Mohon tunggu...
Amelia ata Yuliawansyah
Amelia ata Yuliawansyah Mohon Tunggu... pelajar

hobi saya memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangisan Yang Tertahan

26 September 2025   13:51 Diperbarui: 26 September 2025   13:49 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Di sebuah kota padat, tinggal seorang perempuan bernama Ratna. Wajahnya selalu ramah, tutur katanya lembut, dan ia dikenal rajin beribadah. Setiap sore, ia duduk di teras rumah, membaca kitab suci dengan suara yang cukup keras agar tetangga mendengar. Orang-orang pun sering berbisik kagum, "Masya Allah, Bu Ratna sungguh salehah".


Namun, apa yang tampak di luar tak sama dengan isi hatinya. Ratna hanyalah seorang munafik yang lihai menyembunyikan wajah asli. Ia memang rajin berdoa, tapi di balik itu, ia gemar menebar kebohongan. Ia suka mencampuri urusan orang lain, menyebarkan kabar palsu, lalu menutupinya dengan kalimat manis, "Saya hanya peduli."

Suatu ketika, tetangganya, Dewi, baru saja membuka usaha kecil menjual kue. Ratna datang dengan senyum, mencicipi, dan berkata, "Enak sekali, semoga usahamu lancar." Namun, keesokan harinya, Ratna menyebarkan gosip bahwa kue itu dibuat dari bahan murahan. Akibatnya, beberapa orang enggan membeli.

Dewi yang mendengar kabar itu merasa sedih. Ia pun memberanikan diri menegur, "Bu Ratna, kalau memang ada yang kurang dari usaha saya, katakan langsung. Jangan sampai saya difitnah."

Tapi Ratna hanya tertawa kecil. "Fitnah? Astaghfirullah. Saya tidak pernah bilang begitu. Jangan salah paham, ya." Kata-katanya terdengar tulus, tapi matanya berkilat penuh kepalsuan.

Hari berganti hari, gosip dari mulut Ratna makin banyak. Ia tersenyum manis di depan, namun menusuk dari belakang. Beberapa tetangga mulai sadar, tapi masih ragu untuk menegur. Hanya suaminya, Pak Hasan, yang berulang kali mengingatkan. "Ratna, hentikan kebiasaanmu. Tidak semua harus kau bicarakan. Takutlah pada dosa."

Namun, Ratna menepis. "Abang terlalu polos. Kalau saya tidak bicara, siapa yang akan mengingatkan orang lain? Lagipula, orang-orang percaya pada saya." Hatinya keras, tak mau menerima kebenaran.

Puncaknya terjadi ketika ada acara besar di kampung: pengumpulan dana untuk korban bencana. Ratna berdiri di depan, menasihati semua orang agar ikhlas menyumbang. Ia sendiri menyerahkan amplop tebal, pura-pura memberi banyak. Padahal, isi amplop itu hanya beberapa lembar kecil, sementara ia sudah menyiarkan ke mana-mana bahwa ia menyumbang paling besar.

Ketika panitia membuka amplop, mereka terkejut. Warga pun mulai bertanya-tanya. Lama-lama, kepalsuan Ratna terbongkar. Gosip yang ia sebar terbukti palsu, dan amplop kosongnya jadi bahan pembicaraan.

Dihadapkan pada bukti, Ratna tetap tak mau mengaku. Dengan wajah tersenyum getir, ia berkata, "Ini semua salah paham. Kalian iri pada saya." Ia masih berusaha menutupi diri, meski semua orang sudah melihat kebohongannya.


Hari-hari setelah itu, Ratna dijauhi. Senyum yang dulu dikagumi, kini hanya menimbulkan jijik. Orang-orang tak lagi percaya pada setiap kata manisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun