Beberapa hari lalu Presiden AS Donald Trump telah merilis kebijakan tarif impor baru "Reciprocal Tariffs" atau tarif timbal balik yang lebih populer dengan sebutan Tarif Trump.Â
Indonesia dikenakan tarif impor 32 persen sama dengan Taiwan. Bila dibandingkan dengan negara Asean lainnya, Indonesia masih lebih rendah, Â Thailand 36 persen, Â Vietnam 46 persen dan Kamboja 49 persen. (Lihat Tempo.co, 4 April 2025).
Tarif yang bertujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan  perdagangan global  dengan mengenakan tarif  yang lebih tinggi pada barang-barang impor dari negara mitra dagang tersebut, syah-syah saja diberlakukan AS.Â
Namun, besaran tarif yang  dikenakan tersebut, terutama kepada Indonesia, perlu dicermati lagi. Apakah besaran yang sudah dikenakan tersebut sudah sesuai, atau justru over estmate.
Hal ini  dipertanayakan juga oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan. Ia menjelaskan, bahwa perhitungan penetapan tarif 32 persen  yang dikenakan AS terhadap Indonesia didasarkan tarif impor sebesar 64 persen terhadap barang AS.
Padahal, kata Fadhil,  jika dilihat lebih teliti, tarif kita terhadap produk AS hanya sekitar  8-9 persen. Angka 64 persen berasal dari perhitungan defisit perdagangan  AS dengan Indonesia.Â
Defisit perdagangan itu diperkirakan itu diperkirakan mencapai 16,8 miliar dolar AS. Jumlah ini dibagi  dengan total impor indonesia ke AS yang sekitar 28 miliar dolar AS. Â
Sedangkan dari sini mereka mnghitung tarif yang dikenakan Indonesia terhadap produk AS sebesar 64 , kemudian AS menetapkan tarif 32 persen  yang merupakan setengah dari taif yang mereka anggap diterapkan Indonesia (Kompas.com, 4 april 2025).
Langkah Pemerintah.
Dalam merespon kebijakan trump atas kenaikan tarif timbal balik tersebut, pemerintah Indonesia sudah mengambil langkah. Detiknews.com, Â 4 April 2025, mensinyalir bahwa ada 9 poin pernyataan Pemerintah Indonesia dalam merespon Tarif Impor 32 persen Trump tersebut.Â
Pemerintah Indonesia akan mengambil langkah-langkah startegis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomain nasional Indoneisa.
Pemerintah berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memastikan nilai valas tetap terjaga dan Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan langkah strategis dan perbaikan struktural serta kebijakan  Deregulasi yaitu penyederhanaan regulasi  dan penghapusan regulasi yang menghambat khususnya terkait dengan Non-Tarrif Barrier.
Dampak Bagi Ekonomi.
Diketahui bahwa produk yang dominan dijual atau di ekspor ke AS tersebut berupa produk otomotif dan elektronik, selain itu beberapa produk yang juga banyak di jual atau di ekspor ke AS yakni  alas kaki, produk karet, furniture, produk makanan dan minuman olahan dan minyak kelapa sawit.
Dengan adanya kebijakan pengenaan Tarif Trump untuk Indoensia tersebut, maka,  misalnya, produk otomotif  bakal mengalami penurunan permintaan di AS, karena dengan adanya kebijakan Tarif Trump tersebut, konsumen AS  jelas akan menanggung tarif dengan harga pembelian kendaraan yang lebih mahal yang menyebabkan penjualan kendaraan bermotor turun di AS.
Kemudian pengamat otomotif menyatakan bahwa  produsen otomotif Indonesia tidak semudah itu bisa "shifting ke pasar domestik", karena spesisikasi kendaraan dengan yang di ekspor  berbeda.
Begitu juga dengan produk elektronik, tekstil dan lainnya tersebut. Bila di simak dari harga yang akan berlaku di pasar AS, harga  produk-produk tersebut akan mengalami kenaikan, yang pada akhirnya akan menekan daya beli konsumen di AS. Dengan demikian aktivitas produksi di dalam negeri  akan mengalami penurunan.
Jika volume produksi dalam negeri atas produk-produk tersebut mengalami penurunan, maka dampak negatif berikutnya akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang akan menyebabkan pengangguran dalam negeri akan terus bertambah.
Tidak hanya itu, dengan adanya  kebijakan pengenaan Tarif Trump tersebut, maka akan menimbulkan dampak ikutannya. Misalnya, akan adanya pelemahan saham, akan adanya pengurasan devisa, akan terjadi pelemahan terhadap nilai tukar rupian dan akan adanya dampak kenaikan harga di dalam negeri (inflasi), walaupun tidak secara langsung.
Pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi, beberapa pengamat dan para ahli ekonomi sudah mewanti-wanti akan terjadi pelemahan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke IV 2025 ini.
Ada yang mensinyalir bahwa adanya korelasi ekonomi Indonesia dan AS dengan persentase  1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS maka ekonomi Indonesia turun 0,08 persen. (lihat CNN Indonesia.com, 4 April 2025).
Tidak hanya itu, dengan adanya kenaikan harga produk Indonesia di AS berarti produk-produk Indonesia yang  di ekspor ke AS tersebut akan dijual kembali ke dalam negeri, yang mendorong harga produk-produk tersebut mengalami kenaikan.Â
Hal ini akan mendorong produk dari negara-negara lain yang bisa lebih efisein akan berbondong-bondong masuk. Misalnya produk tekstil dari Cina, Vietman dn lainnya.
Kembali menimbulkan permasalahan baru,  produk lokal  akan terancam gulung tikar, karena bisa saja kita kalah bersaing.  Kondisi ini selama ini sudah kita alami, hanya dengan adanya kebijakan Tarif Trump tersebut, maka fenomena maraknya produk Cina, Vietnam dan lainnya akan berbondong-bondong membajiri Indonesia intensitasnya makin tinggi lagi.
Namun, dengan adanya pengenaan tarif Trump tersebut ada juga dampak positifnya, yakni negeri ini harus berjibaku mengoptimalkan  Sumberdaya Alam yang dimiliki, mengutamakan kekuatan sendiri dan sedapat mungkin untuk meningkatkan daya saing, harus ada dorongan untuk melakukan hilirisasi dan industrialisasi.
Langkah Antisipasi!
Dalam menyikapi kebijakan Tarif Trump tersebut, pemerintah Indonesia sudah akan mengambil langkah-langkah antisipasi agar kebijakan tersebut tidak memperparah kondisi ekonomi negeri ini yangsaat ini memang sedang mengalami kesulitan.
Pertumbuhan Ekonomi yang bertengger pada angka lima (5) persen-an, masih kita rasakan, sepertinya kita sulit untuk mendongkraknya. Ditambah adanya badai yang datangnya dari AS yakni kebijakan Tarif Trump yang mengenakan tarif impor 32 persen tersebut.
Untuk itu tidak ada pilihan lain, kita harus berjibaku untuk mengantisipasinya agar tidak memperburuk perekonomian negeri ini. Kita dihadapkan pada tugas berat yakni kebijakan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Agar laju pertumbuhan ekonomi yang sudah kita capai di kisaran angka 5 persenan tersebut tidak turun, dan agar kita bisa mempersiapkan diri untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut, maka setidaknya ada beberapa  langkah antisipasi yang harus kita lakukan.
Pertama. Berupaya sekuat tenaga untuk memperthankan kondisi ekonomi yang sudah kondusif saat ini, agar senantiasa tetap tercipta  stabilitas nasional  yang kuat.
Jika ada kepentingan politik yang dikhawatirkan akan menimbulkan ekses negatif terhadap perekonomian, maka sebaiknya perlu dicegah. Utamakan kepentingan ekonomi terlebih dahulu. Musnakan semua monuver politik yang akan mengganggu kondisi ekonomi negeri ini.
Kedua. Memperkuat cadangan devisa dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah mutlak harus dilakukan. Â Untuk menjaga dan memperkuat cadangan devisa, maka aktivitas ekspor harus digenjot.Â
Jika tujuan ekspor ke AS mengalami hambatan karena adanya kebijakan Tarif Trump tersebut, maka secepatnya mencari negara tujuan ekspor baru yang dapat menampung produk-produk Indonesia yang kita hasilkan tersebut.
Konsistensi penggunaan rupiah di dalam negeri harus benar-benar dijaga. Jangan sampai ada transaksi yang seharusnya  cukup menggunakan rupiah, tetapi menggunakan mata uang asing (dolar AS).
Ketiga. Meningkatkan daya saing pun mutlak harus dilakukan. Kita tahu bahwa daya saing kita masih tertinggal dibadingkan dengan beberapa negara di Asean.
Kemudian, untuk meningkatkan daya saing ini, syarat mutlak adalah aktivitas produksi atau industrialisasi harus efisien.Â
Untuk menuju efisiensi tersebut, pelaku produksi atau pelaku industri tidak boleh dibebani ini dan itu, karena akan menciptakan hight cost economy. Sehingga, mereka sulit untuk melakukan efisiensi.
Terakhir ada baiknya  mengevaluasi kembali pembangunan infrastruktur yang  tertuju pada padat modal tersebut, apakah tidak sebaiknya dana tersebut digunakan/dialihkan untuk membangun  berbagai pabrik yang akan  menggerakkan  hilirisasi dan industri di negeri ini. Selamat Berjuang!!!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI