Laras selalu mencari kedai kopi yang suasananya sunyi. Pagi itu, ia menemukan "Kopi Senja" tersembunyi di balik deretan toko buku bekas. Aroma biji kopi yang baru digiling langsung menyergapnya, menciptakan rasa hangat di tengah hawa dingin Jakarta.
Ia memesan secangkir V60 Gayo, duduk di sudut dekat jendela, dan membuka buku catatannya. Tiba-tiba, ia merasakan sensasi aneh. Bukan hanya aroma kopi, tetapi juga aroma samar parfum patchouli yang pernah dikenalnya.
Laras mengangkat pandangannya. Di meja seberang, duduk seorang pria dengan jaket denim usang dan rambut agak panjang yang disisir rapi. Pria itu tampak familiar, memegang pena dan sesekali menyeruput kopinya.
Hatinya berdesir. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir melihat punggung itu.
Dialog:
Laras memberanikan diri mendekat. "Reza?"
Pria itu menoleh. Matanya yang cokelat melebar sedikit karena terkejut. "Laras? Ya Tuhan, sudah lama sekali."
"Aku... aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," ujar Laras, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. Ia berdiri kaku di samping meja Reza.
"Dunia memang sempit," Reza tersenyum tipis, senyum yang dulu selalu mampu meluluhkan kekeras-kepalaan Laras. "Aku baru pindah ke daerah sini. Kau... masih suka mencari kedai kopi tersembunyi?"
"Tentu saja. Tempat seperti ini memberiku ketenangan untuk menulis." Laras menunjuk buku catatannya. "Kau sendiri? Masih sibuk dengan proyek arsitektur besarmu?"
Reza mengangguk, namun raut wajahnya berubah muram. "Ya. Sangat sibuk. Saking sibuknya, sampai aku tidak sempat mengurus hal-hal yang penting."