Tapi Gita menggeleng. "Nggak apa-apa, Bu. Aku mau cerita."
Dan di sanalah, di ruang guru yang biasanya penuh dengan tumpukan kertas dan suara canda para guru, aku mendengar kisah yang membuat hatiku pilu.
Gita bercerita bahwa sejak kecil ia tinggal bersama kakek dan neneknya. Ayah dan ibunya berpisah saat ia masih balita, dan masing-masing membangun keluarga baru.
"Eh, kan ada kakek nenek," aku menyela.
"Beda, Bu. Kasih kakek dan nenek beda dengan kasih ayah dan ibu!"
Air matanya mulai mengalir. Tangis yang selama ini ia tahan bertahun-tahun di balik senyum dan tawa bersama teman-temannya akhirnya pecah di pelukan seorang guru yang bahkan baru ia kenal beberapa bulan. Spontan, aku memeluk Gita. Pelukan yang mungkin tak sempurna, tapi jujur, penuh ketulusan. Aku tak bisa membiarkan seorang anak putri berurai air mata seperti itu di hadapanku. Yang kuingat hanya bagaimana jika anak tersebut adalah putriku yang sedang menangis, akankah dunia cukup simpati padanya atau berlalu begitu saja. Aku hanya ingin ia tahu bahwa ada seseorang yang peduli, bahwa ia tidak sendiri.
Gita menangis dalam pelukanku. Lama. Dan aku membiarkannya. Guru-guru lain bahkan ada yang menatapku dengan tanya curiga dari mata mereka, "Lu apain ini anak sampe menangis sesenggukan begitu?". Dan aku pun hanya bisa menjawab dengan senyum ala kadarnya.
Selesai ia menangis, aku cium pipinya. Sungguh, yang ada dalam pikiranku saat itu adalah bagaimana jika yang menangis itu adalah putriku, anak kandungku. Karena kadang, yang dibutuhkan anak bukanlah solusi, tapi ruang untuk merasa berharga. Dan sungguh aku tidak tahu, saat itu, bahwa pelukan itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Hari-hari berikutnya aku sudah tenggelam dalam aktivitas mengajarku seperti biasa. Mempersiapkan bahan ajar, material praktikum, lembar kerja siswa dan mencari informasi terbaru terkait dengan materi yang aku ajar. Aku sedikit terlupa tentang Gita.
Suatu hari aku mengajar di kelas Gita dan mendapati tidak ada satu pun anak yang mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) yang aku tugaskan. Aku marah dan memberi hukuman pada semua siswa agar menulis tentang pentingnya belajar Fisika, mata pelajaran yang aku ajar.