Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Romantisme Masa Lalu yang Bertahan

23 Mei 2019   22:38 Diperbarui: 23 Mei 2019   23:19 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung SMPN 9 Amabi Oefeto Timur (gambar diambil bulan Mei 2018)

Ketiadaan listrik membuat sekolah ini begitu menarik -- begitulah yang selalu dikatakan wartawan jika sedang mencari berita. Tidak hanya di sekolah ini, tapi warga desa Pathau pun belum mengecupi terangnya cahaya listrik sewaktu malam hari. Mereka masih menggunakan pelita dan alat penerangan alami lainnya.

Dari kisahnya, Constan tentu pria yang penuh semangat -- seperti dugaan awal saya. Dia pernah menghubungi pihak PLN dan berencana memasang listrik di sekolah ini. Dia katakan, harga pemasangan listrik sekolah mencapai Rp 15 juta.

"Saya ketemu kepala desa, berdiskusi soal listrik yang bisa dipasang di sekolah ini. Kan ada dana desa. Jadi saya anjurkan, pihak sekolah akan menanggung Rp 5 juta, pihak desa menanggung Rp 10 juta. Sampai sekarang, hal itu tidak pernah terwujud," katanya dalam tarikan napas yang panjang.

Untuk menjalankan aktivitas keseharian dan membuat sekolah ini tetap bernafas, ada 12 orang guru honorer yang membantu.

Tentang guru-guru honorer di NTT, upah Rp 500 ribu sebulan merupakan persoalan yang biasa kita jumpai. Di beberapa sekolah, upah mereka hanya Rp 100 ribu sebulan. Ini hal yang biasa kita temui.

"Tapi di sini, saya hanya bisa menggaji mereka Rp 24.000,00 sebulan. Kita memiliki dana yang sangat terbatas. Dananya pun Dana BOS. Jadi terima triwulan sekali," katanya jujur.

Saya tidak bisa membayangkan, bahkan dalam hayalan sekalipun, seseorang bisa mencukupi kehidupannya selama sebulan hanya dengan Rp 24.000,00. Tapi, mereka tentu guru-guru yang penuh semangat. Mereka adalah sarjana-sarjana lulusan berbagai universitas di NTT, dan akhirnya mengabdi di sini.

Sekolah ini baru memiliki dua rombongan belajar, karena memang umur sekolahnya baru dua tahun. Sebanyak 42 siswa asal Desa Pathau tiap hari datang ke sekolah ini dan belajar. Tentu, mereka juga datang ke sekolah ini untuk bermain. Karena di depan sekolah mereka, ada lapangan bola kaki yang tak rata, tempat merek bisa berlari ke sana ke mari hanya untuk mengejar sebuah benda bulat.

Jelang pkl 12.00 Wita, sebuah lonceng buruk yang terletak di depan ruang guru, dibunyikan. Anak-anak keluar ruangan, mengambil sebuah bola dan berjalan menuju tanah lapang. Mereka kemudian bermain bola kaki, siang-siang, sewaktu matahari tepat di ubun-ubun kepala.

Tentu, ini soal kebahagiaan dunia anak-anak, dunia tanpa beban hidup. Hanya ada usaha mencari kepuasan dan kebahagiaan. Dan pada siang itu, kebahagiaan menyelimuti mereka secara utuh, sehingga bermain tanpa alas kaki pun bukan menjadi sebuah halangan.

Kabahagiaan mereka yang terlihat siang itu begitu tulus, begitu sederhana. Mereka berlari, menendang bola, berteriak, jatuh, bangun, berlari lagi, dan semua kebahagiaan itu hanya ditebus dengan bulir-bulir keringat yang timbul dari pori-pori tubuh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun