Angin kering berhembus di atas bukit, membawa serta debu dan aroma tanah basah. Di balik kawat berduri, Karel van Dijk, seorang serdadu Belanda, menatap nanar barisan pohon kelapa yang berayun-ayun di kejauhan. Lima tahun. Sudah lima tahun ia menjadi tawanan perang, sejak Jepang menyerah dan kemerdekaan Indonesia digaungkan. Namun, bagi Karel, kata 'merdeka' terasa hampa, hanya ilusi yang digaungkan oleh para penjaga kamp.
"Karel, kau melamun lagi?" suara serak Jacob, sahabatnya, membuyarkan lamunannya. "Kau harus makan. Kita tidak tahu kapan mereka akan memindahkan kita lagi."
Karel menggeleng. "Apa gunanya makan, Jacob? Kita hanya menunggu giliran untuk dibuang ke entah berantah. Mereka bilang 'merdeka', tapi kita masih di sini, terpenjara."
Jacob menepuk bahu Karel. "Jangan pesimis. Dengar, aku punya rencana."
Karel mengangkat alisnya. "Rencana? Kita hanya sekelompok tentara lelah yang kelaparan."
"Tidak. Mereka tidak tahu kekuatan kita. Aku sudah berbicara dengan yang lain. Kita akan membuat keributan saat penjaga lengah. Kita akan mengambil alih gudang senjata dan lari," bisik Jacob.
Senyum sinis terukir di bibir Karel. "Lari ke mana? Kembali ke Belanda? Apa kita yakin mereka masih menerima kita? Atau kita lari dan bergabung dengan para pemberontak itu? Mengapa kita harus berjuang untuk mereka yang telah merebut segalanya dari kita?"
"Ini bukan soal mereka, Karel. Ini soal kita. Kita harus berjuang untuk kebebasan kita sendiri. Bukankah itu esensi dari kemerdekaan? Kita harus berjuang untuk menentukan nasib kita sendiri," jawab Jacob.
Malam harinya, di bawah langit gelap yang bertabur bintang, rencana itu dimulai. Mereka berhasil mengalihkan perhatian penjaga, dan dalam keheningan yang mencekam, Karel dan Jacob merangkak menuju gudang senjata. Namun, di tengah jalan, seorang penjaga melihat mereka.
"Siapa di sana? Angkat tangan!" teriak sang penjaga.