Sinar mentari pagi sudah terik saat Bima dan Doni tiba di lapangan Desa Sukamaju. Mereka sudah memakai kaus kembar berwarna merah putih, simbol semangat 17 Agustus. Lomba panjat pinang adalah acara yang paling dinanti-nanti, dan tahun ini, hadiahnya adalah sepeda gunung. Bima ingin sekali sepeda itu, untuk membantu ayahnya mengangkut hasil kebun.
"Don, kita pasti menang," kata Bima sambil menepuk bahu Doni.
Doni tersenyum, tapi matanya terlihat gugup. "Aku harap begitu, Bim. Aku sudah latihan, kok."
Mereka bukan hanya sahabat, tapi juga saingan berat. Doni ingin memenangkan hadiah itu untuk adiknya yang membutuhkan kursi roda. Mereka sudah berjanji, siapa pun yang menang, hadiahnya akan dibagi dua.
Lomba dimulai, dan tim Bima mendapat giliran kedua. Tiang pinang yang dilumuri oli tampak mengilap dan licin. Hadiah di puncaknya berkilauan, seakan memanggil-manggil. Bima menjadi orang paling bawah, menahan berat badan tiga temannya yang lain.
"Ayoo, Bima, kuat!" teriak Doni dari pinggir lapangan.
Bima mengerahkan seluruh tenaganya. Otot-ototnya menegang. Kausnya basah oleh keringat. Satu per satu temannya mulai menaiki pundaknya, berusaha mencapai puncak. Namun, setiap kali mereka mencoba, mereka selalu terpeleset. Oli di tiang pinang terlalu licin.
"Bim, aku sudah tidak kuat!" teriak salah satu teman mereka.
"Satu kali lagi!" Bima berteriak, suaranya parau.
Namun, usaha mereka sia-sia. Mereka jatuh ke tumpukan karung goni di bawah. Sorakan penonton berubah menjadi tepuk tangan. Meskipun kalah, mereka tetap mendapat hadiah hiburan.