Mohon tunggu...
Amelia
Amelia Mohon Tunggu... Menulis Dengan Tujuan

Penulis amatir , mencari inspirasi dan terinspirasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Obat 'Kesendirian' Itu Bernama Menulis

24 September 2025   20:27 Diperbarui: 25 September 2025   08:07 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasianer, pernahkah Anda merasa sendirian di tengah keramaian?

Merasa asing di antara kerumunan orang-orang dan sendirian. Hal ini kerap saya alami sejak dari usia sekolah. Sebagai pribadi yang introvert, memulai komunikasi dengan orang lain adalah hal yang tidak mudah bagi saya ketika itu.

Usia sekolah adalah masa-masa sulit untuk menemukan seorang teman. Ketika itu, saya menghindari untuk berteman dengan orang-orang yang cerewet, karena saya adalah seorang pendiam. Jadi rasanya jika berteman dengan anak yang cerewet rasanya gak cocok karena sifat yang berseberangan.

Perasaan ini berlangsung hingga saya duduk di bangku SMA. Namun, ketika kuliah saya menemukan banyak kecocokan dalam berteman. Tetap saja ada beberapa teman yang saya hindari. Teman-teman yang terlalu dominan. Jadi saya lebih selektif dalam memilih teman, bahkan tidak takut dengan ancaman ' pilah pilih teman nanti gak punya teman'.

Ancaman itu tidak berlaku bagi saya, karena toh dipaksakan berteman dengan orang yang gak cocok untuk apa? Ketika SMP dan SMA, apalagi. Katanya masa-masa sekolah adalah masa pencarian jati diri, dan, memang betul adanya. 

Masa-masa pencarian jati diri, menjauh dari kerumunan, keramaian, ditambah lagi pribadi saya yang tertutup, pendiam, melankolis, sensitif, huaaawah kumplit, deh.

Makanya gak heran saya sulit dapat teman, padahal banyak yang mau temenan sama saya, loh. Hanya saja saya ingin menjaga perasaan saya agar tidak sakit hati dan terlalu banyak mengalah karena orang lain. 

Kesendirian ini pun terus berlangsung hingga menikah. Ternyata sudah menikah pun hidup masih merasa sendiri.

Lalu kenapa hal ini terjadi  pada saya? Merasa sendirian padahal sudah punya pasangan hidup. Akhirnya saya yang terlalu serius ini berkontemplasi.

Saya merasa tidak menemukan teman bicara yang satu frekuensi dan sejiwa. Perjalanan kehidupan mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, ternyata saya yang rumit ini tidak juga menemukan teman ngobrol yang satu frekuensi dan sejiwa.

Begitu juga setelah menikah. Ternyata arah obrolan kami pun berbeda. Jika saya dan pasangan membahas sesuatu, pasangan saya menilai sesuatu dari sisi pandang yang berbeda. Hal ini membuat saya lagi-lagi berpikir, sebetulnya titik masalahnya dimana? Masa sih sampe pasangan hidup aja gak klop?

Ketika berkeluh kesah kepada manusia yang ada kita justru di judge tidak bersyukurlah, tidak tau terima kasihlah, tidak bijaksana, de-el-el.

Terkadang ada masa kita ingin didengarkan saja tanpa di gurui, di ceramahin, syukurnya jika ketemu temen ngobrol yang merasakan hal yang sama dengan kita. Wah rasanya seperti menemukan 'jodoh', atau, ketemu hidayah deh.

Dari 1000 orang peluang ketemu orang yang klop sama kita paling hanya 1, jadi 1:1000 ibaratnya. Dan kalau sudah ketemu orang yang cocok dengan kita, belum juga kita mampu mempertahakannya.

Dari sini saya menemukan fakta, jika kesendirian saya harus ada obatnya. Obatnya bukan bergaul ke sana sini, ngopi dengan teman-teman, ternyata obat kesendirian itu bernama menulis.

Ya menulis.

Dengan menulis saya sudah meluangkan waktu kesendirian, mentransfer pikiran-pikiran mumet saya melalui tulisan dan bahkan saya mendapat apresiasi dari para pembaca, wah rasanya saya menemukan teman sejati di dunia maya, loh.

Padahal, banyak opini yang bilang kalau, netijen itu mulutnya jahat bagaikan pembully virtual. Sebetulnya semua tergantung di platform apa kita nyemplung. Jika di platform yang sesuai dengan minat dan hobi kita, saya rasa justru kita akan bertemu dengan banyak orang yang sejiwa dengan kita. Rasanya tidak merasa sendirian lagi deh. Malahan, saya banyak ketemu temen sejiwa di dunia maya.

Mengapa Menulis Itu Menenangkan Jiwa?

Saya bukan seorang psikolog yang paham mengenai masalah kejiwaan. Hanya saja saya pernah mengalami masalah ini dan menemukan solusinya sendiri. Setelah bercerita dengan sesama manusia malah jadi aib, ghibah, di judge, di ceramahin padahal lagi gak butuh nasehat, hanya butuh di dengerin saja sebagai bentuk support sistem.

Menulis bagi saya seperti proses kontemplasi , merenung, berpikir dan meluapkan nya melalui tulisan dengan hati - hati dan teliti. Terkadang , apa yang kita tulis orang lain merasakan hal yang sama. Atau, justru penderitaan kita mendapat support sistem dari orang lain, sesuatu yang tidak kita dapat dari orang - orang terdekat.

Dan hingga saat ini, menulis bagaikan obat kedua bagi saya setelah beribadah. Mengekpresikan diri tanpa melukai perasaan orang lain, menyinggung, membenci, tentunya menulis harus sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku agar tulisan kita menjadi manfaat bagi orang banyak , waaah rasa nya bahagia , merasa di dengar, tidak di hakimi, malah di hargai. Padahal orang yang mensupport kita adalah orang - orang yang tidak kita kenal, loh.

Sebagai penutup, menulis adalah hal yang sederhana, menenangkan, menjaga kesehatan mental,  mengobati 'kesendirian', kesepian, kesunyian, bagaikan 'obat bius' yang membawa kita ke ujung ketenangan batin tanpa perlu banyak berkata-kata dan solusi terbaik siapa saja yang ingin berkeluh kesah tanpa di hakimi dan mendapat cibiran, hal ini adalah penyemangat penulis untuk terus menulis!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun