Mohon tunggu...
ammara syifa
ammara syifa Mohon Tunggu... Penulis - Ammara Syifa Yuniar, seseorang yang menyukai kegiatan membaca dan selalu ingin belajar menulis.

Ra, Tulisan yang baik adalah ketika kamu menulisnya, kamu tidak akan berani menghapusnya karena itu adalah kebaikan yang membawamu ke Jannah-Nya. Insyaa Allah.... Temui aku di IG @ammarass dan @yuniaraaaaaaaaa🖐

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ayah Impian

4 Juli 2022   21:53 Diperbarui: 6 Juli 2022   05:44 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pukul delapan pagi adalah waktunya aku beranjak untuk wudu dan memulai salat sunnah duha sebanyak dua belas rakaat. Awalnya, ayah membiasakan diriku dari empat rakaat. Tapi karena aku selalu melihat ayah yang lebih lama dan lebih banyak rakaatnya, aku mengajukan negosiasi. Aku ingin seperti ayah.

Selepas duha, ayah memintaku membaca surat Ad-Duha untuk memperkuat ingatan, Al-Insyirah untuk mempermudah diriku dalam menuntut ilmu, dan Al-Kafirun agar aku selalu hidup dalam ketauhidan. Tak lupa tiga surat terakhir dalam Alquran yang dibaca masing-masing sebanyak tiga kali. Lalu menutupnya dengan Al-Fatihah dan mengaamiinkannya.

"Sunah rawatib jangan sampai ditinggalkan. Kalau yang fardu Insyaa Allah bisa dikerjakan tepat waktu, maka sertakanlah sunah rawatib. Karena arti dari salat sunnah itu sendiri adalah salat yang menyertai salat fardu". Tapi dalam hal ini, aku berbeda dengan ayah dalam jumlah rakaat. Karena ku akui belum sempurna dalam menepati waktu salat. Yang Insyaa Allah bisa aku pegang adalah, dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat setelah zuhur, dua rakaat sesudah magrib, dua rakaat sebelum dan sesudah isya"

Kegiatan sore yang ayah jalankan adalah berada di Tempat Pembelajaran Alquran, di musala dekat rumah kami. Ayah mengajari anak-anak dengan tulus, tegas, dan sabar. Benar-benar ayah impian.

Suatu saat, setelah aku salat asar berjamaah di masjid, aku sengaja tidak langsung pulang. Aku menunggu hingga pukul empat sore, di mana anak-anak akan datang dan mengaji bersama ayah. Lama-kelamaan aku ketagihan. Usai salat asar dan membaca Alquran, aku berniat akan mengintip ayah yang mengajar anak-anak di balik tembok. Tapi kalah cepat dengan ayah yang sudah menemuiku dengan menggeleng-gelengkan kepala. Aku hanya tersenyum, malu pada ayah.

Lalu ayah mengajakku duduk di sampingnya, kemudian berkata di tengah lantunan surat An-Nasr yang sedang anak-anak baca bersama, "Nak, ayah kan sekarang sakit. Tiap hari Senin dan Jumat ayah harus kontrol hingga sore hari. Terlepas dari itu, ayah juga perlu istirahat dan tidak boleh banyak berkegiatan ... Nak, mungkin Allah membuka hatimu dan membuka jalan kemudahan untuk ayahmu yang sudah sakit-sakitan ini. Agar kamu menggantikan ayah di sini, mengajar anak-anak mengaji. Caranya persis seperti yang ayah ajarkan padamu. Kuncinya sabar dan konsisten, serta jangan lupa sertakan cinta di dalam-Nya. Untuk Allah dan anak-anak yang semangat mengaji".


Sekarang, di sinilah aku, yah. Aku berada di tempat yang saat itu menjadi tempatmu mengajar anak-anak. Memulainya dengan kunci yang sudah ayah berikan padaku. Aku menemani mereka dari membaca doa pembuka kegiatan menuntut ilmu, hafalan surat pendek, hafalan doa-doa harian, dan sesekali mengenal istilah arab dan nama-nama malaikat serta nabi. 

Lalu dilanjutkan dengan menyimak bacaan tahsin mereka dengan penuh sabar dan konsisten. Terkadang di hari Jumat, aku mengajari mereka gerakan wudu atau salat. Lalu menghibur mereka dengan buku cerita, kemudian menutup kegiatan dengan doa kafaratul majelis dan surat Al-Asr.

Aku senang saat mereka menyalami dan mencium punggung tanganku dengan polos dan lucunya. Membenarkan letak peci atau jilbab mereka dengan senyum yang otomatis dari bibirku membuatku selalu ingat dengan ayah. Kata ayah, "Pakailah pakaian terbaikmu saat bertemu dengan Allah, saat kamu salat, mengaji, pokoknya apapun kegiatan yang berhubungan dengan-Nya. Karena Allah mencintai keindahan"

Sore hampir habis, biasanya ayah menawariku untuk kembali simakan walau hanya satu lembar. Tapi selalu ada koreksi, dan seringnya pada mad tabi'i ku yang masih lebih dari dua harakat. Walaupun demikian, ayah selalu menyemangatiku. Pesannya, "Jangan pernah berhenti meski hanya satu hari. Lama kamu tidak interaksi dengan Alquran, maka bacaanmu akan pudar dan hancur. Tentu, kamu tidak ingin hal itu terjadi, 'kan ?"

Selepas magrib adalah waktu yang singkat namun kata ayah harus tetap diisi dengan hal yang bermanfaat, utamanya mengaji. Ayah Impianku memang tak pernah melewatkan interaksinya bersama Alquran. Surat yang dilantunkan bada magrib selalu sama dan menjadi surat favorit ayah semasa hidup. Dimulai dari Al-Fatihah, Ar-Rahman, Al-Waqiah, Al-Mulk, Al-Insyirah, Al-Qadr, Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan terakhir An-Naas. Ini yang dibaca pada hari selain Minggu yang diisi ayah dengan Al-Anbiyaa, Kamis surat Yassin, Jumat Al-Kahfi, dan Sabtu yang biasanya ayah tidak membaca Alquran melainkan melantunkan maulid nabi atau diba' di musala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun