Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puisi | Memaafkan

8 Juli 2019   10:22 Diperbarui: 8 Juli 2019   10:29 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: zakatsukses.org

Sidang sengketa pemilihan presiden baru saja selesai digelar oleh Mahkamah Konstitusi. Komisi Pemilihan Umum dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pun telah menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024, pasangan Joko Widodo-Maruf Amin. Sekarang saatnya kita bersatu. 

Tidak ada lagi kubu pendukung calon nomor urut kosong satu atau calon nomor urut kosong dua. Pun dengan bulan Ramadan. Bulan penuh berkah tersebut juga baru berlalu dan sekarang kita sudah berada di bulan Syawal. 

Walau memang, banyak di antara kita yang sangat mengharapkan bulan Ramadan segera berlalu. Masih ada saudara-saudara kita yang bersilaturahmi, bersalam-salaman, sambil saling memaafkan.

Memaafkan adalah hal yang lumrah kita lakukan. Akan tetapi, di antara saudara kita ada juga yang memendam amarah dan sangat sulit untuk memaafkan. Padahal, dengan belajar memaafkan, kecenderungan kita untuk selalu marah semakin menurun.

A. Pengertian Marah

Ada beberapa pengertian marah yang diutarakan oleh para pakar. Beberapa di antaranya sebagai berikut.

Menurut C.P. Chaplin, Anger (marah, murka, berang, gusar; kemarahan, kemurkaan, keberangan, kegusaran) adalah reaksi emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.

Menurut al-Jurjani yang dikutip Yadi Purwanto dan Rachmat Mulyono, marah adalah perbuatan yang terjadi pada waktu mendidihnya darah di dalam hati untuk memperoleh kepuasan apa yang terdapat di dalam dada.

Sedangkan menurut Muhammad Utsman Najati, marah adalah emosi alamiah yang akan timbul manakala pemuasan salah satu motif dasar mengalami kendala. 

Apabila ada kendala yang menghalangi manusia atau hewan untuk meraih tujuan tertentu dalam upaya memuaskan salah satu motif dasarnya, maka ia akan marah, berontak, dan melawan kendala tersebut. Ia juga akan berjuang untuk mengatasi dan menyingkirkan kendala tersebut hingga ia bisa mencapai tujuan dan pemuasan motifnya.

Dari beberapa pengertian tersebut, marah senantiasa mesti terlampiaskan. Tidak sah rasanya jika rasa marah yang berkecamuk dalam jiwa tidak terlampiaskan secara langsung. Bahkan, menahan marah seolah dianggap sebagai penyebab penyakit hati. Tapi ini salah ya, jangan ditiru.

B. Tingkatan Memaafkan

Berdasarkan penelitiannya, Robert Enrigh, dkk (1989)  menggolongkan istilah memaafkan ke dalam enam tingkat. Pertama, memaafkan apabila sudah dapat membalas. Saya memafkannya karena dia juga telah merasakan apa yang pernah saya rasakan. Kedua, memaafkan dengan restitusi. Saya memaafkan setelah sakit hati saya tergantikan, apa yang telah diambilnya dapat saya ambil kembali, barulah saya memaafkannya. 

Ketiga, memaafkan karena tuntutan lingkungan. Saya memaafkannya karena desakan keluarga, teman, atau rekan kerja sehingga saya memaafkannya. Keempat, memaafkan karena tuntutan hukum. Karena peraturan yang berlaku atau karena agama yang saya anut mewajibkan untuk memaafkan, maka saya harus memaafkannya. Tingkatan kelima adalah memaafkan untuk harmoni sosial.  

Misalnya, karena kita bertetangga, untuk menjalin komunikasi yang baik, saya harus memaafkannya. Tingkatan terakhir adalah pemaafan sebagai bentuk kasih sayang. 

Tingkatan yang terakhir inilah sebagai tingkatan paling tinggi sekaligus bentuk pemaafan yang paling baik. Kita memaafkan orang lain tanpa embel apa-apa dan juga tanpa konsekuensi apa-apa yang harus kita terima atau yang harus diterima oleh orang yang kita maafkan.

Nah, sekarang pertanyaannya. Di tingkat berapakah posisi pemaafan kita? Apakah sudah berada pada tingkat enam atau malah masih terpuruk pada tingkat pertama. Tingkat yang sebentar lagi akan masuk zona degradasi. Jika masih berada pada tingkat pertama, segeralah bergegas, jangan tinggal berdiam diri di situ. 

Pemaafan yang senantiasa diawali dengan keinginan untuk membalas suatu perbuatan dengan perbuatan yang sama tidak akan berpengaruh di dalam hidup kita. Kita hanya akan berpindah dari marah yang satu ke marah yang lain. Juga dari pemaafan pertama ke pemaafan berikutnya. 

Selalu berputar dalam lingkaran yang tidak menguntungkan. Bahkan terkadang rasa marah yang selalu kita pendam akan menjadi bibit bibit dendam. Jika kita berinteraksi dengan ornang yang pernah membuat kita marah, rasanya tidak ada lagi kebaikan walau sesungguhnya yang disampaikan oleh orang tersebut adalah kebaikan. Ini karena dipengaruhi oleh rasa dendam yang   terus menggunung dalam diri kita.

Saatnya, kita saling memaafkan. Memaafkan karena kasih sayang. Memaafkan karena keinginan untuk menghilangkan benih-benih marah dalam diri kita.

Referensi tingkatan marah dikutip dari tulisan  Krista Purwandari, seorang psikolog, di harian Kompas edisi 22 Juni 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun