Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Satu Juta Judul Buku Baru, Berapa yang Sudah Anda Baca?

17 Mei 2021   09:57 Diperbarui: 17 Mei 2021   15:53 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baca buku (Photo by Nataliya Vaitkevich from Pexels)

Tahun ini buku baru yang diterbitkan menurut laman worldometer mencapai 1 juta judul. Sementara itu dengan menggunakan sejumlah algoritma tingkat lanjut, di tahun 2010 Google pernah menghitung bahwa di era modern terdapat hampir 130 juta judul buku atau tepatnya 129.864.880 judul.

Kalau menggunakan asumsi buku baru yang diterbitkan linier setiap tahunnya, maka kedua data di atas dapat digunakan untuk mengira bahwa tahun 2020 jumlah buku di dunia sekitar 140 juta judul!

Dari jumlah-jumlah itu berapa yang mampu kita baca? Tidak usah sepanjang era modern, acu saja kepada jumlah buku baru tahun ini!

Di sisi lain, masih berbasis internet, banjir informasi melalui dunia maya memenuhi hampir semua ruang yang kita miliki. Ruang pribadi kita digelontor dengan informasi produk dan tawaran pikiran. Jangan tanya ruang sosial! Apa yang kita akumulasikan di ruang pribadi, sering tanpa kendali kesadaran, menyeruak bersilang-sengkarut di jagat pergaulan sosial berebut simpati dan dukungan.

Dunia berubah dan tak ada guna kita mengecam ataupun hendak membendungnya. 

Kalau fenomena ini diletakkan dalam konteks lingkungan, maka saatnyalah kita menyadari bahwa tantangan evolusi sedang menunggu jawaban dari makhluk yang menyakini dirinya berbudaya. Tidak merespon dengan adab dan budaya maka kita semua pelan-pelan akan direduksi menjadi sekadar angka yaitu nomor dan jumlah. Nomor untuk setiap individu dan angka ketika individu demi individu dikelompokkan berdasarkan algoritma tertentu.

Bukti dari gejala ini apa?

Lihatlah akun medsos para pesohor, betapa jumlah pengikut menjadi tujuan untuk dikapitalisasi menjadi mesin penghasil uang. Sebagai pengikut kita mengikuti setiap gerak-gerik mereka, entah bermutu atau tidak, entah bermanfaat atau tidak, dan merasa ketinggalan informasi ketika ada pemutakhiran (up date) mereka yang kita lewati.

Apakah mereka kenal satu demi satu setiap pengikutnya?

Apakah mereka akan menjawab setiap komentar pengikut atas unggahan mereka?

Rasanya jawabnya tidak atau belum tentu.

Laman Beritasatu pernah menampilkan data bahwa hingga Januari 2021, Indonesia yang penetrasi internetnya 73,7%, memiliki pengguna internet sebanyak 202,6 juta jiwa yang meningkat 16% (sekitar 27 juta) dibanding tahun sebelumnya.

Untuk apa saja mereka atau kita menggunakan internet?

Ternyata 92% penduduk berusia 15 -- 64 tahun menggunakan layanan Youtube! Popularitas Youtube disusul oleh Whatsapp, Instagram, Facebook dan Twitter.

Riset situs HootSuite dan agensi marketing We Are Social bertajuk Digital 2021: Global Overview Reports menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat delapan dari 47 negara terbanyak menghabiskan waktu di Internet dengan rata-rata menghabiskan 8 jam 52 menit untuk berselancar di Internet. Indonesia masuk dalam 10 besar negara yang kecanduan media sosial. Posisi Indonesia sendiri berada di peringkat 9 dari 47 negara yang dianalisis. Rata-rata masyarakat Indonesia menggunakan media sosial selama 3 jam 14 menit, lebih tinggi dari rata-rata global selama 2 jam 25 menit.

Kecanduan medsos sudah tentu akan diiringi dengan keaktifan dalam perbincangan beragam tema yang tersaji. Namun sayangnya kemudian muncul sindiran "ganas komen di medsos, tapi malas baca" seturut maraknya hoaks yang beredar dalam perbincngan itu.

Poin terakhir ini yang ingin penulis ajak pembaca sekalian untuk merenunginya.

Ramadhan baru berlalu.

Dalam Ramadhan kaum Islam  sangat dianjurkan untuk memperbanyak mengaji atau membaca Quran. Salah satu amalan yang disukai adalah membaca kitab suci dan diharapkan juga selepas Ramadhan aktifitas membaca tetap berlanjut. Dalam kontek mengolah informasi, termasuk informasi dari Kitab Suci, membaca atau mengaji dianjurkan juga untuk memahami maknanya mulai dari tafsir sampai ke hadits yang merupakan penjelasan operasional ayat demi ayat dari Qur'an.

Pada tahap inilah sebenarnya salah satu kelemahan kita sebagai bangsa, yaitu sering tidak merasa penting untuk mendalami apa yang dibaca secara komprehensif. Konten informasi yang tidak dilengkapi pemahaman kontek situasi dan kondisi seringkali tanpa sadar kemudian digunakan dengan tidak melihat kesesuaiannya. Tidak heran kalau kemudian tuduhan kafir-mengkafirkan, bid'ah-bukan bid'ah dan sejenisnya yang awalnya merupakan domain privat atau kelompok kemudian mengemuka ke ruang publik dan lalu mengganggu hubungan sosial. Pada ranah yang tidak spesifik berangkat dari domain privat, seperti agama, fenomena ini muncul dalam bentuk ujaran kebencian dan sebaran berita bohong dengan ragam tujuannya. Kecanduan bermedsos sebagaimana dikutip di bagian awal mempersubur kondisi ini.

Sederhananya, tingkat literasi yang rendah menjadi awal dari gagal cerna informasi sebagian besar warga bangsa ini. Budaya baca yang tidak dianggap sebagai kebutuhan dasar menjadikan percakapan antar warga lebih sering dilandasi oleh asumsi dan stereotype.

Global English Editing pernah memuat infografis yang menggambarkan bahwa, di tahun 2018, orang Indonesia menghabiskan 6 jam per minggu untuk membaca buku, jauh di bawah India 10,42, Thailand 9,24, China 8 jam dan Filipina 7,36 jam.

Kondisi ini dapat disandingkan dengan gambaran tingkat literasi kita sebagai bangsa.

Perhatikan data World's Most Literate Nations yang dirilis oleh Central Connecticut State University. 

Dari 61 negara yang diukur, peringkat literasi negara kita adalah 60, di bawah Thailand (59), Malaysia (53), Singapura (36), dengan pemuncak negara-negara Skandinavia. Indonesia hanya setingkat di atas Botswana (61)! Studi yang sama menampilkan bahwa akses surat kabar warga kita berada di peringkat 55, di bawah Thailand (53), Malaysia (50) dan Singapura (34). Pada kategori perpustakaan, yang mengukur berdasarkan jumlah pustakawan, jumlah perpustakaan umum, jumlah perpustakaan sekolah dan koleksinya, peringkat kita adalah 36,5 lebih baik dibanding Malaysia (44), Thailand (40,5) dan Singapura (59).

Bagaimana dengan keluaran sistem pendidikan yang mengukur kemampuan membaca? Singapura ada di peringkat pertama, Indonesia ada di peringkat 45, syukurnya, di atas Thailand 53 dan Malaysia 56.

Apa arti semua data atau informasi di atas?

Bangsa kita lebih suka menikmati hiburan berbasis audio-visual lalu bercakap-cakap di medsos ketimbang membaca buku. Kebiasaan membaca buku terpinggirkan oleh kebiasaan membaca apa saja yang melintas di media sosial sembari mengikuti hiburan di kanal berbagi video.

Meski keduanya sama-sama akitifitas membaca, namun

godaan kecepatan mengakses dan berbagi serta ragam bahan di media internet mengalahkan godaan buku yang secara fisik mungkin tampak berat, kaku dan membosankan. 

Padahal buku menawarkan kerangka yang jelas dan urutan narasi yang runut tentang sesuatu hal yang menjadi isi buku tersebut. Tentu saja selalu terdapat kemungkinan bahwa ada buku yang tidak berkualitas dari sisi maupun struktur penyajian, namun biasanya buku seperti ini tidak akan bertahan lama dibicarakan orang.

Seberapa sabar kita menelusuri asal-usul sebuah tulisan, cuitan atau sejenisnya yang silih berganti memberi notifikasi di akun medsos kita minta dibaca? Ketika kita menemukan bahwa sebuah tulisan ternyata bohong dan karenanya tidak layak dibincangkan, bisa jadi luas sebarannya sudah tak terbayangkan sebagaimana dampaknya juga barangkali tidak kita perkirakan.

Buku sebaliknya memberi ruang yang lapang untuk kita bisa melihat profil penulisnya, lingkup bahasannya, segmen tujuan pembacanya bahkan maksud pemulisannya. Saat ingin mengetahui tentang aspek kemasyarakatan sebuah komunitas, kita bisa membaca buku dari kategori antropologi atau sosiologi dari penulis yang memang profilnya sepadan dengan tema tersebut. Tema politik, demokrasi, ekonomi, teknologi, lingkungan, arsitektur sampai agama, bahkan fiksi atau sastra dengan buku maka sedari awal kita sudah bisa melakukan pemilahan bahan yang ingin dibaca yang akan menghindarkan kita dari kesemrawutan pendapat. Hanya penulis level dewa, atau begawan saja yang memiliki kemampuan menggunakan banyak perspektif untuk meramu satu isu tertentu. Dan ke-begawan-an itu bisa dilihat dari profil penulisnya.

Tentu di medsos bisa juga kita melakukan hal yang sama, memilih sumber dan memilah kategori, namun godaan kecepatan akses dari kemajuan teknologi sering mengalahkan kesabaran kita untuk menelusurinya. 

Bahkan godaan untuk segera berbagi atau sekadar memberi komentar seringkali mengalahkan kecepatan kita membaca tuntas sebuah tulisan di media sosial.

Pada akhirnya ini akan kembali ke budaya baca yang kita miliki. Berapa jam sehari kita alokasikan membaca kitab (agama) atau buku akan mempengaruhi berapa banyak buku yang bisa kita baca sampai hari ini dibanding jumah buku baru yang terbit setiap tahun. Budaya baca juga bisa ditebak dengan membandingkan berapa banyak rupiah yang kita habiskan untuk membeli paket data internet dibanding alokasi rupiah untuk membeli buku baru setiap tahunnya dengan asumsi pengeluaran uang dilakukan karena kita merasa hal tersebut penting.

Dalam Islam, ayat yang turun pertama kali adalah perintah membaca, Iqra', bahkan turun kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak bisa membaca dan diulang oleh Malaikat Jibril 3 (tiga) kali.

Jadi, buku apa yang terakhir anda baca bulan ini? Buku apa yang terakhir anda beli setahun terakhir? 

Kalau jawabannya belum sebanding jumlah rupiah untuk membeli paket data dan membaca atau mengomentari postingan, maka kita menjustifikasi survey-survey di atas bahwa kita lebih suka hiburan dan lebih suka komentar tanpa terbiasa membaca tuntas. Dan itulah gambaran aktual tingkat literasi kita sebagai bangsa.

Salam literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun