Opportunity cost atau  biaya yang harus ditanggung saat mengambil keputusan merelakan satu kesempatan untuk mendapatkan kesempatan lain tersebut jumlahnya tidak kecil bila dilakukan perhitungan. Secara sederhana saja, apabila satu kendaraan antri menghabiskan waktu satu (1) jam baru dapat mengisi/membeli BBM tersebut, maka secara sederhana dapat kita kalkulasikan sendiri.
Katakanlah dalam satu (1) jam antri tersebut kendaraan menghabiskan BBM Pertalite satu (1) liter, berarti satu kendaraan menghabiskan biaya akibat antri sebesar Rp. 10.000,-. Jika kendaraan antri pada satu (1) SPBU sebanyak 1000 kendaraan per hari, maka mereka yang antri tersebut akan mengeluarkan biaya per hari sebesar Rp. 10.000.000,-. (Sepuluh Juta Rupiah). Hitung saja berapa SPBU yang ada di negeri ini, maka akan timbul biaya antri secara ekonomi yang sangat besar, miliaran bahkan triliunan rupiah, bukan?
Belum lagi bila kita menghitung sisi atau dampak sosial yang dikonversi kedalam hitungan nilai ekonomi, maka akan semakin besar lagi nilai kerugian masyarakat/konsumen yang telah melakukan antri untuk memperoleh/membeli BBM tersebut.
Fenomena ini memilukan jika berlangsung lama, untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah bijak menyikapinya. Negeri yang kaya akan sumberdata alam (SDA) ini, idealnya fenomena ini tidak perlu terjadi, tidak perlu berlarut-larut. SDA yang kita miliki ini, harus memberi kemanfaatan bagi anak negeri ini. SDA yang melimpah tersebut, harus dapat mensejahterakan anak negeri ini.
Stop Antri Kendaraan.
Pemandangan antrian kendaraan di SPBU-SPBU yang ada di negeri ini secepatnya harus dihentikan dengan beberapa langkah berikut ini; Â Pertama, Jika masih bisa diusahakan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut untuk di batalkan, mengapa tidak.Â
Kedua, jika Negara ini masih memiliki sumber pendapatan lain yang relatif besar untuk menutupi defisit anggaran (APBN), pencabutan atau pengurangan subsidi mungkin dapat dibatalkan alias dikembalikan ke nilai subsidi semula.Â
Ketiga, Jika stock BBM jenis Pertalite dan Solar bisa diperbanyak alias ditingkatkan, mengapa tidak menambah stock BBM jenis Pertalite dan Solar tersebut. Keempat, jika rencana cara pembelian BBM dengan menggunakan aplikasi atau menggunakan teknologi komunikasi (IT) yang masih dianggap sebagian masyarakat merepotkan alias rumit, mengapa tidak ditunda dan dikembalikan dengan cara membeli seperti biasa atau secara konvensional.
Untuk mengaakhiri tulisan sederhana ini, mari kita merenung, bukankah anak negeri ini merupakan bagian integral pembangunana dan keberhasilan negeri ini selama ini. Untuk itu, sudah saatnya kita sedikit bertenggang rasa merasakan apa yang dirasakan anak negeri ini dalam menghadapi fenomena kenaikan BBM tersebut. Selamat Berjuang!!!!!!!