Mohon tunggu...
AMI RASYIDA
AMI RASYIDA Mohon Tunggu... Penjaga Penjara, Pembaca Manusia

Social Welfare & Women Empowerment Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Tenang, Aku Menang

19 September 2025   13:35 Diperbarui: 19 September 2025   14:02 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku Tenang, Aku Menang

 

Oleh : Rahmi Aini Rasyida

171320250007

              Menjadi manusia yang memiliki keseimbangan dan harmonisasi yang baik secara fisik, mental, serta spiritual menjadi dinamika yang menantang di zaman modernasi teknologi dan budaya saat ini. Semakin maju zaman, belum tentu selaras dengan kemajuan ekonomi; tapi melebarnya kesenjangan. Semakin maju pengetahuan, belum tentu beriringan dengan meningkatnya kebahagiaan; tapi meningkatnya tekanan sosial. Bertolak belakang bukan? Seperti politisi yang tak sejalan antara ucapan dan tindakan. Tanpa memiliki Locus of Control yang baik, hidup akan selalu melaju mengikuti zaman tetapi seolah tanpa pendirian. Locus of Control internal memperbesar kendali kita atas peristiwa atau kemajuan zaman, kita bisa memilah mana yang layak kita ikuti, dan mana yang layak kita tinggalkan sekaligus tanggalkan di tengah banyak normalisasi nilai yang bertentangan dengan adab dan agama. Tentu sulit, terkadang penolakan-penolakan kita atas kemajuan zaman, akan disertai dengan cap "manusia ketinggalan zaman" dari lingkungan. Tapi justru itu, ruang kendali itu memang perlu banyak berasal dari keputusan sendiri, bukan sebatas tekanan sana sini. Kita menyadari bahwa respon kita sepenuhnya merupakan kendali kita. Banyak manusia yang serba memaksakan demi pengakuan. Lalu, di titik mana kita merasa cukup? Rasa cukup itu disadari dan diregulasi, dengan menumbuhkan banyak empati. 

Kemajuan Ilmu pengetahuanpun kini tak terbendung, mudah sekali diakses, terutama kehadiran Artificial Intelligence (AI) menjadi pedang bermata dua; kemajuan yang memajukan peradaban, atau justru yang mematikan daya juang manusia untuk meraih potensi terbaiknya karena selalu disodorkan kemudahan. Kemajuan ini menghadirkan persepsi dan paradigma baru; bahwa mungkin kecerdasan yang dibutuhkan dan diunggulkan bukan lagi IQ dalam diri manusia, tetapi kemampuan lain seperti EQ dan SQ yang sulit ditandingi oleh AI. Sama pentingnya, tapi mungkin ada yang lebih penting. Kecerdasan yang perlu dimiliki mungkin bukan lagi kemampuan menghapal segudang teori, tetapi kemampuan memfiltrasi serbuan informasi yang tiada henti. Kecedasan emosi dan spiritual justru menjadi penjaga kita dalam mengatasi informasi-informasi yang sejatinya pasti mempengaruhi emosi serta reaksi kita. Pada siapa kita marah? Bagaimana cara kita marah? Mungkin juga, kita memahami, bahwa cara kita menghadapi emosi bisa berbeda, tergantung generasi, tergantung situasi kita, tergantung  tingkat resiliensi kita pada saat emosi itu muncul. 

Mungkin saja, di zaman modern ini; kata dan cara berjuang memiliki beda cara dan makna dengan masa silam. Manusia di zaman ini punya caranya berjuang dengan segala dinamika yang ada. Contoh, Jika waktu saya kecil saya hanya dibandingkan dengan anak tetangga, anak-anak masa kini membandingkan diri bahkan dengan orang-orang melalui media sosial bahkan dengan orang yang tidak dikenalnya. Semakin banyak perbandingan, semakin merasa insecure atau rendah diri, walau ada pula yang mengambil hikmahnya; untuk mengejar kemajuan. Dalam skala besar, kita juga mudah melihat akses-akses tentang belahan dunia lain, membandingkan bagaimana kita bertahan hidup di negara ini atau bagaimana hidup di dunia lain. Semakin tidak adil cara berpikir, semakin tidak tenang emosi. Membandingkan kelebihan dengan kekurangan, ataupun ya, sebaliknya. Negara kita, tentu saja melimpah potensi tapi juga dengan segudang permasalahan dan tantangannya. Oleh sebab itu, menjaga Indonesia mungkin sesederhana dimulai dari menjaga diri kita. Mungkin sesederhana, kita mengembangkan potensi terbaik kita demi bangsa. Mungkin sesederhana, saat kita menyeimbangkan elemen kecerdasan kita saat membangun generasi.  Mungkin juga, sesederhana, saat kita memegang prinsip kita di atas godaan-godaan dunia. Karena kita paham, bahwa perilaku kita, lensa kita berpikir, mempengaruhi sekeliling kita sendiri. 

Cara kita berpikir, cara kita bertindak, cara kita memaknai, akan menentukan cara kita hidup. Semakin baik dan terkendali, maka hidup kita juga baik. Semakin banyak hal-hal yang tak terkendali, tetapi kita tetap paham; bahwa respon dan keyakinan selalu sepenuhnya merupakan kendali pribadi. Ilmu-ilmu dalam psikososial dan keilmuan selalu terdapat perdebatan dan mengalami perkembangan. Namun nilai-nilai agama, selalu menetap menjaga manusia di semua masa. Sehingga, menjadikan agama sebagai salah satu penjaga kita dalam hidup di modernasi dunia, justru membuat kita tetap memiliki pegangan kendali yang tak akan pernah luntur walau badai menghantam kita berkali-kali. Karena mungkin, rasa tenang adalah justru kemenangan kita di tengah gonjang-ganjing yang selalu dihadirkan ketidakpastian zaman. 

               Tranquillus sum, vici. Aku tenang, aku menang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun