Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu...

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Anda Tertarik dengan "Aib" Petahana? Tontonlah Pilkada DKI Jakarta!

12 Oktober 2016   20:55 Diperbarui: 12 Oktober 2016   22:16 4382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: cartasdesdecuba.com

Lantas, apakah kehendak/kesenangan para pelaku utama politik untuk - saling - mengumbar aib/dosa tetangga sebelah di atas panggung publik langsung meredup-hilang pasca orang-orang hebat di atas markir? Nyatanya tidak.

Kehadiran pasangan yang santun (Anies Baswedan-Sandiaga Uno) sekalipun, plus pasangan yang polos penuh tata krama ala keraton (Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvia Murni), termasuk pasangan blak-blakan apa adanya (Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat), ternyata belum juga mampu meredam gejolak atau hobby saling mengumbar aib/dosa tetangga sebelah di atas panggung publik DKI Jakarta.

Telinga kita - mungkin - akrab dengan ragam versi aib/dosa berikut. Mulai dari "gubernur reklamasi didukung kekuatan sembilan naga", atau "menteri pecatan dengan banyak teori surgawi tanpa aksi", pun pula "si santun panama peppers", atau juga "penerus dinasti korupsi dan kekuasaan Cikeas", hingga yang aktual belakangan ini "penista ayat-ayat suci". Dan lain-lain.

Dari sudut pandang tertentu, gejolak atau hobby para kompetitor Pilkada itu bagus. Sebab, publik mendapat masukan berharga tentang kualitas calon pemimpinnya. Dengan daftar aib/dosa yang terpublis, masyarakat diberi kemudahan untuk membuat pertimbangan tertentu sebelum menjatuhkan pilihannya di bilik suara.

Namun, di balik itu, tak jarang kita menemukan bahwa litani aib/dosa itu merupakan hasil konstruksi nafsu mengejar atau memperebutkan kue kekuasaan dari kompetitor tandingan dan atau para politisi opurtunis-koruptif plus kelompok-kelompok radikal-rasialis tertentu.

Apakah fenomen ini merupakan produk terkini dari mesin demokrasi bermerek otonomi daerah? Entahlah. Anomal bentuknya dan tak enak rasanya. Tetapi selalu terhidang dan kita santap bersama di tiap pergelaran Pilkada.

Teman saya bilang, lima menit pasca anda menyatakan cintamu pada gadis pujaanmu adalah saat-saat deru dan debu. Dunia tampak aneh. Rasanya anda sedang berjalan melewati lorong pekat-gelap tanpa pegangan dan pelita ketika anda menanti jawaban ya atau tidak sedang gadismu hanya membisu di lima menit itu.

Lima menitnya teman saya tentu tidak sebanding dengan usia demokrasi bangsa Indonesia. Namun letupan perasaan teman saya di limat menit itu tampaknya sama dengan pola perilaku politisi, termasuk kita sebagai warga sipil, dewasa ini. Kita bagai berjalan di dalam lorong gelap tanpa pegangan jelas di setiap pesta demokrasi lima tahunan.

Momen Pilkada sebagai momen menjaring dan memilih calon-calon pemimpin daerah berubah menjadi momen saling mendiskreditkan satu dengan yang lain. Pesta rakyat berubah menjadi pesta saling mengumbar aib/dosa antar politisi dan kelompok-kelompok pendukungnya.

Sejarah tentang DKI Jakarta sebagai provinsi pertama yang menghelat Pilkada Langsung pasca diberlakukannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ternyata bukanlah menjadi jaminan atas sikap dan tingkat kedewasaan seseorang dalam berpolitik.

Sebagai penutup, aktus saling mengumbar dosa/aib antar pelaku politik di setiap pergelaran Pilkada rupanya telah menjelma menjadi habitus baru dalam demokrasi politik. Bahkan ia kian kuat mengakar. Ironisnya, kita menggelar karpet merah untuk para aktor anomali itu dengan tepuk tangan riuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun