Mohon tunggu...
ammara syifa
ammara syifa Mohon Tunggu... Penulis - Ammara Syifa Yuniar, seseorang yang menyukai kegiatan membaca dan selalu ingin belajar menulis.

Ra, Tulisan yang baik adalah ketika kamu menulisnya, kamu tidak akan berani menghapusnya karena itu adalah kebaikan yang membawamu ke Jannah-Nya. Insyaa Allah.... Temui aku di IG @ammarass dan @yuniaraaaaaaaaa🖐

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ayah Impian

4 Juli 2022   21:53 Diperbarui: 6 Juli 2022   05:44 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Dimulai dengan menyebut asma-Nya, Bismillah....

"Ayah Impian"

Ayah, aku menulis ini untukmu. Entah aku akan berhasil atau tidak menyelesaikannya, tapi aku akan berusaha agar tidak satupun kebaikan yang luput untuk kusertakan.

Ayah, bagaimana perasaanmu sekarang ?
Aku yakin, hangatnya kain putih itu akan menenangkanmu, selalu.
Pertanyaan dari dua malaikat sudah pasti selesai ayah jawab, 'kan ?
Sekarang ayah tinggal menunggu, bertemu dengan-Nya, kekasih-Nya Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, para nabi, sahabat-sahabat, dan tentu menunggu kami, yah.
Setiap saat aku selalu berdoa, seperti yang selalu ayah rapalkan dahulu, "Semoga kelak ayah, ibu, kamu, kakak adikmu, dan seluruh saudara muslim bisa selalu berkumpul dalam kebaikan. Menggapai rida-Nya di dunia dan akhirat. Hingga kita bersama merasakan manisnya pertemuan, sehidup sesurga. Aamiin Allahumma Aamiin"

Ayah, kini aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Tersedu, menangis ... mengingatmu, ingin bertemu denganmu.
Ayah, aku tidak lebih dari seorang gadis yang telah ayah besarkan dengan setulus hati dan ikhlas.
Ayah, aku memimpikanmu selalu. Sebongkah harapan yang tidak pernah pecah untuk tetap berada di sisimu.
Ayah, aku masih membutuhkan pengajaranmu, doa-doamu, dan tentu kasih sayang yang masih terasa itu.

Ayahku ... Ayah Impianku....

Bergeming aku berdoa, mulutku tak henti-hentinya menyebut tahmid, hamdalah, dan takbir, kemudian menutupnya dengan kalimat La Haula Wala Quwwata Illa Billah. Tangan yang sedari tadi sibuk menggerakkan butir-butir dzikir bergetar hebat. Mataku terpejam dengan kasar berusaha menghapus kenangan terberat itu. Pikiran yang terus kupaksa untuk mengingat-Nya, nyatanya belum bisa aku atasi. Aku terus mengingat sosok hebat yang selalu menemaniku untuk mengenal-Nya. Ayah ... aku terus mengingat Ayah Impianku.

Mataku terbuka, meskipun pandangannya kabur karena air mata tapi aku masih dapat melihat dengan jelas mushaf yang berada di atas nakas. Alquranul Kariim yang diberikan oleh ayah saat usiaku beranjak tujuh belas tahun. Aku masih ingat kalimat yang dikatakan ayah saat memberikannya untukku, "Alquran itu milik banyak orang, Nak, bagi siapapun yang ingin membacanya". Hatiku tersentak, perih, yah, baru satu tahun yang lalu ayah memberikannya. Tapi kini aku tak lagi bisa membacanya di hadapanmu, sambil ayah koreksi hukum bacaan yang masih salah, dan ayah melafalkan doa setelah aku selesai membaca kalam-Nya.

Saat kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB, aku menyeka tangisku yang sudah menjalar sampai ke mukena. Aku merapikan tatanan mukenaku ditemani dengan lantangnya suara azan subuh yang terdengar syahdu. Kujawab tiap kalimat yang muazin musalaku suarakan. "Panggilan Allah yang selalu menenangkan sekaligus menggetarkan" kata ayah dahulu.

Ibadah subuh selesai, dan aku membuka mushaf bersampul pink itu dengan penuh kecintaan kepada-Nya. Ini pun juga karena perkataan ayah, yang "Sambutlah dengan kecintaan saat kamu akan berinteraksi dengan Alquran, Nak. Di sanalah sumber ketenangan yang akan memperbaiki hati dan hidupmu. Alquran memang dipersiapkan-Nya sedahsyat itu".

Mengawali hari dengan tilawah adalah prinsip hidup yang ayah pegang dan ajarkan kepadaku. Tiada hari tanpa mengaji bagaikan semboyan yang selalu ayah tegaskan ketika futur mulai menguasai raga dan hati kami yang lemah.
Semenjak saat itu, ayah menuntunku untuk disiplin dengan bergabung di sebuah komunitas tilawah. Tenang, nyaman, konsisten, teman yang dekat dengan-Nya beserta kalam-Nya, dan masih banyak kebaikan lainnya itulah yang aku dapatkan di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun