Awan gelap menggantung di atas kota, bukan hanya awan hujan, tapi juga awan amarah. Di bawahnya, jalanan dipenuhi lautan manusia, mengalir seperti sungai yang bergemuruh. Namaku Aris, seorang jurnalis foto yang hari itu bertugas meliput demonstrasi. Aku berdiri di pinggir jalan, kamera tergantung di leher, mencoba mengabadikan momen-momen protes damai yang perlahan mulai berubah.
"Ris, hati-hati," bisik Rina, rekanku yang bertugas menulis berita. "Feeling-ku gak enak."
Aku mengangguk. "Aku juga. Kerasa tegang banget."
Memang, udaranya terasa begitu pekat. Setiap teriakan, setiap lambaian spanduk, seolah membawa energi yang siap meledak. Tiba-tiba, sebuah botol melayang, memecah kesunyian yang tegang. Suara pecahan itu seperti aba-aba. Kerusuhan pecah.
Massa yang tadinya berbaris rapi mulai berhamburan. Barikade polisi di depan sana menjadi sasaran lemparan batu dan benda-benda lainnya. Aku melihat api mulai berkobar dari beberapa ban yang dibakar. Asap hitam mengepul, menambah pekat suasana.
"Cepat! Kita harus cari tempat aman!" teriak Rina menarik tanganku.
"Enggak bisa, Rin! Ini tugas kita!" balasku, melepaskan genggamannya. "Aku harus dapat foto-foto ini!"
"Aris, ini bukan soal tugas lagi! Ini bahaya!"
Tapi aku tidak mendengarkan. Adrenalin mengalir deras di tubuhku. Aku berlari lebih dekat ke kerumunan, mencari sudut pandang yang lebih baik. Di tengah kekacauan, aku melihat seorang anak muda dengan wajah penuh emosi, mencoba menenangkan temannya yang hendak melemparkan batu.
"Jangan! Ini bukan cara kita!" serunya.