Mohon tunggu...
Amas Mahmud
Amas Mahmud Mohon Tunggu... Jurnalis - Pegiat Literasi

Melihat mendengar membaca menulis dan berbicara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pejabat Publik, Etika Pelayanan dan Pameran Kerakusan

25 Januari 2022   18:17 Diperbarui: 26 Januari 2022   11:59 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak mudah menjadi pejabat yang benar-benar membumi (sederhana) di era sekarang. Pejabat publik yang merakyat, menempatkan diri bersama rakyat dan berjuang mewujudkan kepentingan rakyat marginal. Itu tidak mudah. 

Yang kita temukan saat ini malah pemimpin publik yang elitis. Baik dari Presiden, Kepala Daerah, Menteri (Pimpinan Kementerian/Lembaga), sampai Kepala pimpinan SKPD atau OPD, mereka memamerkan kemewahan.

Yang nampak adalah promosi kemewahan. Ada yang berpura-pura merakyat, hidup sederhana di depan publik. Membangun opini atau rekayasa tentang gaya hidupnya yang merakyat. Tapi nyatanya penuh kemewahan. Bermental memperbudak orang lain, rakyat dianggapnya beban. Begitulah sebagian potret pejabat kita.

Tidak semua, tapi dominan yang dipamerkan pejabat publik di media massa maupun dalam konteks melayani masyarakat, pejabat publik selalu glamor. 

Alasannya fasilitas negara yang mereka gunakan sudah diatur dalam Undang-undang. Ternyata mereka juga memanfaatkan kesempatan itu. Malah yang tumbuh adalah kebiasaan buruk.

Para pejabat publik ini merasa dirinya seperti bos. Menempatkan Kelembagaan (Instansi) seolah-olah seperti Perusahaan pribadi mereka. Penyebabnya, peluang terjerat Korupsi Kolusi dan Nepotisi (KKN) mengepung mereka. 

Hidup bergelimang harta, membiasakan diri dengan gratifikasi. Memanfaatkan jabatan untuk memonopoli modal. Jalan yang ditempuh yaitu menghalalkan segala cara.

Ketika bicara pembangunan berkelanjutan atau pembangunan progresif, mestinya revolusi mental dimulai dahulu dari para pejabatnya. Elit pemerintah perlu merubah mentalitasnya. 

Jangan hidup mewah, suka korupsi dan mementaskan gaya hidup miliyader. Pejabat publik juga harus tampil jujur, tak boleh munafik dan sok moralis. Merasa paling suci, ternyata dibalik pameran kesolehan itu tersimpan sikap kemunafikan.

Jadinya watak hedonis pejabat publik ini bersifat menipu. Meski semua sikap hura-hura, para pejabat tidak akan nyaman dengan caranya tersebut, sebab itu semu.

Kedepan untuk kemajuan pemerintahan, para pejabat publik harus mengubah perilakunya. Dari merasa paling luar biasa, hebat dan patut dihormati, sehingga beresiko, sensitif untuk dijebak lalu hancur karirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun