Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ende, Rahim yang Kian Robek

25 Mei 2019   22:07 Diperbarui: 29 Mei 2019   21:07 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Habibah Abubakar dan Uminia sedang memecahkan batu di Selatan Taman Renungan Bung Karno, Ende | Dokpri

Rumah mereka terletak hanya beberapa puluh meter dari bibir Pantai Ria. Dan suara gulung gemulung ombak dari arah laut selalu mengingatkan Habibah Abubakar pada suaminya. "Dulu dia (Abubakar) sering melaut," katanya. 

"Aku sering membantunya membersihkan perahu. Tapi itu sudah enam tujuh tahun silam. Setelah kematiaannya, laut bagi saya seperti pisau bermata dua. Mengiris, namun layak untuk dikenang. Lalu dengan batu-batu kerikil ini, nafas kehidupan kami tersambung sedikit demi sedikit setiap hari."

Kerikil untuk Pendidikan

"Sebuah kerikil yang tajam, bisa melukai telapak manapun!" Mungkin itu adalah sebuah ungkapan yang tepat dikenakan pada sebuah batu kerikil. Apa yang terwakili dari sebuah kerikil tajam hanyalah luka. Hanyalah kepedihan. 

Namun ungkapan puitis nan kejam itu tidak berlaku bagi Ibu Habibah Abubakar. Baginya, kerikil tidak beda jauh dengan udara, yang memberinya nafas kehidupan setiap hari. Kerikil yang memberinya makan tiap hari, dan kerikil yang bisa membuat anak-anaknya bisa mengenyam bangku sekolahan.

Jika kita membuang sedikit rasa belas kasihan dan bertanya padanya tentang uang sekolah anak-anaknya sewaktu masih sekolah, Ibu Habibah Abubakar hanya bisa menjawab pelan dan berat. "Saya hanyalah seorang perempuan yang tidak pernah mengenyam eloknya bangku sekolah. Tapi saya berharap supaya anak-anak saya bisa menikmati itu.

Batu-batu kerikil ini yang bisa menjawab keinginan mulia itu. Selama lebih dari dua puluh tahun, saya bekerja menjual batu-batu kerikil ini untuk membiayai sekolah mereka. Dan dua puluh tahun itu bukan waktu yang pendek. Ada sebuah kejadian yang mesti aku ceritakan: Waktu itu Basrim masih SMA. Dia mesti membayar uang sekolah sebesar Rp. 50.000,00. 

Dari hasil penjualan batu kerikil ini, saya berikan dia uang sejumlah itu. Tapi sewaktu mereka bermain, uang itu hilang. Pada saya diceritakan perihal kehilangan itu sambil menangis. 

Hati ibu mana yang tidak terluka mendengar pengakuan anak itu? Maka tanpa menunggu lebih lama, saya mengambil sehelai kain sarung Kembo (sarung berwarna merah), ke pasar, menjualnya, pulang dan memberikan uang itu untuk menutupi biaya sekolahnya. Dengan pekerjaan seperti ini, kami tidak memiliki uang untuk disimpan. Tidak akan pernah cukup."

Dengan segala perjuangannya menghadapi kerasnya hidup ini, dia berharap pemerintah daerah bisa memperhatikan mereka. Diceritakan olehnya, setahun yang lalu mereka pernah dikunjungi oleh orang-orang kelurahan (Keluarahan Kota Ratu). 

Mereka mencatat nama-nama para penjual batu kerikil, dan berjanji untuk membantu mereka. Tapi sampai hari ini, pertolongan itu belum juga datang. Ibu Habibah berharap, supaya pemerintah bisa menepati janjinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun