Di era digital yang serba cepat dan terkoneksi, muncul fenomena baru yang dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out), atau rasa takut tertinggal dari tren, informasi, atau kegiatan yang dilakukan orang lain. Istilah ini semakin populer terutama di kalangan Mahasiswa Gen Z yang tumbuh bersama perkembangan teknologi dan media sosial. FOMO tidak sekedar tren perilaku, melainkan menjadi gejala sosial yang berpengaruh terhadap kehidupan psikologis, sosial, bahkan akademik generasi muda saat ini.
Fenomena FOMO muncul ketika individu merasa cemas atau gelisah karena melihat aktivitas menarik orang lain di media sosial. Mahasiswa Gen Z sering merasa harus selalu "update", mengikuti tren, menghadiri acara, atau memposting aktivitas sehari-hari agar tidak ketinggalan. Perasaan ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang terus menampilkan konten orang lain yang terlihat lebih menarik dan menyenangkan. Akibatnya, banyak mahasiswa yang merasa kehidupannya kurang berarti atau tidak seindah kehidupan orang lain di dunia maya.
FOMO memiliki beberapa dampak yang cukup signifikan bagi Mahasiswa Gen Z. Pertama, dari segi "PSIKOLOGIS" , FOMO dapat menimbulkan stres, kecemasan, dan rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Banyak mahasiswa merasa tertekan karena membandingkan dirinya dengan teman sebaya yang terlihat lebih sukses, produktif, atau bahagia. Padahal, apa yang tampak di media sosial seringkali hanyalah salah satu foto atau video terbaik dari kehidupan seseorang, bukan gambaran sebenarnya.
Kedua, dari aspek "SOSIAL" , FOMO membuat mahasiswa lebih sering online dibanding berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar. Mereka cenderung lebih fokus pada validasi digital seperti jumlah "like", komentar, atau pengikut media sosial nya daripada hubungan nyata. Akibatnya, muncul rasa kesepian, meski secara digital terlihat aktif dan populer. Hal ini juga berpotensi mengurangi kemampuan komunikasi interpersonal dan empati dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, dari sisi "AKADEMIK" , FOMO dapat memengaruhi konsentrasi belajar. Banyak mahasiswa yang sulit fokus karena terlalu sering memeriksa notifikasi media sosial. Rasa takut tertinggal membuat mereka selalu ingin tahu apa yang sedang terjadi di dunia maya, meskipun hal itu tidak selalu penting. Kondisi ini berpotensi menurunkan produktivitas, bahkan prestasi akademik jika tidak dikendalikan.
Namun, FOMO tidak selalu berdampak negatif. Dalam beberapa kasus, rasa ingin tahu terhadap tren atau kegiatan baru bisa menjadi "MOTIVASI POSITIF". Mahasiswa yang cerdas secara emosional mampu memanfaatkan FOMO untuk mencari peluang baru, memperluas jaringan sosial, dan mengembangkan diri. Dengan pengendalian diri yang baik, media sosial justru bisa menjadi alat untuk belajar, berkolaborasi, dan menumbuhkan semangat kompetitif atau bersaing yang sehat.
Untuk mengatasi dampak negatif FOMO, mahasiswa perlu meningkatkan           " KESADARAN DIGITAL " (digital awareness). Artinya, mereka harus mampu membedakan antara dunia nyata dan dunia maya, serta menyadari bahwa tidak semua yang terlihat di media sosial mencerminkan kenyataan. Mengatur waktu penggunaan gadget, stop melakukan scrolling media sosial terlalu lama, serta memperbanyak interaksi langsung dengan teman dan keluarga bisa membantu mengurangi rasa takut tertinggal.
Cara Pencegahan FOMO (Fear of Missing Out)
1. Batasi Waktu di Media SosialÂ
Tentukan waktu untuk membuka media sosial agar tidak terus-menerus terpaku pada notifikasi. Misalnya, hanya membuka di jam istirahat atau setelah menyelesaikan tugas.
2. Sadari bahwa Media Sosial Tidak Selalu Nyata
Ingat bahwa apa yang ditampilkan di media sosial sering kali hanyalah hasil terbaik dari kehidupan seseorang. Jangan membandingkan hidup sendiri dengan apa yang ada di media sosial mereka.