Mohon tunggu...
Zaly
Zaly Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seseorang yang gemar menulis cerpen dan karya lainnya. bisa kunjungi akun instagram untuk lebih lanjut !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Genggaman di Kursi

15 Juni 2025   09:13 Diperbarui: 15 Juni 2025   09:13 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mentari merayap malu di balik jendela kaca berembun, mewarnai ruangan dengan semburat oranye yang hangat. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, berpadu dengan alunan musik jazz dari radio tua di sudut ruangan. Di dekat jendela, seorang wanita bernama Riana duduk termenung di kursi goyangnya. Rambutnya yang mulai memutih disisir rapi ke belakang telinga, memperlihatkan kerutan halus di sekitar matanya, jejak waktu yang tak bisa dihindari.

Tiba-tiba, pintu berderit pelan. Seorang pria paruh baya dengan senyum hangat dan mata berbinar masuk ke dalam ruangan. Dialah Bram, suami Riana, teman hidupnya selama lebih dari empat puluh tahun.

"Melamun lagi, Sayang?" sapa Bram lembut sambil mendekat dan mengecup kening Riana dengan sayang.

"Hanya menikmati pemandangan sore," jawab Riana sekenanya, matanya tetap terpaku pada taman yang mulai gelap di luar jendela.

Bram duduk di kursi kecil dekat Riana, meraih tangannya yang mulai keriput dan menggenggamnya lembut. Sentuhan itu, meskipun sederhana, selalu mampu menenangkan hati Riana. "Pemandangan memang indah, tapi lebih indah lagi jika dinikmati bersama orang tersayang. Apa yang membuatmu melamun hari ini?"

Riana tersenyum tipis. "Kau selalu bisa membuatku tersenyum, Bram. Padahal aku sedang merasa sedikit melankolis."

"Itulah tugasku, bukan?" balas Bram sambil terkekeh pelan. "Melindungi senyummu. Ada yang ingin kau ceritakan? Mungkin tentang masa lalu yang selalu kau rindukan?"

Riana menghela napas pelan, membiarkan kenangan masa lalu mengalir dalam benaknya. "Aku hanya teringat masa lalu. Dulu, saat kita masih muda, kita sering sekali menikmati sore hari bersama di pantai. Ingat saat kita menyelipkan surat cinta di dalam botol dan menghanyutkannya ke laut?"

Bram mengangguk, matanya berbinar mengingat kenangan itu. "Tentu saja. Pantai itu menjadi saksi bisu cinta kita. Aku masih ingat bagaimana kau selalu tertawa lepas saat ombak membasahi kakimu, dan aku selalu berusaha menjagamu agar tidak terjatuh."

"Dan kau selalu menggandeng tanganku erat-erat, seolah takut aku akan hilang terbawa ombak," timpal Riana, suaranya bergetar menahan haru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun