Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berdamai dengan Corona, Pilih Respons Politis atau Kebudayaan?

16 Mei 2020   23:01 Diperbarui: 17 Mei 2020   17:05 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepahitan dari ungkapan pejabat publik tersebut meski tidak tertuang dalam regulasi resmi namun pada dasarnya memberi sinyal kontek atau situasi yang melingkupi para perumus dan pengambil kebijakan. Formalisasinya adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Dengan menempatkan pernyataan Presiden Joko Widodo sebagai pernyataan pejabat publik tertinggi di negara ini maka pernyataan berdamai dapat ditafsirkan bahwa pemerintah tidak akan berposisi head to head dengan Corona untuk saling memusnahkan.

Terasa paradok. Betapa tidak, masyarakat yang mengikuti himbauan pemerintah, sebelum pernyataan berdamai muncul, dengan segala sumberdaya mencoba maksimal berpartisipasi membendung corona di lingkungan masing-masing.

Lockdown mandiri skala kecil banyak dilakukan oleh komunitas di lingkungan perumahan dan desa-desa. Tanpa menuntut bantuan perangkat dari pemerintah, dengan swadaya sendiri mereka melakukan hal tersebut didorong oleh kekhawatiran penyebaran kejadian infeksi.

Ketika semangat partisipasi dan kemandirian komunitas menguat lalu menerapkan cuci tangan dan mulai terbiasa dengan penggunaan masker, pernyataan Presiden perihal berdamai dengan corona tiba-tiba terasa membawa pesan adanya pembiaran meski tersamar

Beberapa kebijakan pemerintah pusat juga memiliki keselarasan dengan "semangat perdamaian" tersebut, misalnya pelonggaran PSBB dengan tarik ulur regulasi mudik dan pulang kampung.


Kenaikan iuran BPJS yang tiba-tiba dan terbaginya perhatian pemerintah antara penanganan corona dan penanganan dampak ekonomi juga memberi sinyal bahwa fokus pemerintah memang tidak pada satu titik.

Legislatif yang lebih memilih membahas UU Omnibus ketimbang mengevaluasi kinerja Gugus Tugas juga memberi sinyal bahwa penanganan pandemi tidak terlalu mendesak ditangani dengan all out.

Kalau betul bahwa pemerintah memilih banyak fokus, apabila dianalogikan dengan panca indera manusia maka pandangan yang memiliki fokus lebih dari satu sering disebut juling, atau sebenarnya tidak fokus.

Mau disebut tidak punya fokus atau juling? Silahkan pilih.

Tentu istilah pembiaran akan dianggap terlalu berlebihan. Pemerintah merasa tetap berupaya melawan corona namun ekonomi yang memburuk tidak boleh dibiarkan berlanjut semakin parah. Tapi bagi masyarakat, melawan corona mungkin adalah perjuangan antara hidup dan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun