] mengelilingi bumi.

Durasi waktu untuk satu putaran lunar atau siklus sempurna bulan kira-kira sekitar 29.5 hari. Ini adalah angka rata-rata dikarenakan bulan tidak bergerak dalam kecepatan yang tetap dan tidak juga bergerak dalam lingkaran sempurna melainkan dalam orbit yang ellips mengelilingi bumi.

Siklus bulanan bulan bervariasi antara 29.2 hari dan 29.8 hari, yang berarti sepanjang tahun diperkirakan akan ada 6 bulan yang memiliki 29 hari, dan 6 bulan yang memiliki 30 hari.

Total jumlah hari dalam tahun lunar (qomariyah) adalah 354 hari, yakni 11 hari lebih pendek ketimbang tahun solar (syamsiyah) umumnya [yang punya 365 hari]. Ini menjadikan tahun qomariyah senantiasa bergerak maju sepanjang tahun syamsiyah yang tetap ketimbang berawal dan berakhir di saat yang sama dengan tahun syamsiyah.

Banyak umat sebelum Islam yang menyisipkan atau menambahkan hari ke kalender qomariyah untuk menjadikannya konsisten mengikuti kalender syamsiyah. Ini memungkinkan mereka untuk mengikuti kalender qomariyah tanpa harus bergeser dari musim-musim yang tetap dalam kalender syamsiyah.

[catatan penerjemah: Di belahan bumi yang memiliki 4 musim seperti Amerika Serikat tempat penulis berada, setiap musim akan tetap mengikuti kalender syamsiyah. Misalnya di belahan bumi utara, musim dingin selalu jatuh pada bulan Desember hingga Februari, musim semi pada bulan Maret hingga Mei, dan seterusnya.]

Penyisipan hari ini adalah praktik yang dilakukan kaum Yahudi di masa lampau hingga saat ini, dimana mereka menyisipkan bulan ke-13 setiap 3 tahun untuk membikin kalender qomariyah mereka beriringan dengan kalender syamsiyah. Menariknya, kaum Yahudi awalnya mengikuti kalender qomariyah yang murni [tanpa penyisipan] dan mulai menyisipkan di era yang lama setelahnya. Kaum Arab sebelum datangnya Islam menggunakan kalender qomariyah dengan menghitung [hisab] dan menyisipkan hari untuk memenuhi kebutuhan mereka sewaktu-waktu. Namun pada umumnya mereka bersandar pada penglihatan dengan mata kepala [ru’yah].

Kalender Qomariyah Islam tidak boleh diutak-atik, sebagaimana Nabi SAW melarang penyisipan hari dalam khutbah terakhir beliau [khutbah wada’, perpisahan] ketika haji wada’. Islam mengutuk penyisipan hari, menganggapnya sebagai penolakan hukum alam yang sudah kodratnya ditentukan oleh Allah dalam kalender qomariyah yang disediakanNya untuk manusia dalam mengukur waktunya.

Karena inilah, dalam beberapa hadits yang mencapai level tidak mungkin salah (mutawatir) dan kemudian berarti setara kekuatan hukumnya dengan ayat al-Qur’an, Nabi SAW memerintahkan umat Islam untuk mendasarkan awal bulannya dengan melihat hilal secara fisik [ru’yah] dan kemudian memerintahkan bahwa apabila [hilal] tidak terlihat di akhir hari ke-29 dalam senja yang cerah, atau apabila awan atau halangan lain di atmosfir menutupi terlihatnya [hilal], maka untuk menyempurnakan 30-hari bulan sebelumnya dan memulai bulan baru pada terbenamnya matahari keesokan harinya, yang berarti pada hari ke-31 semenjak terlihatnya hilal terakhir kali [bulan sebelumnya] atau lengkapnya perhitungan 30 hari [bulan sebelumnya].

Namun dunia modern adalah dunia yang sangat membutuhkan ketepatan waktu jauh melebihi dunia pra-modern sebelumnya disebabkan karena banyak faktor, seperti jam mekanis yang akurat, kereta-api, pesawat dan deadline. Karena inilah, pemerintah Arab Saudi –yang telah menggunakan kalender qomariyah untuk segala aktivitasnya- pada akhirnya memutuskan untuk mengandalkan hisab sebagai dasar kalender mereka untuk memastikan bahwa semua orang menggunakan tanggal-tanggal yang sama serta menentukan tanggal-tanggal lebih awal demi memfasilitasi penjadwalan dan juga kebutuhan akurasi waktu bagi masyarakat modern.

Kriteria yang mereka pergunakan dalam perhitungan [hisab] mereka adalah terjadinya konjungsi bulan baru sebelum terbenamnya matahari  [ijtima’ qoblal ghurub] mengawali hari pertama dalam bulan kalender qomariyah mereka. Meskipun ini sangat nyaman/memudahkan, perhitungan ini bisa berbeda dengan terlihatnya hilal yang sebenarnya [ru’yah] bahkan hingga selisih 2 hari. Kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh kenyataan ini telah benar-benar terjadi di masa lampau.

Muslim di Amerika Utara [AS dan Kanada] tidak menggunakan kalender qomariyah selain keperluan ibadah dan di masa lampau telah menggunakan berbagai metode dalam penentuan bulan-bulan qomariyah.

Akhir-akhir ini, beberapa pemuka masyarakat Muslim [Amerika Utara] telah memutuskan bahwa akan sangat lebih baik bagi umat Islam [di Amerika Utara] untuk bersandar kepada perhitungan [hisab] dalam rangka memfasilitasi kebutuhan penjadwalan semua orang dan juga penentuan hari raya ’Id [Idul Fitri dan Idul Adha] dengan harapan ini akan membantu komunitas Muslim mendapat pengakuan dari pemerintah [Amerika Serikat dan Kanada] untuk menjadikannya hari libur [nasional], yang tentunya akan perlu untuk diketahui sejak setahun sebelumnya ketika kalender [nasional] disusun. Pertimbangan-pertimbangan finansial juga disebutkan [untuk menyokong penggunaan hisab].

Dan terakhir, pentingnya penyatuan umat Islam juga disebutkan sebagai alasan untuk bersandar pada penghitungan [hisab] dalam menyusun kalender qomariyah dari jauh hari, mengingat komunitas Muslim [Amerika Utara] terlihat berpecah-belah dalam masalah ini setiap tahunnya; dan ini, meskipun tidak sampai mengakibatkan perseteruan di masjid-masjid dan komunitas-komunitas, bagaimanapun tetap menimbulkan rasa tidak enak hati dan konflik, belum lagi kebingungan di kalangan masyarakat komunitas [Muslim Amerika Utara].

Untuk mengatasi permasalahan yang nyata ini, Islamic Society of North America (ISNA), bekerjasama dengan Fiqh Council [Dewan Fiqh]-nya dan beberapa pakar matematika dan astronomi, telah memutuskan bahwa Muslim di Amerika Utara harus mengikuti kalender qomariyah berdasarkan perhitungan [hisab]. Mereka berpendapat bahwa ilmu astronomi telah sangat maju dan bagan visibilitas [hilal] dapat disusun hingga ke tingkat akurasi yang tinggi; [menurut mereka] ini tidak bertentangan dengan Sunnah, sebagaimana beberapa ulama’ klasik dan yang setelahnya telah menerima hisab; dan semakin banyak ulama’ modern yang condong kepada penggunaan hisab.

Menyikapi keputusan ini, beberapa imam di Amerika Utara mengumumkan penolakan mereka atas keputusan ISNA ini dan menulis berbagai makalah mengenai pandangan mereka dari perspektif fiqh dan syari’ah. Ini telah mengakibatkan perpecahan di beberapa komunitas kita dan ini tentunya merupakan permasalahan yang musti ditangani dengan hati-hati, lemah-lembut dan disertai keinginan untuk meluruskan dan memperkaya satu sama lain dalam diskusi yang santun dan bertujuan untuk menemukan kebenaran dan bukan kekeraskepalaan mengikuti pendapat satu atau lainnya.

Pada kenyataannya, ada beberapa pendapat terkait ru’yah. Yang paling terkemuka meliputi ru’yah lokal [di daerah masing-masing], ru’yah di manapun wilayah Amerika Utara, ru’yah di manapun seluruh dunia, ru’yah yang dihitung dengan hisab [metode hisab imkanur ru’yah seperti di lakukan pemerintah Indonesia, menghitung kemungkinan terlihatnya hilal bukan sekedar mulai terjadinya hilal (wujudul hilal) seperti yang diikuti oleh Muhammadiyah di Indonesia], dan mengikuti Arab Saudi (karena haji dilakukan di sana, dan beberapa berpendapat bahwa karena siapapun yang naik haji harus mengikuti Arab Saudi dalam penentuan [tanggal] haji, maka logis bila mengikuti Arab Saudi juga untuk penentuan [tanggal] Ramadhan, terutama karena Arab Saudi adalah satu-satunya negara di dunia yang menggunakan kalender qomariyah untuk keperluan sehari-hari).

Pendapat lain yang populer adalah mengikuti anggota keluarga yang tinggal di negara-negara Muslim, karena pilihan untuk menelepon ibu, ayah, nenek atau kakek di luar negeri dan mengikuti tanggal kalender mereka di Damaskus, Kairo, Karachi atau mana saja tentu secara emosional menenangkan, terutama ketika mengucapkan selamat menyambut Ramadhan atau menyambut Idul Fitri, meskipun kenyataannya mereka musti menelepon memberi ucapan ”Eid Mubarak” ke keluarga di negara asal ketika mereka baru bangun pagi menyelesaikan puasa terakhir mereka karena keluarga di negara asal berada di zona waktu yang belasan jam lebih awal.

Pokok permasalahannya adalah, memang benar ada banyak cara untuk menentukan awal Ramadhan di Amerika Utara dan setiap kelompok menyuguhkan alasan pendukung pendapat mereka. Kalau begitu siapa yang mesti kita ikuti?

Al-Qur’an dan Bulan

Al-Qur’an menyatakan bahwa jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan qomariyah. ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” QS 9:36.

Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, seorang ulama’ aqidah dan tafsir terkemuka, menjelaskan makna ayat ini: ”Ayat ini diperuntukkan untuk menegaskan bahwa hukum syari’ah ditentukan mengikuti bulan-bulan qomariyah yang ditentukan dengan bulan sabit (hilal) tanpa memperhitungkan kalender syamsiyah.”2

Maka kesimpulannya, al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menggunakan kalender qomariyah untuk urusan ibadah, namun tidak harus untuk urusan duniawi. Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi menjelaskan hal ini ketika menafsirkan ayat, ”Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: ”Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” QS 2:189:

Hikmah di balik ini adalah Allah telah menjadikan matahari dan bulan dua dari ayat-ayatNya, dan diriwayatkan dari beberapa sumber bahwa Dia menugaskan pada masing-masing matahari dan bulan seorang malaikat dan menakdirkan untuk mereka dua tempat terbitnya. Dia menggerakkan keduanya diantara kedua tempat terbit itu [sepanjang tahun] untuk dua manfaat: satu duniawi, yakni kalender matahari, dan satunya untuk keagamaan, yakni berdasarkan bulan.3

_____________________________________

2 An-Nasafi, Tafsir al-Nasafi (Beirut: Darun Nafa’is, 1996), 1,2:181.

3 Abu Bakar bin al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Darul Kutubul ’Ilmiyyah, 1988), 1:140.

_____________________________________

Karena dua kewajiban ibadah [puasa dan haji] dan banyak ibadah sunnah memiliki waktu-waktu yang ditentukan di dalam sepanjang tahun, bulan-bulan qomariyah telah diberikan [Allah] untuk menetapkan waktu-waktu tersebut.

Kata dalam ayat tersebut yang digunakan [dalam ayat tersebut] untuk ”waktu-waktu” adalah mawaqit, yang diturunkan dari kata waqt, yang berarti ”waktu”. Perbedaan dari kata waqt dan kata Arab yang lain yang juga menunjukkan waktu, zaman, adalah: zaman merupakan waktu absolut dan merujuk kepada pergerakan benda-benda langit yang menunjukkan dari titik awalnya ke titik akhirnya.

Jadi zaman adalah pembahagian waktu menjadi masa lampau, masa kini dan masa depan, sementara waqt adalah zaman ketika ia merujuk kepada titik tertentu di dalam aliran waktu.

Maka dari itu, bulan sabit [hilal] diperuntukkan untuk menentukan waktu-waktu yang spesifik/tertentu di dalam aliran waktu. Sebuah aspek yang menarik dari ayat tersebut di atas adalah ayat ini diturunkan menjawab orang-orang yang bertanya kepada Nabi SAW tentang bulan sabit [hilal], dan mereka saat itu bertanya untuk mencari tahu bagaimana mekanisme terjadinya, yakni, sains dari bulan sabit [hilal].

Mereka ingin tahu bagaimana bulan bisa melakukannya [menghilang dan kemudian muncul berwujud sabit]. Namun, jawaban dari al-Qur’an mencerahkan mereka bahwa yang lebih penting ketimbang pertanyaan mereka tentang ”bagaimana adalah pertanyaan ”mengapa”. Inilah perbedaan esensial antara sains dengan agama, yang diringkas dalam satu ayat al-Qur’an yang sangat monumental ini.[b]

Kelanjutan ayat tersebut setelah pertanyaan [tentang hilal] dan jawaban dari Allah adalah, ”Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, ...”. Sebagian ahli tafsir al-Qur’an memahaminya sebagai, ”Tanyakanlah pertanyaan yang tepat: mengapa, bukan bagaimana.”.

_____________________________________

4 Abu Sa’ud, Irshad al-Aql as-Salim ila Mazaya al-Qur’an al-Karim (Beirut: Darul Ihya’ut Turats al-‘Arabi, 1994), 203.

[b] [catatan penerjemah: ilmu pengetahuan alam (sains) hanya menjelaskan ’bagaimana’ alam semesta bekerja; sementara agamalah yang menjelaskan ’mengapa’ alam semesta didesain oleh Allah sedemikian rupa. Inilah mengapa banyak ilmuwan sains barat yang menjadi atheis (na’udzubillah min dzalik) tidak mempercayai Tuhan dikarenakan mereka sibuk berkutat dengan ’bagaimana’ mekanisme alam semesta sementara tidak begitu merenungkan ’mengapa’ desain alam semesta sedemikian, yang hakekatnya adalah diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan dan hikmah tertentu: robbana ma kholaqta hadza bathila – tidaklah Engkau ciptakan ini sia-sia.]

_____________________________________

Kata yang kita pakai dalam bahasa Inggris [juga Indonesia] untuk bulan [month] diturunkan dari kata bulan [moon]. Kenyataannya kalender manusia yang paling awal adalah kalender bulan (qomariyah), dan dari kalender qomariyah-lah serta kebutuhan manusia untuk menentukan pergerakan waktu-lah, terutama pergerakan tahun itu sendiri, yang mengakibatkan berkembangnya ilmu matematika.

Tujuan [penciptaan bulan dan matahari] ini dengan jelas dipaparkan oleh ayat, ”Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya mazilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” QS 10:5.

Menurut Ibnu Abbas dan lainnya, ”...supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)...” bermakna manzilah-manzilah (tempat-tempat) bulan menjadikan manusia dapat menghitung di fase bulan manakah saat itu, yang kemudian menjadikannya bisa menghitung hari-harinya, mengingat ada 28 fase bulan sesuai dengan manzilah bulan dan pada hari ke 29 bulan menghilang untuk satu atau dua hari untuk kemudian muncul kembali sebagai bulan sabit [hilal] yang baru lahir.

Namun, ini juga berarti tantangan kebutuhan manusia untuk mengukur waktu telah mendorong manusia untuk belajar dan mengembangkan ilmu matematika (hisab) dan dalam pengembangannya ilmu pengetahuan alam. Maka, matahari dan bulan mengikuti orbit yang jelas telah memungkinkan manusia untuk mengamatinya dan sembari itu meningkatkan pengetahuan kita atas ilmu sains.

”Sebuah pendapat yang kuat dapat diajukan yakni sains itu sendiri awalnya dipicu oleh keterpaksaan manusia untuk dapat memahami berjalannya waktu, untuk bergulat dengan arus majunya kehidupan dan menetapkan ke atasnya runut tata-aturan.”5

Sumbangsih umat Islam dalam ilmu matematika teramat sangat besar dan kebanyakannya dikarenakan ilmuwan Muslim berusaha untuk memperkirakan kapan munculnya bulan baru [hilal], mencari arah kiblat yang presisi, dan menentukan bagian harta waris [ilmu fara’idh] secara akurat.

Umat Islam telah mengembangkan lebih jauh ilmu trigonometri bidang datar dari Yunani serta trigonometri bidang bulatan bola; menariknya, ilmuwan Islam memisahkan ilmu trigonometri bidang bulatan bola dari ilmu trigonometri bidang datar, karena mereka menggunakannya untuk memecahkan permasalahan astronomi [bola langit] dan geografi [bola bumi].

Ini memungkinkan mereka untuk membikin prediksi astronomis yang sangat rumit dan menghasilkan hasil yang lebih hebat dan akurat ketimbang peradaban-peradaban sebelumnya, yang mereka juga memiliki sistem perhitungan yang juga kompleks dalam mengukur waktu dan pergerakan benda langit.

Untuk mengakhiri bagian ini, ada sebuah konsensus di antara seluruh umat Islam bahwasanya dasar dari kalender agama kita adalah bulan, yang ditentukan oleh bulan sabit [hilal] sebagai wujud kepatuhan kepada ayat [al-Qur’an] tersebut, dan bahwa penyisipan hari untuk menyelaraskan tahun-tahun adalah terlarang.

Kalender Penanggalan di Arab pra-Islam

Kalender yang digunakan oleh kaum Arab sebelum datangnya Islam adalah kalender bulan  [qomariyah] yang disisipi [tambahan hari], yang memungkinkan mereka untuk menyelaraskan dengan beberapa perayaan dalam penanggalan matahari [syamsiyah] serta untuk memanipulasi awal dan akhir bulan haram untuk keperluan peperangan.

Di masa sebelumnya, kalender Arab adalah kalender campuran bulan-matahari yang disertai penyisipan, inilah mengapa beberapa nama bulan qomariyah mencerminkan musim-musim [dalam tahun matahari] yang terkait[c]. Sehingga, saat kedatangan da’wah kerasulan Nabi Muhammad SAW, bulan-bulan haram yang awalnya berasal dari ajaran Nabi Ibrahim, telah bergeser kehilangan akurasinya berbanding aturan wahyu yang sebenarnya, disebabkan oleh penyisipan-penyisipan yang telah dilakukan orang Arab pada bulan-bulan qomariyah. Karena inilah, di khutbah terakhir beliau, Nabi SAW melarang penyisipan hari ke dalam kalender qomariyah.

_____________________________________

5 David Duncan, The Calendar (London: Fourth Estate, 1999), xvii

[c][catatan penerjemah: Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul Akhir masing-masing bermakna literal: awal dari musim semi dan akhir dari musim semi. Jumadil Awwal dan Jumadil Akhir bermakna awal dan akhir dari musim kemarau.] _____________________________________

Dalam kitabnya yang menarik tentang musim-musim dan tanda-tanda langit, ulama’ sekaligus ahli astronomi abad ke-7, Abu Ishaq al-Ajdabi, menyatakan bahwa astronom [Arab kuno] cenderung untuk menentukan bulan-bulan Arab berdasarkan perkiraan waktu perpisahan (mufaraqah) [antara garis bulan dan matahari] setelah konjungsi [ijtima’, segarisnya bulan, matahari dan bumi] antara bulan dan matahari.

Beliau menyatakan bahwa bulan pertama adalah Muharram, yang mana astronom meletakkan 30-hari, dan bulan berikutnya, Safar, ditetapkan 29-hari; demikian seterusnya berselang-seling hingga bulan terakhir Dzul Hijjah memiliki 29-hari. Setiap tahun kabisat, hari ke-30 ditambahkan ke bulan Dzul Hijjah untuk menutup pecahan hari yang terjadi, yang mana kira-kira tiga-persepuluh hari per bulannya. Abu Ishaq al-Ajdabi melanjutkan:

Inilah apa yang para astronom [Arab kuno] telah nyatakan mengenai perhitungan periode bulan Arab. Ini berdasarkan pada metode penghitungan titik perpisahan [garis bulan dan garis matahari] setelah konjungsi ([metode] hisab al-mufaraqah).6Namun kaum Arab tidak mengandalkan metode [perhitungan] ini. Mereka selalu mengandalkan [terlihatnya] bulan sabit [hilal] dalam kehidupan mereka. Kapanpun mereka melihat bulan baru, dengan itu mereka memulai bulan yang berikutnya. Mereka memulai bulan berikutnya semenjak malam mulai terlihatnya bulan baru [hilal]. Mereka menyebut malam ini sebagai ”rambut dahinya bulan” (ghurrat al-syahr), dikarenakan bulan baru [hilal] di awalnya terlihat seperti ghurrah, yakni guratan atau titik putih di [dahi] wajah kuda. Menurut orang Arab, [satu] bulan tidak berakhir hingga bulan baru [hilal] terlihat kembali untuk kedua kalinya, dan sejak itulah, kemudian mereka memulai bulan kedua... Ketika Islam hadir, Islam memantapkan praktik ini.7

_____________________________________

6 Poin ini musti digarisbawahi. Jelas terlihat dari sini bahwa kaum Arab pra-Islam telah memahami konjungsi dan elongasi (mufaraqah).

Berdasarkan sebuah hadits, Nabi SAW menyatakan, “Bulan itu 29-hari, maka janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihat bulan [hilal] dan janganlah berbuka [maksudnya Idul Fitri] hingga kamu melihat bulan [hilal].” Hadits ini adalah keajaiban mu’jizat karena [satu] bulan itu tidak pernah lebih dari 29.8 hari. Perpisahan [garis bulan dan garis matahari] selalu terjadi pada hari ke-29 siklus bulan, namun apabila jumlah jam yang tersisa di hari itu tidak cukup untuk bulan sabit [hilal] muncul dari senja malam ke-30 maka [hilal] ini tidak akan bisa terlihat, dan kemudian [hilal] pasti akan bisa terlihat pada malam ke-31 terhitung dari awal bulan sebelumnya kecuali jika [bulan sebelumnya] sudah keliru, yang mana memang bisa terjadi [kekeliruan itu] namun akan kembali benar dengan sendirinya.

Poin ini tidak diperhatikan samasekali oleh yang berpendapat mendukung hisab. Bahkan kenyataannya, sebagian ulama’ menganggap fakta bahwa dalam hadits Nabi SAW menyebutkan bahwa bulan itu 29-hari sebagai sesuatu yang problematis, karena bulan itu kadang 29-hari atau 30-hari. Namun hadits ini juga sangat jelas dan selaras dengan sains modern, sebagaimana siklus bulan tidak akan pernah melebihi 29.8 hari yang berarti kurang dari 30-hari persis seperti yang Nabi SAW katakan!

Terlebih lagi, khalifah ‘Umar memerintahkan umat Islam agar tidak mempermasalahkan ukuran relatif dari bulan baru [hilal]. Beliau memberitahu umat Islam bahwa dalam beberapa bulan, [hilal] akan lebih besar dari dalam bulan-bulan yang lain, yang mana konsisten dengan ilmu modern yang menyatakan ini dikarenakan [perbedaan] jumlah jam semenjak konjungsi [ijtima’, segaris] terjadi.

Dalam suatu hadits shohih di bab puasa kitab Shohih Muslim, Ibnu ’Abbas menyampaikan kepada umat bahwa Nabi SAW memberitahunya bahwa alasan [hikmah mengapa] Allah memberi 2 hari untuk bulan dilahirkan [kembali] adalah untuk memastikan bahwa hamba-Nya akan benar-benar melihatnya!

[catatan penerjemah: bila terlalu singkat fase bulan mati alias hilangnya bulan, ada kemungkinan orang akan terlewat mengamati (baca: melihat dengan mata kepala sendiri) kapan hilang dan munculnya bulan karena terlalu cepat berlalu].

Ini adalah bukti yang jelas bahwa ru’yah [melihat dengan mata kepala sendiri] adalah ’illat, atau ratio legis [alasan/sebab dari suatu hukum] karena kata-sambung (particle, hurf) yang bermakna alasan (lam at-ta’lil) dipergunakan di hadits tersebut [li ru’yatihi dikarenakan kamu telah melihatnya (hilal)].

7 Ibnu al-Ajdabi, The Book of Seasonal Periods and Sky Signs, (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1989), 34-35 (dari sisi teks Arabnya); 24-25 (dari sisi terjemah bahasa Inggrisnya). (Catatan: saya [Syaikh Hamza Yusuf] merubah sedikit terjemahan Inggrisnya untuk akurasi [penterjemahan dari bahasa Arab].). _____________________________________

Metode bulan berselang-seling [30-hari dan 29-hari] termasuk primitif dan ditolak dianggap tidak ilmiah oleh jenius pakar lintas-ilmu (polymath) dan ahli astronomi, Abur Rayhan al-Bayruni, yang menolak serta memperolokkannya [metode ini].

Bagaimanapun juga metode ini adalah cara yang mudah dalam menentukan bulan-bulan [qomariyah] sekaligus juga sebuah sistem yang bisa mengkoreksi [selisih hari] dengan sendirinya. Kaum Arab sebelum Islam yang kala itu memahami siklus bulan atau bulan sinodis, tidak menggunakannya sebagai dasar penanggalan mereka; namun, berbeda dengan praktik penghitungan [hisab] yang dilakukan oleh kaum Yahudi akhir, kaum Arab sebelum Islam lebih memilih melihat hilal [ru’yah].

Meskipun orang modern mungkin memandang sebelah mata kepada sistem penanggalan kuno ini, faktanya adalah astronomi observasi [berdasar pengamatan, bukan perhitungan di atas kertas], dalam segala aspeknya, hanya berkembang sedikit saja dalam ribuan tahun terakhir.

Faktanya, lebih dari 2000 tahun yang lalu, Hipparchus dari Nicaea (wafat tahun 125 sebelum Masehi) berhasil menentukan panjang rata-rata dari bulan qomariyah hingga akurasi selisih kurang dari 1 detik saja berbanding perhitungan modern saat ini, dan ia juga berhasil memberikan perhitungan yang akurat tentang kemiringan bumi terhadap orbitnya (inclination of the ecliptic) dan perubahan equinox [saat dimana kemiringan bumi terhadap orbitnya tidak ke arah ataupun menjauhi matahari].8

Terlebih lagi, banyak kebudayaan kuno secara akurat memprediksi konjungsi bulan dan matahari dalam titik-titik ecliptic [orbit], yang memungkinkan mereka untuk dengan tepat meramalkan kapan terjadinya gerhana.

Satu hal yang kebanyakan orang saat ini tidak mengerti adalah, bahwa untuk menyusun sebuah kalender, baik itu lunar [qomariyah], solar [syamsiyah], atau lunisolar [gabungan qomariyah dan syamsiyah], diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai pergerakan bintang-bintang dan banyak penyesuaian yang dipelajari secara kumulatif.

Ilmuwan terkemuka saat ini, Stephen Jay Gould, dalam diskusi bersama Umberto Eco, mengatakan:

Buat apa [kita] punya kalender-kalender? [Adalah] Untuk memprediksi pola umum yang terjadi di alam.  Dalam masyarakat yang agraris, anda perlu kalender solar [syamsiyah] untuk mengetahui kapan waktu terbaik untuk menanam benih. Dalam masyarakat nelayan, anda perlu kalender lunar [qomariyah] untuk tahu pasang-surut [laut]. Namun kita tidak mungkin bisa menyusun hubungan aritmetik sederhana antara keduanya yang akan menjadikan keduanya harmonis.9

Maka, kaum Arab, yang telah menggunakan perhitungan [hisab], penglihatan [ru’yah] dan penyisipan hari dalam kalender mereka, memerlukan tingkat [keahlian] tertentu dalam yang memiliki kompleksitas yang relatif, dan kemampuan [keahlian] untuk melakukannya ada di antara orang-orang Arab pra-Islam tertentu yang bertanggung jawab langsung atas penjagaan (pencatatan) waktu, yang mana hal ini, menurut Gould, merupakan suatu fungsi dari masyarakat terorganisir manapun.

Sungguh benar, ”Maka kalender adalah sebuah sintesis yang menggabungkan pengetahuan alam/sains, kepercayaan agama dan kepentingan politik. Kalender menunjukkan bagaimana kekuasaan, agama dan ilmu pengetahuan sains berinteraksi.”10

_____________________________________

8 Jan Gullberg, Mathematics from the Birth of Numbers (New York: W.W. Norton and Company, 1997), 462.

9 Jacqueline de Bourgoing, The Calendar, History Lore and Legend (n.p.: Discoveries Harry N. Abrams Publisher, n.d.). (Catatan: cetak miring saya [Syaikh Hamza Yusuf] tambahkan sendiri).

10 Ibid., 36

_____________________________________

Kalender Yahudi dan Relevansinya dengan Permasalahan yang Dibahas ini

Umat Yahudi adalah yang paling mirip dengan umat Islam dalam hal teologi dan praktik ibadah, sebagaimana disinggung dalam hadits shohih, ”Kamu adalah paling serupa dengan Bani Israel”. Maka tidaklah mengejutkan bahwa umat Yahudi juga menggunakan kalender lunar [qomariyah] untuk hari-hari raya mereka, yang aslinya dulu adalah kalender yang murni qomariyah, sebagaimana terlihat dari kata Ibrani, hodesh, yang bermakna ”bulan, atau bulan baru”.

Namun pada masa tertentu, dalam sejarah keagamaan mereka, mereka mulai menyisipkan hari dalam rangka menyelaraskan kalender qomariyah yang senantiasa berpindah/bergerak dengan kalender syamsiyah yang tetap. Setiap bulannya tetap berdasarkan siklus bulan atau bulan sinodis, yang di dalamnya kaum Yahudi akan menambahkan beberapa hari dalam setahun, serta satu bulan tambahan setiap beberapa tahun untuk mencapai selarasnya kalender qomariyah dan syamsiyah.

Kalau begitu bagaimana dulu awalnya kaum Yahudi menentukan bulan qomariyah mereka? Mereka dulu melakukannya dengan adanya beberapa saksi mata yang melihat bulan baru [hilal] lalu kemudian menyampaikan informasi ini kepada Sanhedrin [dewan otoritas Yahudi kuno], ini menurut Ensiklopedi Katolik, yang menjelaskan lebih lanjut:

Bulan-bulan Ibrani semenjak dahulu adalah lunar [qomariyah], dan berlangsung dari satu bulan baru [hilal] ke bulan baru [hilal] berikutnya. Awal bulan bersamaan dengan munculnya bulan baru [hilal] semenjak dulu—dan juga hingga kini—merupakan sesuatu yang sangat penting di kalangan orang-orang Ibrani [Yahudi], mengingat bahwa tanggal 1 setiap bulannya musti dilihat sebagai Hari Bulan Baru [hilal], dan perayaan tertentu ditetapkan pada hari ke-10, ke-14, atau hari-hari lain dalam bulan itu. Kemunculan awal bulan baru [hilal] telah lama dimantapkan dengan penglihatan langsung [ru’yah], dan secara resmi diputuskan oleh Sanhedrin, yang kemudian informasinya disebarluaskan ke seluruh kalangan Yahudi, pertama-tama dengan menggunakan tanda api, dan kemudian dengan menggunakan utusan khusus pembawa berita ini. Di masa kini, selama berabad-abad terakhir, cara penentuan awal bulan yang primitif ini telah digantikan oleh penghitungan [hisab] yang sistematis akan durasi bulan, dan kalender Yahudi saat ini disusun dengan dasar siklus bulan = 29 hari, 12 jam, 44 menit dan 35 detik.11

Selama lebih dari seribu tahun, kaum Yahudi menggunakan kalender yang berdasarkan pada pengamatan bulan baru [hilal] dengan mata kepala telanjang. Namun, dalam era kekuasaan Kaisar Roma Konstantius (337-361 M), penindasan terhadap kaum Yahudi yang terjajah semakin besar, ini mencegah mereka dari menyebarkan kabar terlihatnya bulan [hilal] satu sama lain.

Rabbi Hillel II adalah yang pertama kali memperkenalkan penentuan bulan baru berdasarkan perhitungan [hisab] dan bukan penglihatan dengan mata kepala [ru’yah], dalam rangka memfasilitasi peringatan hari raya bagi kaum Yahudi yang tertindas saat itu.

Kalender [berdasarkan hisab] ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 358. ”Perhitungannya didesain untuk mereka-ulang hambatan-hambatan praktikal dari kalender yang diikuti (termasuk penundaan dan penyisipan hari) sedekat mungkin,” menurut Active Bible Church of God,12 yang kemudian melanjutkan:

Telah banyak usulan disampaikan agar perhitungan [hisab] dirubah, atau pengamatan [ru’yah] kembali digunakan. Jelas bahwa penyesuaian atas kalender hasil perhitungan [hisab] perlu dilakukan untuk menjaga keselarasan dengan matahari dan bulan. Namun ada konsensus mengenai bagaimana ini musti dilakukan, dan, di dunia modern, ini perlu dilakukan bertahun-tahun lebih awal. Kembali ke pengamatan [ru’yah] memang sederhana, namun sangat tidak praktis. Dunia modern memerlukan perencanaan perayaan keagamaan untuk disiapkan berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, lebih awal. Hanya kalender hasil perhitungan [hisab]-lah yang memungkinkan ini. Jelas bahwasanya sebagaimana ”hari Sabbath adalah dibikin untuk manusia,” maka juga ”kalender dibikin untuk manusia.” [Kalender] adalah alat untuk membantu kita dalam menyembah Tuhan. Dan fitur yang esensial dari suatu alat adalah ianya harus berguna dan praktis.13

_____________________________________

11 The Catholic Encyclopedia: An International Work of Reference on the Constitution, Doctrine, Discipline and History of the Catholic Church, ed. Charles G. Herbermann (New York: Robert Appleton Company, 1908), 3:166-7.

12 http://www.abcog.org/faqcal2.htm

13 Nathan Bushwick, Understanding the Jewish Calendar (New York: Moznaim Pub. Corp., 1989),http://www.abcog.org/calcomp.htm (Catatan: cetak miring dari saya [Syaikh Hamza Yusuf])

_____________________________________

Kita bisa melihat dari sini adanya kompromi yang para rabbi telah lakukan di kaum Yahudi. Bisa dikatakan bahwa, awal mula kaum Yahudi meninggalkan ru’yah dengan saksi mata adalah dikarenakan penindasan yang berat pada suatu era tertentu dalam sejarah mereka, dan merupakan salah satu hasil usaha yang manusiawi dari rabbi-rabbi besar mereka dalam melayani umatnya.

Meskipun demikian, berdasarkan kaidah fiqh hukum Islam, ketika penindasan yang membolehkan diadakannya keringanan (rukshah) sudah tidak lagi ada, maka keringanan itu tidak lagi valid dan aturan yang asli harus dihidupkan kembali. Kaum Yahudi tidak pernah kembali ke ajaran asli mereka yakni mengikuti bulan qomariyah berdasarkan ru’yah saksi mata; justru, mereka meneruskan penentuan bulan baru dengan penghitungan [hisab].

Nabi kita SAW dengan jelas telah memperingatkan kita untuk tidak mengikuti kaum Yahudi dan kaum Nasrani dalam perilaku mereka meninggalkan praktik-praktik agama asli seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi mereka, dan kita diperingatkan untuk benar-benar waspada atas bahaya ini.

Sayangnya, beliau SAW juga memberitahukan kita bahwa banyak Muslim yang akan mengabaikan peringatan ini dan akan tetap mengikuti kesalahan-kesalahan mereka [Yahudi dan Nasrani]. Menentukan/menjadwalkan bulan-bulan qomariyah kita sedari awal melalui penghitungan [hisab] adalah salah satu pemenuhan prediksi beliau:

Nabi SAW bersabda, ”Sungguh kalian akan mengikuti jalan [yang salah] dari umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehinggalah apabila mereka masuk ke lubang biawak niscaya kamu akan mengikutinya.”

Para Sahabat kemudian bertanya, ”[Apakah] kaum Yahudi dan kaum Nasrani, ya Rasulallah?”

”Jika bukan mereka, lantas siapa lagi?” jawab beliau.14

Berpindah dari ru’yah menuju hisab adalah laksana mengikuti kaum Yahudi yang telah meninggalkan tradisi asli [keagamaan] yakni dengan benar-benar melihat bulan sabit [hilal] dengan mata kepala telanjang para peru’yah [pengamat hilal]. Nabi SAW juga bersabda, menurut sebuah hadits shohih dari Imam at-Tirmidzi, ”Apa yang terjadi kepada Bani Israil juga akan terjadi pada umatku, selangkah demi selangkah...”15

Tidak ada niatan untuk melecehkan umat Yahudi atau Nasrani, namun perkara ini yakni mengikuti praktik agama yang dicontohkan oleh Nabi [Sunnah] secara ketat adalah titik krusial perbedaan/percabangan antara tiga agama yang berakar dari Nabi Ibrahim ini.

Nabi SAW sendiri menyatakan dirinya sebagai yang menghidupkan kembali ajaran Ibrahim yang asli yang telah diabaikan/ditinggalkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani pada era beliau. Di antara ajaran-ajaran ini adalah mengikuti kalender qomariyah yang murni dalam urusan peribadatan dan penentuan bulan-bulannya mengikuti penampakan fisik dan penglihatan bulan [ru’yatul hilal].

_____________________________________

14 Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2005), 612, no. 3456.

15 Muhammad Habibullah al-Jakani, Zad al-Muslim fi ma ittafaq ‘alayh al-Bukhari wa Muslim (Beirut: Darul Fikr, 1981), 1:382-4. (Catatan: Hadits pertama di atas disepakati oleh Bukhari dan Muslim [muttafaq ‘alaih])

_____________________________________

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline