Mohon tunggu...
Amirudin Rizky
Amirudin Rizky Mohon Tunggu... Accounting and Activist

Penulis yang hobinya menunda-nunda. Tunggu saja, karyanya akan segera hadir... mungkin.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Affan Kurniawan dan Luka demokrasi di Jalanan Jakarta

29 Agustus 2025   11:03 Diperbarui: 29 Agustus 2025   11:03 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tragedi 28 Agustus 2025 / Amirudinrizky

Tanggal 25 Agustus 2025 menjadi awal gelombang perlawanan rakyat terhadap DPR RI. Ajakan demonstrasi yang sebelumnya hanya beredar di ruang-ruang media sosial, akhirnya menjelma menjadi kenyataan. Jakarta, kota yang setiap hari penuh sesak dengan hiruk-pikuk, berubah menjadi panggung besar di mana suara rakyat kembali menggema. Dari pagi hingga malam, jalan-jalan utama dipenuhi oleh lautan manusia: mahasiswa, buruh, pelajar, pedagang kecil, hingga para pengemudi ojek online. Semua membawa satu pesan: "DPR tidak lagi mewakili rakyat."

Apa yang memicu kemarahan ini? Bukan sekadar aksi joget massal anggota DPR dalam sidang MPR yang viral beberapa hari sebelumnya. Itu hanyalah percikan yang menyulut api. Sesungguhnya, kemarahan rakyat telah lama terkumpul: kebijakan yang berat sebelah, kegagalan mengendalikan harga kebutuhan pokok, serta sikap DPR yang semakin hari semakin jauh dari denyut kehidupan masyarakat. Tindakan mereka seperti menutup telinga dari keluh kesah rakyat, dan justru memilih menari di atas penderitaan bangsanya sendiri.

Selama tiga hari, dari 25 hingga 27 Agustus, aksi-aksi protes berlangsung dengan penuh semangat. Teriakan, nyanyian, dan poster-poster yang mengutuk arogansi DPR mewarnai jalanan. Namun di balik semangat itu, ketegangan terus meningkat. Aparat kepolisian yang diturunkan semakin masif, barikade kawat berduri dipasang, dan gas air mata beberapa kali ditembakkan. Jakarta kembali menjadi saksi bahwa demokrasi di negeri ini masih sering dibalas dengan represi, bukan dengan dialog.

Malam 28 Agustus menjadi puncak luka itu. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang sehari-hari menjemput rezeki di jalanan, kehilangan nyawanya. Ia tewas setelah terlindas kendaraan polisi di tengah kekacauan demonstrasi. Affan bukan orator besar, bukan aktivis terkenal, bahkan mungkin tak pernah bercita-cita menjadi simbol perlawanan. Namun kematiannya menjelma menjadi tanda seru yang menohok nurani bangsa.

Affan hanyalah rakyat kecil, seorang pekerja yang mungkin saat itu hanya ingin pulang setelah mengantar penumpang. Tetapi ajal menjemputnya di tengah barisan perlawanan rakyat. Tragedi ini mengingatkan kita bahwa ketika rakyat berhadapan dengan negara yang gagal mendengar, maka korban nyawa kerap tak terelakkan. Affan kini menjadi bagian dari daftar panjang mereka yang tumbang demi sebuah cita-cita: Indonesia yang lebih adil.

Kematian Affan tidak bisa dipandang sebagai "kecelakaan biasa". Ia adalah cermin betapa aparat lebih sibuk mempertahankan citra dan kepentingan elit daripada melindungi rakyatnya sendiri. Rakyat yang membayar pajak, rakyat yang memberi mereka mandat, justru menjadi korban. Inilah wajah telanjang dari demokrasi yang dirampas: rakyat yang bersuara disambut dengan peluru karet, gas air mata, dan kendaraan polisi yang menelan nyawa.

Namun, di balik duka itu, lahirlah sebuah simbol. Nama Affan Kurniawan kini bergaung di jalanan, diteriakkan di spanduk, ditulis di dinding-dinding kota. Ia menjadi lambang perlawanan rakyat terhadap DPR yang kian jauh dari nurani. Sama seperti sejarah mencatat mahasiswa yang gugur di 1998 sebagai bagian dari reformasi, nama Affan akan selalu diingat sebagai saksi bahwa demokrasi Indonesia masih penuh darah dan air mata.

Pertanyaannya, apa yang akan kita lakukan dengan ingatan ini? Apakah kita akan membiarkan darah Affan mengering di aspal tanpa makna? Ataukah kita menjadikannya bara api yang terus menyulut keberanian untuk melawan penindasan?

Sejarah selalu digerakkan oleh pengorbanan rakyat kecil. Dari petani yang bangkit melawan kolonialisme, buruh yang menuntut keadilan, hingga mahasiswa yang menjatuhkan rezim otoriter. Kini, seorang pengemudi ojek online menambahkan namanya dalam daftar panjang mereka yang gugur demi demokrasi.

DPR bisa saja terus menutup telinga, bisa saja kembali menari di ruang sidang, seolah tidak terjadi apa-apa. Aparat bisa saja berdalih bahwa semua hanyalah "insiden tak terduga". Tetapi luka di hati rakyat tak akan pernah bisa mereka hapus. Karena ketika seorang Affan Kurniawan meregang nyawa di jalanan Jakarta, sejatinya yang mati bukan hanya seorang individu, melainkan secercah harapan bahwa negara masih berpihak pada rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun