Kinar menghela napas, debu kota Jakarta terasa menyesakkan. Di umurnya yang ke-25, ia merasa semua yang dikejarnya hanya menciptakan kekosongan. Tumpukan berkas di kantor, janji-janji palsu klien, dan lalu lintas yang tak pernah bersahabat---semua terasa hampa. Saat ia membutuhkan pelarian, hanya satu tempat yang terlintas: rumah Kakek Ardi di pinggir kota, sebuah bangunan tua dengan atap genteng merah yang selalu dirindukannya.
Malam itu, Kinar memutuskan untuk memanjat ke atap, seperti yang sering dilakukannya saat kecil. Langit Jakarta tidak pernah sejelas ini. Bintang-bintang tampak malu-malu, tapi bulan purnama bersinar dengan bangga, membanjiri atap dengan cahaya perak. Kinar merebahkan diri, membiarkan dinginnya genteng meresap ke punggungnya, dan memejamkan mata.
"Indah, ya?"
Suara itu mengejutkan Kinar. Ia membuka mata dan melihat seorang gadis duduk di sebelahnya, menyandarkan dagu di atas lututnya. Gadis itu mengenakan gaun putih sederhana, rambutnya tergerai panjang, dan matanya menatap bulan dengan sorot penuh melankolis.
"Kamu siapa?" tanya Kinar, setengah terkejut.
Gadis itu tersenyum. "Panggil aku Rembulan. Aku memang suka duduk di sini setiap malam."
Sejak malam itu, atap genteng itu menjadi tempat pertemuan mereka. Kinar menceritakan tentang mimpinya yang hancur, tentang pekerjaannya yang membosankan, dan tentang betapa ia merindukan kesederhanaan. Rembulan mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi. Ia hanya bercerita tentang keindahan yang dilihatnya dari atas atap: gemerlap lampu kota yang menyerupai kunang-kunang, bisik angin di dedaunan, dan wajah-wajah orang yang tak dikenalnya.
"Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah melihat dari sudut pandang yang berbeda," kata Rembulan suatu malam. "Bulan ini, ia tak pernah mengubah cahayanya. Tapi, saat kita melihatnya dari atap yang berbeda, ia akan terlihat berbeda juga."
Kinar mulai merasa hidupnya kembali. Ia lebih bersemangat di kantor, tidak lagi terlalu memusingkan hal-hal kecil, dan bahkan mulai mengambil kursus melukis. Semua karena Rembulan.
Namun, ada satu hal yang mengganjal. Rembulan tak pernah mau bertemu dengannya di siang hari. Saat Kinar menawarkan untuk mengajaknya minum kopi, Rembulan hanya tersenyum getir.