Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Fakultas Ekonomi dan.Bisnis Universitas Muhamadiyah Palembang

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bagaimana "Menjual" Perguruan Tinggi di Tengah Menurunnya Jumlah Mahasiswa dan Maraknya PTN Ekspansif?

26 September 2023   07:00 Diperbarui: 27 September 2023   07:36 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa perguruan tinggi. Sumber: Dok. Universitas Media Nusantara via kompas.com

Oleh Amidi

Pada saat pandemi dan pasca pandemi pun ternyata fenomena penurunan jumlah mahasiswa yang masuk ke PT masih terus terjdi. Tidak heran, kalau pimpinan PT terutama PT Swasta (PTS) "mengeluhkan" fenomena penurunan jumlah mahasiswa yang masuk ke PTS-nya.

Baru-baru ini  saya pernah berbincang dengan salah satu pimpinan PTS di Yogyakarta mengeluh, biasanya rata-rata setiap tahun mahasiswa yang masuk ke PTS-nya  mencapai  17.000-20.000 mahasiswa setiap tahun, tahun ini mereka hanya dapat menerima sebanyak 13.000 mahasiswa  saja. Itupun sudah dilakukan dengan upaya maksimal.

Begitu juga dengan PTS lainnya di pulau Jawa   demikian, rata-rata PTS mengeluhkan atas penurunan jumlah mahasiswa yang masuk ke PTS mereka. Penurunan jumlah mahasiswa yang masuk ke PTS ini ternyata terjadi di seluruh Provinsi/Daerah di negeri ini.

Jika kita cermati, tidak hanya pimpinan PTS saja yang mengeluhkan penurunan jumlah calon mahasiswa yang mendaftar atau masuk ke PT mereka, tetapi PT Negeri (PTN) pun demikian, terutama mahasiswa reguler-nya.

Mengapa Demikian?          

Pada dasarnya banyak faktor yang menyebabkan fenomena penurunan jumlah mahsiswa yang masuk ke PT, baik PTN  maupun PTS tersebut. Menurut hemat saya sedikitnya ada lima (5)  faktor yang melatarinya.

Pertama, faktor biaya.

Pandemi yang melanda negeri ini berdampak juga pada penurunan jumlah mahsiswa masuk ke PT, karena orang tua calon mahasiswa dihadapkan pada "turunnya pendaptan/penghasilan", baik orang tua calon mahasiswa selaku pekerja/karyawam maupun selaku pelaku bisnis.

Pandemi sempat merontokkan sendi-sendiri perekonomian negeri ini, pandemi berdampak pada PHK yang dilakukan pelaku bisnis, yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan masyarakat. Fenomena ini akan berdampak pada pengurangan pengeluaran, termasuk mereka harus mengurangi  pengeluaran  biaya pendidikan (kuliah).

Belum lagi, bila kita hubungkan dengan biaya pendidikan yang masih dirasakan relatif  mahal bagi orang tua calon mahasiswa tertentu yang akan melanjutkan pendidikan anaknya ke PT.  Wajar, kalau  masyarakat atau orang tua calon mahasiswa terpaksa mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan anaknya ke PT.

Kedua, faktor Kejenuhan.

Saat ini dirasakan sudah ada unsur "kejenuhan" dalam pendidikan, terutama di PT. Masyarakat menilai bahwa mahasiswa yang menempuh pendidikan pada PT terlihat "monoton", bak produksi suatu produk yang terjadi secara kontinuitas, input-proses-outpt. 

Masih "enak" di dunia bisnis, begitu hasil produksi sudah menjadi produk, masih bisa dijual, namun terkadang hasil produksi (output) yang dihasilkan PT, maaf, terkadang sulit dijual. Mereka sudah mondar mandir kesana kemari menawarkan produk (menjual jasa tenaga kerja) terkadang belum ada yang membeli (menerima) alias terpksa mereka masuk dalam deretan "pengangguran".

Ketiga, faktor Pengangguran

Pengangguran yang merupakan  produk (output) yang dihasilkan PT dari tahun ke tahun terus bertambah. Apalagi saat ini PT sudah dapat melakukan wisuda beberapa kali se tahun, dengan demikian jumlah mahasiswa tamat dari PT terus bertambah dan apabila mereka belum berhasil memperoleh pekerjaan, maka jelas kondisi ini akan menambah jumlah pengangguran.

Pengangguran ini menghantui calon mahasiswa yang akan masuk ke PT, mereka khawatir pada saatnya nanti setelah mereka menamatkan pendidkan di PT akan menghadapi nasib  yang sama, "menganggur".  Kondisi ini mendorong mereka berpikir praktis, lebih baik ia berusaha mati-matian tamat SLTA mencari pekerjaan atau melakoni suatu bisnis, yang dianggap mereka sudah jelas hasilnya.

Terlepas fenomena memburu pekerjaan dan atau melakoni suatu bisnis tersebut sah-sah saja, namun kalau bisa anak negeri ini kita dorong tetap menempuh pendidikan  ke PT terlebih dahulu, agar harapan kita kualitas  SDM terus meningkat dapat terwujud.

Keempat, faktor Persaingan antar Sesama

Kemudian yang tidak kalah pentingnya kita cermati adalah saat ini semakin ketatnya persaingan, antar PTS, antara PTN dengan PTS, antar PTS (S1) dengan PTS berupa Sekolah   Tinggi (D-3). Pimpinan PTS berlomba-lomba menampilkan diri untuk menjual diriya, untuk mendorong calon mahasiswa masuk ke PTS mereka, baik meningkatkan penampilan  phisik maupun  non phisik (SDM).

Dari sisi phisik, PTS berlomba-lomba membangun gedung yang serba "wah", dan  bertingkat tak ubahnya suatu hotel berbintang, dan peningkatan penampilan dalam bentuk phisik lainnya. Dari sisi non phisisk (SDM) juga sama, PTS kini berlomba-lomba mendorong dosennya untuk melanjutkan  studi lanjut (S-3) dan mendorong  agar cepat meraih  gelar Doktor, Guru Besar dan atau  profesor.

Memang sebagian  masyarakat, masih mempertimbangkan peringkat "akredetasi"  lembaga/prodi dan tenaga pengajar yang sudah  meraih gelar Doktor tersebut, walaupun ada juga  kelompok masyarakat yang tetap bersikukuh yang penting kualitas dosennya, bukan gelarnya (maaf sekedar menyampaikan pandangan masyarakat).

Dengan demikian, maka PTS yang penampilan phisiknya ketinggalan, dan tenaga pengajarnya yang masih minim menyandang gelar doktor, tentu akan kalah dengan PTS yang telah menyediakan hal tersebut. Begitu juga dengan PTN, juga melakukan hal yang sama.

Kelima, faktor Hadirnya Pendatang Baru.

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya juga kita perhatikan adalah pendatang baru. Saat ini sudah banyak hadir PT yang nota bene milik pelaku bisnis, atau group pelaku bisnis yang sudah mapan. Belum lagi pemain lama yang memposisikan diri sebagai pemain/pendatang baru yakni PTN ekspansif yang menjual fakultas-fakultasnya burupa kuliah non reguler, kuliah sore hari atau kuliah pagi hari berdampingan dengan kuliah reguler yang biasa mereka lakukan.

Fenomena pemain lama memposisikan diri sebgai pemain/pendatang  baru ini atau PTN ekspansif tersebut hampir terjadi di berbagai PTN di negeri ini. Fenomena ini berdampak luar biasa terhadap penurunan jumlah mahasiswa yang akan masuk ke PTS. Memang, SPP/UKT yang mereka kenakan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan SPP/UKT mahsiswa reguler, namun bagi kelompok masyarakat tertentu, yang demikian tidak menjadi penghalang, tetap saja peminatnya banyak.

Bagaimana "Menjual" PT?

Menurut hemat saya, PTS masih ada harapan untuk tetap bertahan dan bangkit serta mengejar keteringgal dari kondisi ini semua, asal PTS melakukan beberapa hal ini.

Kegiatan promosi masih tetap perlu dilakukan, hanya strategi promosinya yang harus dibenahi. Misalnya bagi PTS yang berada di ibukota Provinsi, upayakan mengejar calon mahsiswa yang ada di daerah (Kabupaten) untuk menggaet mereka agar kuliah ke PTS kita yang berada di ibukota Provinsi tersebut.

Berbagai beasiswa kita upayakan untuk dapat diberikan kepada mahasiswa kita, baik beasiswa dari internal PT kita sendiri maupun dari  eksternal. Ini penting, agar mahasiswa yang berprestasi merasa dihargai dan mendorong mahasiswa lain untuk lebih giat belajar, serta dapat mendorong calon mahasiswa tertarik untuk kuliah pada PT kita.

Sedapat mungkin menggiring produk (output) PT kita untuk secepatmya mendapatkan pekerjaan, jika kita tidak memiliki jaringan dengan dunia bisnis, maka kita lakukan upaya pendekatan lainnya, sehingga produk (output) PT kita cepat  terjual (bekerja). Memang akan lebih baik, jika PT kita memiliki unit bisnis sendiri yang bisa dijadikan untuk menempatkan produk (output) yang berprestasi dari PT kita pada unit bisnis yang kita miliki.

Kemudian promosi harus disesuaikan, jika kita akan memprosikan atau menjual PT kita dikalangan masyarakat yang mengutamakan "kemewahan", maka jual PT kita sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Dalam menyikapi tuntutan dan mendorong calon mahasiswa masuk ke PT, kini  pimpinan PT berlomba-lomba menyusun  program memperbanyak  dosennya kuliah ke S-3, dan mendorong agar  pasca  S-3 tersebut secepatnya  meraih gelar Guru Besar dan atau Pofesor.

Menurut saya, PT berlomba-lomba memperbanyak dosen-nya bergelar Doktor dan atau profesor itu baik, namun harus hari-hati jangan sampai salah langkah. Usahakan biaya yang dikeluarkan untuk dosen S-3 tersebut, harus diimbangi atau harus berhubungan positif dengan bertambahnya jumlah mahasiswa yang masuk ke PT kita. Kalau tidak, ia akan menjadi beban semata.  Apalagi PT yang sudah terlanjur memberikan tunjangan ini dan itu kepada Doktor, Guru Besar dan atau Pofesor-nya

Untuk  itu dosen kita yang sudah S-3 tersebut harus diekspos melalui berbagai karya ilmiah-nya, karya ilmiah populer-nya serta prestasinya, bila perlu usahakan, minimal mereka harus menjadi "selebriti" di arena kampus-nya, jika belum bisa menjadi "seleberiti" di arena publik yang lebih luas. Selamat Berjuang!!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun