Keheningan melanda. Laras tahu apa yang dimaksud Reza dengan 'hal-hal yang penting.' Perpisahan mereka tiga tahun lalu dipicu oleh kesibukan Reza yang tak tertangguhkan dan kecemburuan Laras yang tak terkontrol.
"Aku minta maaf," ucap Laras tiba-tiba. Suara itu keluar sebelum ia sempat menahannya. "Mengenai malam itu. Seharusnya aku tidak pergi begitu saja tanpa mendengarkan penjelasanmu."
Reza meletakkan penanya. Ia menatap Laras lurus-lurus. "Aku juga minta maaf, Ras. Aku seharusnya memprioritaskanmu. Seharusnya aku tahu bahwa tidak semua proyek bisa dibeli kembali dengan uang. Termasuk proyek hubungan kita."
Laras duduk di kursi di hadapan Reza. Ia menyesap V60-nya. Rasa pahit dan asam itu kini terasa seperti penyesalan yang manis.
"Kau masih ingat cangkir kuning yang kita beli di pasar loak itu?" tanya Laras.
Reza tertawa kecil. "Tentu saja. Cangkir yang pecah seminggu setelah kita membelinya. Aku hampir gila mencarikan gantinya."
"Kita sudah merencanakan terlalu banyak hal, ya?" Laras menghela napas.
"Ya. Dan kita meninggalkannya begitu saja," balas Reza. "Tapi, terkadang, tidak semua perpisahan berarti akhir. Mungkin hanya jeda yang panjang."
Laras merasakan pipinya menghangat. Ia mengangkat cangkir kopinya. "Kopinya enak. V60 Gayo. Kamu masih ingat, itu kopi kesukaanku."
"Aku tidak akan pernah lupa," jawab Reza. Ia mengambil cangkirnya sendiri, yang ternyata berisi kopi yang sama. "Rasanya, sama seperti kenangan. Pahit, tapi membuatmu ingin kembali lagi."
Di tengah aroma kopi yang menguap, Laras dan Reza tidak hanya berbagi meja, tetapi juga berbagi ruang untuk janji baru. Kali ini, mereka berharap, kenangan indah yang tercipta di kedai itu tidak akan berakhir seperti cangkir kuning yang pecah.