Dalam keheningan malam kembali aku membuka layar laptop ku.Tugas ku menumpuk, bersorak-sorak, berlomba mencari perhatianku agar mengerjakannya terlebih dahulu.Aku bukannya tidak mau, hanya saja itu terlalu sulit untukku.Aku mulai meringis, sedikit menyesali mengapa aku tak pernah belajar sekerasnya, atau mungkin aku sudah belajar hanya saja aku memang tak sepandai itu. Perlahan-lahan aku mulai menyalahkan dosenku dalam hatiku,namun tidak bisa sepenuhnya juga karena aku yang dahulu memilih keadaan hari ini. "Jika tak mau kesulitan, harusnya dulu gausah kuliah"batinku.
Ku lihat story WhatsApp teman-temanku yang sedang pergi nongkrong, sembari bertanya-tanya"Apakah tugas mereka sudah siap?mengapa mereka begitu mudah melakukannya?".Terlahir biasa saja memang cukup sulit,saat orang lain cukup berjalan pelan saja, aku harus berlari setidaknya agar aku tidak tinggal terlalu jauh,aku harus mengulang pelajaran ku ketika mereka sudah terlelap dan menari di alam mimpi bahkan jika mengulang pun belum tentu aku bisa memahami nya juga.Sepertinya aku terkena kutukan platipus, ya hewan yang hampir semuanya bisa tapi tidak ahli.Aku bisa bernyanyi tapi buta nada,aku bisa menari tapi tak cukup pandai,aku bisa menjahit tapi jahitan ku tak cukup indah.
Aku juga iri, melihat mereka yang bisa melakukan apa saja.Aku selalu belajar mencobanya, tapi tetap saja tidak bisa.Di bilang bodoh, sepertinya tidak juga buktinya sampai kini aku masih bisa bertahan,atau kesimpulannya semua hal yang ada di diriku pas-pasan.Cukup mengkhawatirkan memang mengingat dunia sekarang yang selalu menuntut sempurna.Kadang-kadang aku menangis di kamar kost kecil di tengah kota ini.Aku takut hasil kerja kerasku tak sepadan dengan hasilnya.Entah sudah sebanyak apa kamar kecil ini mengintip aku diam-diam berdoa melayangkan sejuta harap yang setidaknya bisa nyata walau hanya satu saja.
Ketakutan itu terkadang membuatku tidak tidur itu cukup menekan dadaku membuatnya terasa sesak seolah-olah aku bukanlah manusia beriman.Pertanyaan "Mau jadi apa?" kini menjadi ketakutan terbesarku.
Saat ketakutan itu menyerang ku,ku ambil ponsel yang tergeletak di kasurku.Ku cari nama ibuku, setidaknya menanyakan kabar batin ku.Kami berbincang cukup lama,ku keluarkan seluruh isi hatiku." Tak mengapa jika tak menjadi apa-apa,karena bagi ibu kau jauh lebih berharga daripada segalanya" ucapnya sebelum menutup panggilan itu.
Hatiku runtuh, airmataku meluruh.Jawaban sederhana dari ibu mengubur ketakutan ku setidaknya semalam ini.Kembali aku berhadapan dengan laptopku, ku buat jemari ku menari diatas keyboard ku, perlahan airmata yang jatuh di pipiku mengering digantikan dengan rasa lega."Terimakasih ibu,sudah membuat ku yang biasa saja merasa berharga" ucapku dalam hatiku
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI