Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ende, Rahim yang Kian Robek

25 Mei 2019   22:07 Diperbarui: 29 Mei 2019   21:07 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Habibah Abubakar dan Uminia sedang memecahkan batu di Selatan Taman Renungan Bung Karno, Ende | Dokpri

Catatan Perjalanan Kopong Bunga Lamawuran

Minggu siang yang mendung. Hujan lebat semalam telah usai, dan gerimis sesekali turun dengan malu-malu mencium tanah Ende. Beberapa ratus meter ke arah selatan dari Taman Renungan Bung Karno; beberapa puluh meter dari Taman Ria dan Pos Jaga Polisi; seorang ibu tua yang sudah bungkuk badannya sedang duduk memecah-mecahkan batu. 

Dengan pelan dan lemah, pecahan batu-batu itu dimasukkan ke dalam sebuah ember kecil, lalu dengan menggunakan seluruh kekuataannya, dia bangun, mengangkat ember itu dan mengisinya pada sebuah sak semen yang telah disiapkan. Gerakannya begitu lemah dan tak berdaya, seperti mengangkat batu berpuluh-puluh kilogram.

Dialah Habibah Abubakar, warga Kelurahan Kota Ratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende; seorang ibu tua yang selama hidupnya tidak pernah tahu kapan dia lahir; seorang ibu yang sepanjang hidupnya tidak pernah sekalipun merayakan hari ulang tahunnya. 

Jika Anda dengan santun menanyakan tahun kelahirannya, dengan malu-malu dia hanya akan berujar, "Saya tidak tahu. Umur saya sekarang sudah hampir tujuh puluh tahun." 

Pekerjaan sehari-harinya, selain menenun, adalah memecah-mecahkan batu untuk dijual. Pagi-pagi sekali, dia sudah bangun dan berjalan ke arah laut, memilih-milih batu dan mengisinya pada sebuah ember, pulang dan mulai memecah-mecahkan batu itu untuk kemudian dijual. Harga yang dipasangpun tidak mahal-mahal amat. 

"Saya menjalani pekerjaan ini sudah lebih dari dua puluh tahun. Pagi-pagi sekali saya ke laut, mengumpulkan batu, pulang dan mulai bekerja. Untuk batu sebanyak satu sak semen, harganya sepuluh ribu rupiah. Jika ada yang bisa membeli sampai lima sak, saya menggunakan itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari."

Sebagai manusia yang berperasaan, kita tentu saja berharap agar batu-batu kerikil itu bisa terjual beberapa sak tiap hari. Namun ternyata tidak. 

"Tidak tiap hari orang datang membeli," katanya, "Tidak juga dua tiga hari sekali. Bahkan kadang seminggu sekali baru ada yang membeli. Tapi apa boleh buat! Hidup memang susah. Tapi saya telah membuktikan selama dua puluh tahun lebih, bahwa keinginan untuk hidup mengalahkan segala-galanya. Setelah kematian suami saya, dibantu oleh Barsim, kami menghidupi keluarga dengan pekerjaan ini."

Ya. Suami tercintanya, Abubakar, telah dipanggil Tuhan 6 tahun silam. Suaminya dulu adalah seorang tukang bangunan. Bersama Abubakar, mereka mempunyai tiga orang anak, yang sulung bernama Guntur, telah dipanggil tuhan empat tahun silam. 

Yang kedua bernama Basrim (23 tahun), dan  yang bungsu bernama Astuti (21 tahun). Basrim, setelah kematian kakak dan ayahnya, kini bekerja sebagai buruh bangunan. Dia telah beristri dan mempunyai dua orang anak. Sedangkan Astuti, juga sudah bersuami dan memiliki tiga orang anak.     

Rumah mereka terletak hanya beberapa puluh meter dari bibir Pantai Ria. Dan suara gulung gemulung ombak dari arah laut selalu mengingatkan Habibah Abubakar pada suaminya. "Dulu dia (Abubakar) sering melaut," katanya. 

"Aku sering membantunya membersihkan perahu. Tapi itu sudah enam tujuh tahun silam. Setelah kematiaannya, laut bagi saya seperti pisau bermata dua. Mengiris, namun layak untuk dikenang. Lalu dengan batu-batu kerikil ini, nafas kehidupan kami tersambung sedikit demi sedikit setiap hari."

Kerikil untuk Pendidikan

"Sebuah kerikil yang tajam, bisa melukai telapak manapun!" Mungkin itu adalah sebuah ungkapan yang tepat dikenakan pada sebuah batu kerikil. Apa yang terwakili dari sebuah kerikil tajam hanyalah luka. Hanyalah kepedihan. 

Namun ungkapan puitis nan kejam itu tidak berlaku bagi Ibu Habibah Abubakar. Baginya, kerikil tidak beda jauh dengan udara, yang memberinya nafas kehidupan setiap hari. Kerikil yang memberinya makan tiap hari, dan kerikil yang bisa membuat anak-anaknya bisa mengenyam bangku sekolahan.

Jika kita membuang sedikit rasa belas kasihan dan bertanya padanya tentang uang sekolah anak-anaknya sewaktu masih sekolah, Ibu Habibah Abubakar hanya bisa menjawab pelan dan berat. "Saya hanyalah seorang perempuan yang tidak pernah mengenyam eloknya bangku sekolah. Tapi saya berharap supaya anak-anak saya bisa menikmati itu.

Batu-batu kerikil ini yang bisa menjawab keinginan mulia itu. Selama lebih dari dua puluh tahun, saya bekerja menjual batu-batu kerikil ini untuk membiayai sekolah mereka. Dan dua puluh tahun itu bukan waktu yang pendek. Ada sebuah kejadian yang mesti aku ceritakan: Waktu itu Basrim masih SMA. Dia mesti membayar uang sekolah sebesar Rp. 50.000,00. 

Dari hasil penjualan batu kerikil ini, saya berikan dia uang sejumlah itu. Tapi sewaktu mereka bermain, uang itu hilang. Pada saya diceritakan perihal kehilangan itu sambil menangis. 

Hati ibu mana yang tidak terluka mendengar pengakuan anak itu? Maka tanpa menunggu lebih lama, saya mengambil sehelai kain sarung Kembo (sarung berwarna merah), ke pasar, menjualnya, pulang dan memberikan uang itu untuk menutupi biaya sekolahnya. Dengan pekerjaan seperti ini, kami tidak memiliki uang untuk disimpan. Tidak akan pernah cukup."

Dengan segala perjuangannya menghadapi kerasnya hidup ini, dia berharap pemerintah daerah bisa memperhatikan mereka. Diceritakan olehnya, setahun yang lalu mereka pernah dikunjungi oleh orang-orang kelurahan (Keluarahan Kota Ratu). 

Mereka mencatat nama-nama para penjual batu kerikil, dan berjanji untuk membantu mereka. Tapi sampai hari ini, pertolongan itu belum juga datang. Ibu Habibah berharap, supaya pemerintah bisa menepati janjinya.

Betapa terharunya kita, hanya beberapa meter dari tempatnya berjualan batu-batu kerikil itu, terpajang dua buah spanduk Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati  Kabupaten Ende Periode 2018-2023: sebuah spanduk bersemboyan Perlu Bukti Bukan Janji untuk Ende Lio Sare Pawe, sebuah lagi bersemboyan EMAS (Ende Maju, Adil dan Sejahtera).

(Tulisan ini pernah dimuat di indonesiakoran.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun