Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Berdebat, Pelajaran yang Tak (Cukup) Terajarkan

20 Februari 2021   17:49 Diperbarui: 23 Februari 2021   07:59 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Photo by Pixabay from Pexels)

Sebuah kutipan dari Violeta Parra (musisi dan aktivis sosial dari Chili) yang membuka buku Beyond the Hoax, Science Philosophy and Culture yang ditulis Alan Sokal (2008) berbunyi:

I do not play the guitar for applause
I sing of the difference
between what is true and what is false
Otherwise I do not sing.

Entah karena terkungkung warisan pikiran bahwa hidup bertetangga harus selalu rukun, perbedaan seringkali kita maknai secara sempit. 

Alergi dengan perbedaan membuat kita sering merasa gugup bertukar pikiran, gagap bertukar pendapat lalu gamang bersikap. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika malah sering disikapi sebagai boleh menampakkan perbedaan, tapi jangan bicarakan karena bisa menyinggung perasaan pihak lain.

Siapa bisa megingkari bahwa taman akan terlihat indah kalau tanamannya beragam. Sekalipun tanamannya seragam, tapi kalau landscape dan kontur lahannya berirama dan tidak monoton maka keindahan pun tetap akan didapatkan. 

Bayangkan kalau lahan ditanami tanaman seragam, lahannya datar tanpa gelombang! Tentu yang terlihat adalah lapangan sepakbola yang fokus perhatian kita bukan lagi pada tanamannya tapi sepak terjang pemain bola di atasnya. 

Bahkan sawahpun yang tanamannya seragam menjadi indah dipandang karena pada titik-titik tertentu terdapat garis pematang, garis ufuk dan pohon kelapa yang menjulang.

Kalau taman bisa diterima adanya perbedaan tanaman dan jenis bunganya, kenapa di ruang berbincang antar warga, yang anggap juga sebagai taman, adanya perbedaan menjadi sesuatu yang dianggap mengganggu? Duri mawar di taman tetap saja indah, baru terasa sakit mengiris kalau kita serampangan mendekati pohon mawarnya.

Hari-hari kita dewasa ini diguyur oleh pemberitaan seputar silang pendapat, saling berbantah sampai hujat berbalas hasut di media dan terlebih lagi di media sosial tentang segala hal.

Kalau semua itu disebut sebagai berdebat, maka sebegitu mengganggukah apa yang disebut sebagai debat itu? Padahal kita semua tahu bahwa negara ini didirikan secara resmi setelah melewati serangkaian debat para pendiri negara. Debat tentang bentuk negara, adu argumen tentang dasar negara dan saling menimbang pikiran tentang tujuan bernegara.

Tetiba hari ini kita terjebak dalam stigma bahwa debat merupakan kegaduhan yang mengganggu. Bertukar pendapat lalu dianggap sebagai gangguan terhadap harmoni. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun