Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Ayah Impian

4 Juli 2022   21:53 Diperbarui: 6 Juli 2022   05:44 278 3
Dimulai dengan menyebut asma-Nya, Bismillah....

"Ayah Impian"

Ayah, aku menulis ini untukmu. Entah aku akan berhasil atau tidak menyelesaikannya, tapi aku akan berusaha agar tidak satupun kebaikan yang luput untuk kusertakan.

Ayah, bagaimana perasaanmu sekarang ?
Aku yakin, hangatnya kain putih itu akan menenangkanmu, selalu.
Pertanyaan dari dua malaikat sudah pasti selesai ayah jawab, 'kan ?
Sekarang ayah tinggal menunggu, bertemu dengan-Nya, kekasih-Nya Rasulullah Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, para nabi, sahabat-sahabat, dan tentu menunggu kami, yah.
Setiap saat aku selalu berdoa, seperti yang selalu ayah rapalkan dahulu, "Semoga kelak ayah, ibu, kamu, kakak adikmu, dan seluruh saudara muslim bisa selalu berkumpul dalam kebaikan. Menggapai rida-Nya di dunia dan akhirat. Hingga kita bersama merasakan manisnya pertemuan, sehidup sesurga. Aamiin Allahumma Aamiin"

Ayah, kini aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Tersedu, menangis ... mengingatmu, ingin bertemu denganmu.
Ayah, aku tidak lebih dari seorang gadis yang telah ayah besarkan dengan setulus hati dan ikhlas.
Ayah, aku memimpikanmu selalu. Sebongkah harapan yang tidak pernah pecah untuk tetap berada di sisimu.
Ayah, aku masih membutuhkan pengajaranmu, doa-doamu, dan tentu kasih sayang yang masih terasa itu.

Ayahku ... Ayah Impianku....

Bergeming aku berdoa, mulutku tak henti-hentinya menyebut tahmid, hamdalah, dan takbir, kemudian menutupnya dengan kalimat La Haula Wala Quwwata Illa Billah. Tangan yang sedari tadi sibuk menggerakkan butir-butir dzikir bergetar hebat. Mataku terpejam dengan kasar berusaha menghapus kenangan terberat itu. Pikiran yang terus kupaksa untuk mengingat-Nya, nyatanya belum bisa aku atasi. Aku terus mengingat sosok hebat yang selalu menemaniku untuk mengenal-Nya. Ayah ... aku terus mengingat Ayah Impianku.

Mataku terbuka, meskipun pandangannya kabur karena air mata tapi aku masih dapat melihat dengan jelas mushaf yang berada di atas nakas. Alquranul Kariim yang diberikan oleh ayah saat usiaku beranjak tujuh belas tahun. Aku masih ingat kalimat yang dikatakan ayah saat memberikannya untukku, "Alquran itu milik banyak orang, Nak, bagi siapapun yang ingin membacanya". Hatiku tersentak, perih, yah, baru satu tahun yang lalu ayah memberikannya. Tapi kini aku tak lagi bisa membacanya di hadapanmu, sambil ayah koreksi hukum bacaan yang masih salah, dan ayah melafalkan doa setelah aku selesai membaca kalam-Nya.

Saat kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB, aku menyeka tangisku yang sudah menjalar sampai ke mukena. Aku merapikan tatanan mukenaku ditemani dengan lantangnya suara azan subuh yang terdengar syahdu. Kujawab tiap kalimat yang muazin musalaku suarakan. "Panggilan Allah yang selalu menenangkan sekaligus menggetarkan" kata ayah dahulu.

Ibadah subuh selesai, dan aku membuka mushaf bersampul pink itu dengan penuh kecintaan kepada-Nya. Ini pun juga karena perkataan ayah, yang "Sambutlah dengan kecintaan saat kamu akan berinteraksi dengan Alquran, Nak. Di sanalah sumber ketenangan yang akan memperbaiki hati dan hidupmu. Alquran memang dipersiapkan-Nya sedahsyat itu".

Mengawali hari dengan tilawah adalah prinsip hidup yang ayah pegang dan ajarkan kepadaku. Tiada hari tanpa mengaji bagaikan semboyan yang selalu ayah tegaskan ketika futur mulai menguasai raga dan hati kami yang lemah.
Semenjak saat itu, ayah menuntunku untuk disiplin dengan bergabung di sebuah komunitas tilawah. Tenang, nyaman, konsisten, teman yang dekat dengan-Nya beserta kalam-Nya, dan masih banyak kebaikan lainnya itulah yang aku dapatkan di dalamnya.

Pukul delapan pagi adalah waktunya aku beranjak untuk wudu dan memulai salat sunnah duha sebanyak dua belas rakaat. Awalnya, ayah membiasakan diriku dari empat rakaat. Tapi karena aku selalu melihat ayah yang lebih lama dan lebih banyak rakaatnya, aku mengajukan negosiasi. Aku ingin seperti ayah.

Selepas duha, ayah memintaku membaca surat Ad-Duha untuk memperkuat ingatan, Al-Insyirah untuk mempermudah diriku dalam menuntut ilmu, dan Al-Kafirun agar aku selalu hidup dalam ketauhidan. Tak lupa tiga surat terakhir dalam Alquran yang dibaca masing-masing sebanyak tiga kali. Lalu menutupnya dengan Al-Fatihah dan mengaamiinkannya.

"Sunah rawatib jangan sampai ditinggalkan. Kalau yang fardu Insyaa Allah bisa dikerjakan tepat waktu, maka sertakanlah sunah rawatib. Karena arti dari salat sunnah itu sendiri adalah salat yang menyertai salat fardu". Tapi dalam hal ini, aku berbeda dengan ayah dalam jumlah rakaat. Karena ku akui belum sempurna dalam menepati waktu salat. Yang Insyaa Allah bisa aku pegang adalah, dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat setelah zuhur, dua rakaat sesudah magrib, dua rakaat sebelum dan sesudah isya"

Kegiatan sore yang ayah jalankan adalah berada di Tempat Pembelajaran Alquran, di musala dekat rumah kami. Ayah mengajari anak-anak dengan tulus, tegas, dan sabar. Benar-benar ayah impian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun