Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Lagu Senja di Musim Gugur

31 Agustus 2025   09:08 Diperbarui: 31 Agustus 2025   09:08 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angin sore berembus lembut, meniupkan dedaunan berwarna jingga dan cokelat di Taman Kota. Elara duduk di bangku taman, kuasnya menari lincah di atas kanvas. Ia tak bisa bicara, tetapi jemarinya bercerita. Setiap sapuan warna adalah bisikan dari jiwanya, melukiskan keindahan senja yang memudar. Di dekatnya, seorang pria tua dengan rambut beruban duduk di bangku lain, gitar usangnya tergeletak di sampingnya. Dia adalah Pak Arman, musisi jalanan yang suaranya dulu merdu, kini membisu karena kesedihan.

Hari itu, Elara melukis pohon beringin tua. Setiap detail ranting dan daunnya ia tuang dengan penuh perhatian. Ia merasakan tatapan Pak Arman yang tertuju pada lukisannya. Elara menoleh, memberikan senyum kecil. Pak Arman membalasnya dengan senyum getir.

Elara mengeluarkan buku catatan kecil dan pena. Ia menulis, "Bapak tidak bermain musik hari ini?"

Pak Arman menatap gitar di sampingnya. "Sudah lama aku tidak menyentuhnya," jawabnya, suaranya parau. "Terlalu banyak kenangan yang pedih."

Elara melihat kesedihan di mata pria tua itu. Ia membalikkan kanvasnya dan mulai melukis sesuatu yang baru: sebuah sketsa Pak Arman, lengkap dengan gitar di tangannya. Perlahan, ia menambahkan warna-warna cerah: merah, kuning, dan jingga, seperti warna senja yang menyinari.

Pak Arman memperhatikan setiap sapuan kuas Elara. Ia terkejut saat melihat sketsa itu. "Ini... aku?"

Elara mengangguk, lalu menulis di buku catatannya, "Muzik Bapak indah. Saya harap Bapak bisa bermain lagi."

Baca juga: Senja Ungu

Pak Arman terdiam. Hatinya yang beku perlahan mencair. Ia mengambil gitar usangnya, memetik senarnya. Suara yang dihasilkan sumbang, tak merdu lagi seperti dulu. Ia kembali menunduk, malu.

Baca juga: Menanti Hujan

Elara segera menghentikan lukisannya. Ia menunjuk ke kanvasnya, ke sketsa Pak Arman yang kini diwarnai cerah. Ia lalu menunjuk ke gitar di tangan Pak Arman. Dengan isyarat tangannya yang sederhana, ia berkata, "Warna musik Bapak tidak pudar."

Pak Arman menatap lukisan itu, lalu menatap Elara. Ia mengerti. Elara tidak melihat kekurangannya, tetapi keindahan di masa lalu yang masih tersimpan di dalam dirinya. Pria tua itu memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan mulai memetik senar. Kali ini, ia memainkannya dari hati. Melodi yang sumbang perlahan berubah menjadi irama yang syahdu, merangkai sebuah lagu tentang kerinduan, kehilangan, dan harapan.

Saat lagu itu selesai, Elara menunjuk ke langit. Senja telah pudar, digantikan oleh kegelapan malam yang dihiasi bintang-bintang. Ia tersenyum, lalu kembali menulis di buku catatannya, "Senja sudah pergi, tapi bintang-bintangnya tetap menyala. Sama seperti musik Bapak."

Pak Arman meneteskan air mata. "Terima kasih," bisiknya. "Kamu sudah mengembalikan bintang-bintang di hatiku."

Ia menatap lukisan Elara, yang kini dipenuhi warna-warna cerah dan kebahagiaan. Di tengah senja yang memudar, mereka menemukan bahwa bahasa hati jauh lebih kuat daripada kata-kata. Satu adalah pelukis bisu yang berbicara dengan warna, dan yang lainnya adalah musisi tua yang menemukan kembali suaranya. Mereka berdua adalah sepasang bintang yang menyala di kegelapan malam, menyebarkan keindahan dalam sunyi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun