Mohon tunggu...
Aminuddin
Aminuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis purna
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nama : Aminuddin TTL : Plaju, 30 Desembe 1961 Pendidikan : S1 UIN Raden Fatah Palembang GO-PAY: +6289506920230

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bercerai atau Tidak, Lebih Baik Tidak Bercerai

1 Maret 2022   12:54 Diperbarui: 1 Maret 2022   13:05 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keluarga harmonis | Foto: sehatq.com

KITA patut perihatin dengan melonjaknya kasus perceraian yang terjadi di daerah Ka bupaten Muaraenim, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

Hal ini dikarenakan perceraian antara orangtua justru berimbas pada anak-anak kita, menjadi diremehkan dan boleh jadi kurang kasih sayang. 

Yang paling menyakitkan adalah dibully teman sekolah, apalagi penyebab perceraian itu dikarenakan kehadiran orang ketiga alias selingkuh. 

Hal ini juga berdampak traumatik pada diri anak. Dan bukan mustahil, setelah melihat orangtua mereka bercerai, cita-cita yang dulunya jadi idaman, akan pupus di tengah jalan. 

Seiring dengan banyaknya liku dan pen deritaan yang dialami setelah orangtua bercerai dengan menyandang status baru di masyarakat sebagai anak broken home. 


Bagaimana dengan Muaraenim? 

Dari catatan PA Kelas I-B Muaraenim, ada beberapa faktor penyebab terjadinya perceraian. 

Yang paling tinggi adalah perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus (604), faktor ekonomi (122), mabuk (miras) 68 kasus, me ninggalkan salah satu pihak 61 kasus, KDRT 56, judi 49 kasus dan dihukum penjara sebanyak 49 kasus. (Sripo edisi Selasa, 1/3/2022) 

Dari sekian banyak kasus itu, ternyata faktor ekonomi yang selama ini mendominasi tidak lagi menempati urutan utama. 

Tapi justru perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus lah menjadi pemicu utama terjadinya keretakan dalam rumah tangga. 

Memang harus diakui hanya karena masalah sepele seorang suami maupun isteri acapkali tidak mampu mengendalikan emosi. 

Rasa egoisme yang tinggi dan merasa paling benar sendiri lebih ditonjolkan ketimbang duduk bersama untuk menyelesaikan akar pokok persoalan. 

Belum lagi ada keberpihakan keluarga dekat yang kehadirannya bukan untuk mendinginkan suasana tapi justru memperkeruh nya sehingga tidak ada solusi. 

Masing-masing dari kita punya alasan sendiri kenapa sampai tidak bisa mengendalikan emosi yang berujung pada perceraian. 

Tapi harus tetap diingat juga masing-masing suami isteri punya hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk mempertahankan rumah tangga. 

Jadi sewajarnyalah, sebelum memutuskan untuk hidup berpisah, perhatikan lah juga nasib dan masa depan anak keturunan kita. 

Karena mereka lah masa depan kita. Mereka lah yang bakal meneruskan estafet kehidupan kita kelak. 

Sebuah generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. 

Setiap dari kita boleh jadi mengklaim perceraian adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan rumah tangga. 

Tapi sesungguhnya lah klaim kita itu belum diamini oleh orang terdekat kita, anak-anak kita yang kita cintai dan sayangi. 

Karena boleh jadi klaim kebenaran kita lebih tertuju pada pasangan kita, suami dan isteri. 

Bisa hidup lebih tenang, aman dan nyaman serta jauh dari prahara rumah tangga bila tidak bersama-sama lagi. 

Padahal ketenangan, rasa aman dan nyaman itu pada prinsipnya semu semata. 

Karena pada satu sisi kita justru tetap terikat pada tanggung jawab penuh pada anak-anak kita dari perkawinan terdahulu. 

Dan pada sisi yang lain kita harus membangun kembali fondasi rumah tangga baru yang belum tentu menjamin sama perlakuan kita dengan anak-anak kita dari perkawinan terdahulu. 

Jangan salahkan anak jika kelak mereka jadi anak yang nakal. Jangan pula salahkan bila nanti mereka jadi gampang frustasi, rendah diri dan jauh dari harapan kita sebelumnya. 

Memang ada banyak kasus dimana anak-anak broken home berhasil menyabet prestasi dan meraup ke suksesan dalam karir dan rumah tangganya. 

Tapi itu tidak lantas menjadi pembenaran bahwa, walaupun orangtua berpisah, anak-anak kita justru lebih mandiri dan bisa menentukan arah serta jalan hidup mereka sendiri. 

Mandiri dan prestasi itu bukan lahir dari keluarga broken home. Mereka sejatinya lahir dari orangtua yang berakhlak mulia, punya keteladanan untuk dipanuti dan ber tanggung jawab terhadap masa depan kelu arganya. 

Masa depan yang baik adalah harapan kita semua. Lahir dan tumbuh generasi baru yang cerdas, beriman dan berakhlak mulia serta menaruh hormat pada orangtua dan sesama. 

Untuk mewujudkan itu semua tidak mudah memang. Perlu kerja keras dan dukungan dari semua pihak. 

Mulai dari keluarga dekat, orangtua, kakek dan nenek, teman sejawat dan handai tolan hingga pihak-pihak yang punya wewenang untuk itu. 

Semoga, mulai detik ini, kita tetap berupaya untuk menyelamatkan rumah tangga kita, meski itu tidak mudah karena banyak riak dan godaan yang datang dari dalam dan luar sana. 

Oleh aminuddin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun