Mohon tunggu...
ambuga lamawuran
ambuga lamawuran Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang

Menulis novel Rumah Lipatan, novel Ilalang Tanah Gersang dan antologi cerpen Perzinahan di Rumah Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Romantisme Masa Lalu yang Bertahan

23 Mei 2019   22:38 Diperbarui: 23 Mei 2019   23:19 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Perjalanan Kopong Bunga Lamawuran

Jauh ke arah barat dari titik kami berpijak, pemandangan indah membentang sampai ke ujung cakrawala. Pepohonan tampak rimbun namun mulai kekuning-kuningan, tegak dan pasrah menerima panas dari langit.

Sebuah rumah warga terlihat kecil di atas ketinggian, terhimpit pohon-pohon yang juga tampak kecil. Rumah yang tampak bagai pondok supermini itu berhasil menawarkan situasi sunyi yang dalam, layaknya seorang pertapa yang ingin menyerap sekaligus menyebarkan kesunyian pada lingkungan sekitarnya.

Pada waktu menjelang tengah hari, pemandangan indah itu kadang membuyar, terlihat bergelombang karena pengaruh panas matahari.

Hanya berjarak beberapa meter ke depan, terdapat sebuah lapangan bola kaki yang tak rata, dan sebuah pohon bidara yang sedang rimbunnya, tumbuh di pinggir bagian barat lapangan itu.

Letak Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 9 Amabi Oefeto Timur cukup strategis sekaligus ironis. Sekolah ini tersembunyi dan mendekam di pedalaman tanah Timor, terhalangi oleh hamparan pemandangan yang luas. Memang, dari titik pijak kami -- tempat sekolah itu berdiri -- hamparan pemandangan luas membentang luas, dinaungi kesunyian yang sangat dalam.

Secara kewilayahan administratif, sekolah itu terletak di Desa Pathau, Kecamatan Oefeto Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kami datang pada waktu menjelang tengah hari, dan langsung bertemu kepala sekolah. Namanya Contan Tinuskanaf. Orangnya semangat, jujur, dan rendah hati.

"Memang pemandangan di sini sangat indah," ujar Contan. "Tapi kami mau lihat pemandangan itu, atau memikirkan kondisi sekolah ini."

Pandangan luas di depan sekolah itu perlahan-lahan membuyar, sirna, bahkan hilang, jika kita melihat-lihat kondisi sekolah itu dan membiarkan naluri kemanusiaan kita bersuara. Sekolah ini -- sama seperti sebagian kecil sekolah di NTT -- berhasil membawa kembali cerita-cerita sekolah zaman dulu, hadir tepat di tengah-tengah zaman kemajuan teknologi ini -- zaman milenial.

Situasi sekolah ini tentu berbeda dengan sekolah-sekolah yang berjarak hanya beberapa puluh kilometer dari Desa Pathau. Di sini tidak ada perpustakaan. Tidak ada kantin. Tidak ada kamar kecil. Tidak ada listrik. Tidak ada tumpukan buku. Laboratorium adalah ungkapan asing bagi anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun