Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Lensa Buram Kesehatan Publik di Tengah Pandemi

23 Juni 2020   19:28 Diperbarui: 24 Juni 2020   08:00 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuci tangan (Photo by cottonbro from Pexels)

Saya percaya saatnya mengatakan bahwa situasi tertentu dan lingkungannya lebih memuakkan daripada orang yang sakitnya sendiri. Penanganan modern hanya sedikit yang melihat kondisi tubuh kita, alih-alih mereka menunjuk ketidaktertiban dan anggapan cara modern untuk menjalani hidup, bermain dan bekerja.

Dalam setiap kebijakan publik selalu terdapat, paling tidak salah satu, kemenduaan (ambiguitas), pernyataan yang bertentangan (kontradiksi) dan atau ketidak-ajekan (inkonsistensi) penalaran. 

Maka jangan heran kalau pihak yang berseberangan akan selalu menemukan cara mengecam atau membantah kebijakan pihak sebelah. 

Jangan membayangkan kebijakan dalam kontek publik sebagai sesuatu yang identik dengan kebijaksanaan atau segala ciri kemuliaan yang diturunkan dari langit.

Apa yang dilakukan pejabat publik dan juga apa yang tidak dilakukan itulah pengertian paling sederhana kebijakan publik, menurut Thomas Dye. Dalam situasi sayup-sayupnya kehadiran kepemimpinan, dengan kacamata apa kita memandang Covid-19 hari-hari ini?

Apakah Covid-19 merupakan masalah kesehatan individu atau masalah layanan dan jaminan kesehatan publik? Mungkinkah cara kita membedakan antara keduanya yang menjadi masalah mendasarnya, dan semua kekalutan, riuh-rendah dan kepanikan hanyalah simptom belaka?

Kutipan kalimat dari Ivan Illich, filsuf pastor dan pengkritik sosial dari Austria (1926-2002), di awal tulisan ini dengan getir membuka kesadaran bahwa terkadang situasi yang melingkupi kondisi keseharian kita lah yang sebenarnya lebih memuakkan dibanding masalah penyakitnya sendiri.

Kesenjangan, ketidakadilan, eksploitasi antar manusia, dan diskrepansi otoritas membuat perilaku dan tindakan manusia kembali ke titik ketika sistem sosial belum mewujud.

Tatanan relasi antar komunitas menjadi tersekat-sekat sebatas seberapa kuat dominasi dapat diterapkan, ketaatan dapat ditegakkan dan ketundukan dapat dikendalikan.

Kalau dalam sistem pemerintahan kita dikenal pemahaman bahwa gubernur, sebagai kepala pemerintahan provinsi, adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat maka menjadi ironi ketika ada gubernur yang berdebat di publik dengan pemerintah pusat.

Dan di tengah perdebatan itu muncul kabupaten/kota yang mengkritik tajam kebijakan pemerintah pusat dalam penanganan pandemi.

Sumber silang pendapat kalau kita amati sekilas, justru berangkat dari kesepahaman bersama bahwa pandemi harus ditangani bersama namun berakhir pada ketidaksepahaman perihal langkah teknis di lapangan.

Latar situasi pandemi sebagai setting silang-sengkarut publik kemudian didramatisir oleh perkembangan informasi tingkat keterpaparan yang masih menunjukkan kecenderungan menanjak.

Penanjakan jumlah keterpaparan berkorelasi terbalik dengan penurunan harapan akan adanya strategi bersama, fokus yang sama dan berbagi beban yang proporsional pada semua tingkat struktur sosial kita. 

Jadilah semua unit struktur sosial mengandalkan naluri untuk keselamatan diri bersama. Batasan bersama pada unit sosial ini adalah pada sejauh rentang interaksi setara antar warga, kedalaman keakraban yang telah terbangun dan kesepakatan memobilisasi sumber daya internal.

Disrupsi kohesi sosial ini yang saya maksud sebagai sekat-sekat sosial yang terbangun di tengah pandemi. Tampilan fisiknya adalah portal atau simbol penanda status lockdown lokal, penggunaan masker atau pelindung diri dan cara bersentuhan fisik.

Para pakar menyebutkan bahwa Covid-19 akan sangat berbahaya ketika kondisi kekebalan seseorang melemah. Pada seseorang yang memiliki kekebalan tinggi, Covid-19 dapat disamakan dengan influenza, artinya akan sembuh meski dalam rentang waktu yang cukup panjang.

Peralihan isu dari masalah kesehatan individu, yang ditentukan oleh kekebalan tubuh setiap orang, menjadi pandemi yang menggambarkan publik atau orang banyak, beriringan dengan pengaburan identitas.

Semakin tinggi tingkatan komunitas dan semakin luas cakupan wilayah yang terdampak, maka semakin kaburlah identitas orang per orang. Simaklah bagaimana pengumuman pejabat hanya menyebutkan nomor sebagai penanda, lalu disimpulkan dalam bentuk angka dan akhirnya ditampilkan dalam bentuk grafik.

Simak juga aktor pemberi informasi, pada tingkat individu akan disampaikan oleh tenaga medis yang secara personal masih memiliki kedekatan interaksi dengan pasien atau terduga.

Informasi dan saran akan disampaikan secara spesifik karena identifikasi yang jelas. Identifikasi penyakit, identifikasi kondisi fisik dan identifikasi tindakan dengan mudah dapat kita temukan alur logikanya. 

Namun ketika tingkatan relasi itu semakin berjarak, interaksi semakin terbatas maka semakin sulitlah kita menemukan alur penalaran kenapa suatu tindakan publik dipilih ketika identifikasi dan prediksi kondisi masih kabur dan kejelasan letak masalah belum disepakati.

Ya, peralihan dari masalah kesakitan pada individu yang membutuhkan tindakan medis menjadi masalah kesehatan publik yang membutuhkan skema pelayanan kesehatan itulah gradasi yang sering tidak mampu kita fahami.

Segmentasi penanganan urusan pemerintahan, dikenal sebagai pembagian urusan dalam regulasi terkait, merupakan segmentasi yang terbangun secara vertikal dari tingkat pemerintahan terendah sampai ke tingkat pusat.

Kata lain dari segmentasi dalam kontek tulisan ini adalah pengkotak-kotakkan siapa berbuat apa. Dalam situasi normal mungkin ini tidak terlalu menjadi masalah. Manajemen publik modern (new public management) memang sangat mengagung-agungkan spesialisasi karena dipercaya membawa efisiensi dan efektifitas. 

Dibungkus dengan tuntutan transparansi dan akuntabilitas, konsep berpikir yang diadopsi dari korporasi itu nyatanya masih banyak meninggalkan pekerjaan rumah bagi birokrasi.

Korporasi yang berorientasi utama pada peningkatan kepuasan pemegang saham, dalam betuk profit, nyatanya berbeda dengan birokrasi yang orientasinya lebih ke pelayanan dan karenanya keuntungan tidaklah menjadi tujuan utama.

Pemerintah tidak boleh berbisnis dengan rakyat, bukankah kita sering mendengar kalimat ini?

Bahasan tentang ini kita simpan dulu, karena topik ini merupakan belantara tersendiri yang saya dan anda membutuhkan lebih banyak informasi dan pengetahuan untuk memampukan kita membedakan mana pohon, mana dahan dan mana ranting ketimbang melihat pepohonan sekadar sebagai semak-belukar lalu menggambarkannya sebagai hutan.

Kembali ke isu pandemi.

Kesehatan bagi rakyat menjadi tujuan utama negara ini didirikan selain kecerdasan rakyatnya. Pendidikan dan kesehatan adalah sektor yang proporsi ketersediaan anggarannya dijamin dalam undang-undang. 

Keduanya diandaikan akan menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat dan dengannya mampu menyelesaikan masalah kesejahteraan terutama ekonomi. Ketiga hal itu yang kita kenal sebagai Indek Pembangunan Manusia (IPM) dan menjadi salah satu ukuran membandingkan tingkat kemajuan antar bangsa di dunia.

Relatif belum kunjung melandainya grafik paparan dan keterjangkitan Covid-19 di negeri ini, alokasi anggaran kesehatan minimal 10% yang mestinya cukup signifikan dinilai menyiratkan masih jauhnya tujuan untuk menyehatkan rakyat. Data  tanggal 22 Juni 2020, dikutip dari laman worldometer, rerata kasus baru berada di kisaran 900-an dengan kumulatif mencapai 46.845 kasus dan 2.500 meninggal dunia.

Kita bisa saja mengatakan bahwa secara prosentase jumlah tersebut sangatlah kecil dibanding jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan yang mencapai 273 juta jiwa.

Sayangnya konstitusi kita tidak bicara tentang penduduk secara agregat belaka, namun memiliki juga penekanan pada individu. Mengamati bagaimana pemerintah merespon pandemi ini dan menyaksikan bagaimana rakyat secara individu atau kelompok kecil bertindak untuk melindungi diri juga menepis sedikit pandangan yang berbasis kelompok agregat tersebut.

Covid-19 adalah masalah individu dan sekaligus masalah populasi. Keterpaparan ada pada level individu namun dampaknya meluas ke komunitas lalu wilayah dan akhirnya keseluruhan populasi. 

Sekalipun dampaknya tidak pada masalah kesehatan, nyatanya dampak itu meluas justru sampai di luar masalah kesehatan, dampak ke perekonomian membuat segenap aktivitas perekonomian terganggu kalau tidak dikatakan lumpuh. 

Kalau menarik garis siklusnya, perekonomian terganggu akan membawa dampak kepada kesejahteraan lalu menukik ke masalah pendapatan keluarga yang merosot dan akhirnya menghunjam ke daya tahan kesehatan individu per individu.

Terminologi kesehatan publik memang berangkat dari cara pandang berbasis populasi meski sebagian tindakan dilakukan pada tingkat individu. Dua aspek penting dalam kesehatan publik yaitu "serangkaian tindakan bersama" dan sejumlah "sumberdaya yang disediakan" membuat batas individu dan populasi sering menjadi kabur. 

Namun dalam kekaburan batas antara individu dan populasi itulah sering terjadi saling lempar tanggung jawab, saling berbalas keluhan dan saling menuntut antara populasi yang diwakilli oleh negara dan individu yang merupakan penderita atau terpapar.

Pemerintah mengeluhkan gaya hidup individu yang tidak optimal mendukung pembendungan penyebaran pandemi. Sebaliknya individu menuntut pemerintah untuk lebih garang lagi bertindak menangani pandemi.

Pemerintah menuntut individu untuk mematuhi protokol kesehatan namun individu menagih tanggung jawab pemerintah menyediakan sarana prasarana yang dibutuhkan untuk mematuhi protokol tersebut atau menjamin kebutuhan sehari-hari mereka.

Kurangnya ketersediaan tenaga medis beserta perlengkapan keselamatan diri yang memadai merupakan isu kebijakan publik dan anggaran yang tidak bisa diselesaikan dengan cepat. 

Banyaknya kepentingan yang berkelindan dalam setiap perumusan dan pengambilan keputusan publik membuat keluaran kebijakan terkadang tidak optimal menjawab kebutuhan populasi dan, apalagi, individu. 

Demikian pula sebaliknya mengubah gaya hidup individu agar menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat secara disiplin juga tidak gampang karena menyangkut latar belakang sosial ekonomi dan kebiasaan yang mungkin sudah mendarah daging.

Masalah dalam kebijakan publik dan anggaran barangkali bisa direduksi dengan penerapan akuntabilitas dan transparansi dalam setiap tahapnya. Sayangnya hal ini juga sering terjebak dalam formalitas dan tradisi normatif.

Masalah pada tingkat individu juga dapat diperbaiki dengan mendorong maksimal kampanye, edukasi dan penyebaran informasi seputar masalah kesehatan publik. Sayangnya ini juga sering terperangkap dalam penyelesaian administratif dan pemenuhan tuntutan akuntansi keuangan.

Kalau kedua dimensi bermasalah, lalu apa yang harus dilakukan?

Sebagai rakyat biasa, saya hanya berharap kedua dimensi masalah itu terus diperbaiki kualitas pemenuhannya. Saya juga hanya berharap aspek pendidikan juga memberikan sumbangan berupa terus meningkatnya kecerdasan dan literasi kesehatan warga negara. 

Hanya dengan kecerdasanlah manusia bisa menjawab tantangan alam melalui virus corona itu. Selebihnya secara teknis bagaimana semua dilakukan itu menjadi tugas para pejabat yang ditugaskan oleh rakyat untuk memikirkannya termasuk Kementerian Kesehatan.

Saya atau anda adalah individu. Saya dan anda yang bersama menjelma menjadi kita dan dari sekian banyak kita itulah terbangun populasi atau publik. Mudah-mudahan kita sebagai publik tidak berulang jatuh di lubang yang sama akibat buramnya lensa rumusan suatu kebijakan publik.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun