Mohon tunggu...
Amara Fasya Ramadhani
Amara Fasya Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Yogyakarta

tertarik dengan dunia kepenulisan dan tarik suara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Attachment" Penentu Hubungan Seseorang dengan Dunia

2 Januari 2023   08:06 Diperbarui: 2 Januari 2023   08:10 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hubungan antara seorang anak dengan orang tuanya merupakan hal yang sangat penting karena 'keluarga' merupakan sebuah tombak penentu yang menghubungkan seseorang dengan sekitarnya. Dalam lingkungan keluarga sejak kecil inilah seorang anak memperoleh bagaimana mereka akan bersikap terhadap dunia, berkembang secara mental dan fisik, berkomunikasi, membentuk sikap dan etika mereka sendiri, menjalin hubungan, bahkan cara mereka membesarkan anak mereka juga nantinya di masa depan. Sejalan dengan teori Psikologi Evolusi dimana hubungan seseorang dengan lingkungan masa kecilnya akan menjadi penentu bagaimana mereka akan memperlakukan lingkungannya di masa depan. Penentu seseorang dan hubungannya dengan dunia ini dapat ditinjau dengan teori "attachment". 

Attachment

Attachment theory atau teori kelekatan merupakan hubungan emosional yang terbentuk sejak awal kehidupan anak, yang terjadi antara anak dengan pengasuh (biasanya orang tua), dan akan berdampak pada pembentukan hubungannya dengan seseorang yang akan berlangsung sepanjang hidupnya (Bowlby, dalam Upton, 2012). Sedangkan menurut Santrock (2007) kelekatan adalah ikatan emosional yang erat diantara dua orang. Sehingga berdasarkan definisi tersebut, kelekatan atau attachment merupakan suatu hubungan emosional antara individu dengan individu lainnya yang bersifat afektif. Afektif disini diartikan dengan hubungan yang terjalin cukup lama, timbal balik, dan memberikan rasa aman.

Teori attachment ini dikemukakan oleh seorang Psikoanalisis asal Inggris pada tahun 1950an yang bernama John Bowlby. Gagasan mengenai teori attachment ini dicetuskan berdasarkan pengalamannya mengajar di salah satu sekolah untuk anak-anak cerdas. Bowlby tertarik pada gangguan anak yang dibesarkan di panti asuhan. Menurut beliau, anak-anak di panti asuhan dilihatnya seringkali menunjukkan beragam masalah emosi, termasuk ketidakmampuan membentuk hubungan sosial yang erat dengan anak-anak lain. Anak-anak tersebut tersebut tidak sanggup mencintai karena tidak memiliki kesempatan dan tidak mengenal perasaan dicintai oleh figur orang tuanya di awal kehidupannya. Bowlby juga mengamati gejala serupa pada anak-anak yang tumbuh normal di rumah untuk sementara waktu namun kemudian mengalami perpisahan cukup lama. Anak-anak tersebut tampak begitu terguncang sehingga secara permanen mereka menjauh dari ikatan yang erat dengan manusia lain. Dari situlah muncul pertanyaan dari beliau mengapa ikatan begitu penting, sehingga jika terganggu akan menyebabkan konsekuensi yang menyakitkan yang mempengaruhi seluruh dunia seseorang. Dan dari pertanyaan-pertanyaan itulah yang mendasari gagasannya tentang teori attachment.

Faktor yang mempengaruhi attachment 

Menurut Ainsworth terdapat beberapa hal yang mempengaruhi pembentukan attachment dalam diri seseorang antara lain :


Pengalaman masa lalu seperti perlakuan orang tua dan orang-orang sekitar, perpisahan atau kehilangan orang-orang yang disayangi.

Faktor keturunan atau gen dapat dikatakan dapat mempengaruhi pembentukan attachment karena anak cenderung meniru orang tuanya seperti perilaku dan juga emosinya.

Jenis kelamin menjadi faktor penentu attachment seseorang dimana perempuan memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hubungan percintaan yang akan mempengaruhi kualitas hubungannya dengan pasangan.

Attachment style 

Attachment style adalah gaya atau cara seorang individu berhubungan dengan orang lain. Attachment style adalah cara untuk mengekspresikan kebutuhannya akan keterikatan dengan orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk terikat dengan seseorang, baik itu orang tua, pasangan, ataupun sahabat. Namun setiap orang juga memiliki kapasitas yang berbeda-beda untuk mengekspresikan kebutuhannya tersebut. Perbedaan itulah yang dapat diartikan sebagai attachment style. Attachment style terbentuk pada awal kehidupan dan kemungkinan akan tetap bertahan seumur hidup. Gaya keterikatan pada diri seseorang dapat terlihat dari caranya membangun hubungan kedekatan dengan orang lain serta dalam cara mengasuh anak. Attachment pertama manusia seringkali terbentuk saat masa bayi, berupa keterikatan dengan orang yang menjadi pengasuh utamanya. Gaya attachment tersebut kemudian juga akan berlanjut dan dijalankan dalam bentuk hubungan sosial lainnya, seperti dengan keluarga atau pasangan.

Later relationship cenderung merupakan kelanjutan dari gaya attachment awal karena perilaku figur attachment utama awal membentuk internal working models yang mengarahkan anak untuk mengharapkan hal yang sama pada later relationship mereka. Dengan kata lain akan ada kesinambungan antara pengalaman attachment awal dan later relationship yang dikenal sebagai hipotesis kontinuitas. Menurut hipotesis kontinuitas, pengalaman dengan figur attachment masa kanak-kanak dipertahankan dari waktu ke waktu dan digunakan untuk memandu persepsi dunia sosial dan interaksi di masa depan dengan orang lain.

Internal working models dibentuk oleh anak sejak bulan pertama kehidupannya, dimana berisi tentang bagaimana figur attachment anak berperilaku terhadap dirinya dalam berbagai situasi dan model yang dibentuk berdasarkan apa yang sudah ia alami dan akan berlangsung untuk seumur hidup (Sanjaya, 2016). Hal tersebut membuat anak memiliki pandangan tentang konsep diri dan bagaimana memandang orang lain. Menurut Hazan & Shaver (1994) sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Bowlby ini, internal working models akan menjadi panduan bagaimana anak akan berpikir, merasa, dan berperilaku terhadap relasinya dengan orang lain di kemudian hari.

Jenis-jenis attachment

Attachment style memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-hari seperti menentukan kemampuan untuk mengkomunikasikan emosi dan kebutuhan kepada pasangan, teman, dan keluarga, menentukan kemampuan dan cara seseorang dalam menanggapi konflik, membentuk harapan dan ekspektasi tentang hubungan yang dijalani. Pengaruh baik dan buruknya bergantung pada gaya attachment yang dimiliki seseorang. Attachment style dibagi menjadi 4 yaitu :

1. Secure Attachment 

Seseorang yang memiliki gaya attachment 'aman' cenderung memiliki self-image positif dan memandang orang lain dengan positif pula, artinya mereka memiliki harga diri dan harapan yang tinggi yang diterima dan diberi respon oleh orang lain. 

Attachment ini terjadi karena orang tua memenuhi kebutuhan emosional anaknya. Anak-anak yang gaya attachment-nya adalah secure, umumnya sangat marah ketika pengasuh atau orang tua pergi dan bahagia saat mereka kembali. Saat ketakutan, anak dengan secure attachment style akan mencari kenyamanan dari orangtua atau pengasuhnya. Gaya attachment aman ini cenderung mirip dengan pola asuh authoritative dimana orang tua peka terhadap kebutuhan anaknya dan tidak menekankan hukuman dalam mengasuh anak, orang tua memperlakukan anaknya dengan kehangatan, kebaikan, dan keintiman tetapi tetap menetapkan batasan-batasan bagi sang anak.

Orang-orang dengan secure attachment biasanya menunjukkan keterbukaan dalam mengungkapkan emosi dan pikiran dengan orang lain dan merasa nyaman untuk bergantung pada bantuan orang lain, mereka juga akan merasa nyaman dengan orang lain yang bergantung pada mereka. Orang dewasa yang menunjukkan secure attachment sangat menghargai hubungan mereka dan menganggap bahwa hubungan sangat berpengaruh terhadap kepribadian mereka. Mereka siap untuk menerapkan gaya attachment yang mereka dapatkan dari hubungan sebelumnya.

Mereka yang memiliki secure attachment mampu menilai orang dan peristiwa secara objektif dan memberikan nilai positif pada hubungan secara umum. Mereka mencirikan hubungan romantis yang terpenting adalahi bahagia dan saling percaya. Mereka mampu mendukung pasangannya meskipun ada kesalahan yang dilakukan pasangannya. Hubungan mereka juga cenderung bertahan lebih lama. Mereka percaya bahwa meskipun perasaan romantis dapat bertambah dan berkurang, cinta romantis tidak akan pernah pudar.

2. Anxious / ambivalent (preoccupied) attachment

Seseorang dengan gaya attachment ini memiliki self-image yang negatif tetapi memandang orang lain dengan positif, artinya mereka merasa bahwa dirinya tidak berharga tetapi menganggap dan melihat orang lain secara positif. Mereka memiliki tendensi ketergantungan yang tinggi dan sifat menghindar yang rendah. Mereka merasa bahwa dirinya tidak layak untuk dicintai, tetapi memandang orang lain secara positif, sehingga mencari penerimaan diri mereka melalui penilaian orang lain (Ariastuti, 2011).

Jenis attachment ini didefinisikan sebagai pandangan negatif mengenai diri didampingi dengan harapan yang positif bahwa orang lain akan mencintai dan menerima. Terjadi karena orang tua terkadang memenuhi kebutuhan anaknya dan terkadang mengabaikan kebutuhan emosionalnya, dimana perilaku orang tua tidak konsisten. Individu akan mengalami kecemasan dan rasa malu karena merasa tidak pantas menerima cinta dari orang lain. Mereka memiliki self-image negatif, kepercayaan diri yang rendah, ekspresif, sangat reaktif, dan berlebihan dalam menghadapi suatu masalah.

Anak-anak dengan preoccupied attachment sangat dekat dan manja dengan orangtuanya pada situasi baru dan tidak mau mengeksplorasi hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak percaya pada orang tuanya. Mereka sangat tertekan ketika dipisahkan dari orang tuanya. Ketika orang tuanya kembali, mereka senang melihatnya dan mendatanginya untuk mencari penghiburan, tetapi kemudian merasa tidak nyaman dan mungkin menunjukkan tanda-tanda kemarahan terhadap orang tuanya.

Orang-orang dengan preoccupied attachment mendambakan hubungan yang romantis tetapi juga tetap cemas apakah pasangannya akan memenuhi kebutuhan emosional mereka. Mereka akan cemas bila dihadapkan dengan kemandirian dan otonomi. Selain itu, mereka akan tertekan jika mereka menafsirkan pengakuan dan menggambarkan orang lain tidak tulus, atau gagal dalam memenuhi respons yang sesuai. Sistem attachment mereka rentan terhadap masa stres, emosi akan naik, dan ketergantungan berlebihan pada orang lain meningkat (Mikulincer & Shaver, 2003).

Mereka yang memiliki preoccupied attachment mencirikan hubungan romantis mereka sebagai obsesi, keinginan timbal balik dan penyatuan, pasang surut emosional, ketertarikan dan kecemburuan seksual yang berlebihan. Mereka percaya bahwa mudah bagi mereka untuk jatuh cinta, namun mereka juga menganggap bahwa cinta yang abadi sulit ditemukan.

3. Avoidant (fearful) attachment

Seseorang yang memiliki avoidant attachment memiliki gambaran diri negatif dan juga menganggap orang lain secara negatif. Mereka akan takut pada intimasi dan otonomi. Mereka menampilkan perilaku avoidant attachment yang khas dari anak-anak sehingga menarik diri secara sosial dan tidak mempercayai orang lain. Gaya attachment ini memberi gambaran bahwa diri mereka sendiri tidak layak dicintai dan juga memandang orang lain negatif dan tidak dapat dipercaya. Mereka akan menghindari orang lain untuk melindungi diri. Mereka merasa sulit untuk percaya dengan orang lain. Ketika menghadapi masalah, mereka tidak mencari orang lain untuk mendapatkan dukungan, tidak ekspresif secara emosional, dan ketika kecewa tidak menunjukkannya kepada orang lain.

Perilaku anak dengan fearful avoidant sangat tidak teratur. Jika anak dipisahkan dengan orang tua untuk beberapa waktu pun, pada pertemuan kembalinya anak akan bertindak bertentangan. Mereka mungkin awalnya akan mengejar orang tuanya, tetapi kemudian tampaknya berubah pikiran dan melarikan diri. Di mata mereka pengasuh tidak dapat dipercaya. Anak-anak dengan attachment ini berisiko membawa perilaku ini hingga dewasa jika mereka tidak mendapat dukungan untuk mengatasinya. Mereka cenderung menghindari orang tuanya seperti menolak perhatian orang tuanya tetapi mereka juga tidak mencari kenyamanan dari tempat lain.

Orang-orang dengan fearful avoidant attachment sering berupaya menjauhkan diri dari pasangannya, tetapi tidak seperti mengabaikan individu, mereka terus mengalami kecemasan dan kebutuhan akan cinta, reliability, dan kepercayaan pasangan mereka (Schachner, Shaver & Mikulincer, 2003). Mereka lebih memilih hubungan biasa, dan mungkin tetap berada dalam tahap berkencan dalam hubungan dengan jangka waktu lama karena mereka merasa lebih nyaman pada tahap tersebut. Hal ini tidak selalu karena mereka memang ingin menghindar, tetapi karena mereka takut untuk lebih dekat dengan seseorang.

Mereka mungkin lebih suka memiliki lebih banyak pasangan seksual sebagai cara untuk dekat secara fisik dengan seseorang tanpa harus terlibat secara emosional -- sehingga mereka tetap memenuhi kebutuhan mereka akan kedekatan. Mereka juga bisa lebih patuh secara seksual karena merasa memiliki batasan yang buruk dan belajar di masa kanak-kanak bahwa boundaries mereka tidak penting. Pasangan dengan gaya keterikatan ini mungkin lebih suka menjaga jarak dengan pasangannya sehingga hal-hal tidak terikat terlalu intens secara emosional. Mereka mungkin enggan untuk berbagi terlalu banyak tentang diri mereka sendiri sebagai cara untuk melindungi diri dari rasa sakit hati. Jika hubungan menjadi terlalu dalam atau jika mereka diminta untuk berbagi cerita pribadi, mereka akan menutup dengan cepat.

Mereka dengan gaya fearful avoidant attachment biasanya tumbuh dalam rumah tangga yang kacau dan toxic. Dengan demikian, mereka mungkin menganggap bahwa hubungan romantis mereka sebagai orang dewasa nantinya juga akan kacau. Jika mereka menjalin hubungan dengan seseorang yang aman dan tenang, mereka mungkin curiga mengapa bisa terjadi. Mereka menganggap pasti ada sesuatu yang salah dan mungkin menantang pasangannya atau menciptakan masalah untuk membuat hubungannya tidak stabil. Mereka cenderung selalu mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi dalam hubungan mereka dan kemungkinan besar akan mencari alasan untuk merusak hubungan tersebut agar mereka tidak terluka. Seperti mereka menyalahkan atau menuduh pasangannya atas hal-hal yang tidak mereka lakukan, mengancam untuk meninggalkan hubungan, atau menguji pasangannya untuk melihat apakah ini membuat mereka cemburu. Semua strategi ini dilakukan untuk membuat pasangannya mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan.

4. Dismissive attachment

Gaya dismissive attachment ditunjukkan oleh seseorang yang memiliki citra diri positif dan memandang negatif pada citra orang lain. Mereka cenderung memiliki ketergantungan yang rendah dan memiliki sifat menghindar yang tinggi. Mereka merasa layak untuk dicintai namun memandang orang lain negatif. Individu cenderung menghindari hubungan dengan orang lain dan memiliki sifat yang sangat independen (Ariastuti, 2011).

Anak-anak dengan jenis attachment ini tidak menganggap orang tuanya sebagai safe base. Mereka tidak tertekan saat berpisah dengan orang tuanya dan juga tidak gembira ketika orang tuanya kembali. Mereka menunjukkan sedikit kecemasan pada orang asing. Jenis keterikatan ini terjadi karena orang tua mengabaikan kebutuhan emosional anaknya.

Mereka lebih suka menghindari hubungan yang intim dengan orang lain agar tetap memiliki rasa kemandirian dan kekebalan. Ini berarti mereka mengalami kesulitan dengan keintiman dan menghargai kemandirian serta otonomi. Mereka menyangkal saat mengalami kesusahan yang terkait dengan hubungan dan meremehkan pentingnya keterikatan secara umum, tidak dapat percaya dengan orang lain. Dicirikan oleh ketakutan akan keintiman, naik turunnya emosi, dan kecemburuan. Mereka sering tidak yakin dengan perasaan mereka terhadap pasangan mereka, percaya bahwa cinta abadi tidak bertahan lama, dan sulit bagi mereka untuk jatuh cinta (Hazan & Shaver, 1987).

Attachment sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Bagaimana seseorang melihat dunia, bagaimana kepribadian mereka, cara berkomunikasi, cara resiliensi, bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain, bahkan cara mereka membangun keluarga mereka nantinya. Attachment tidak selalu berpatok dengan gaya kelekatan mereka di masa kecil, attachment ini bisa berubah sewaktu-waktu jika seseorang ingin merubahnya. 

referensi : 

Ainsworth, M. D. S., Blehar, M. C., Waters, E., & Wall, S. (1978). Patterns of attachment: A psychological study of the strange situation. Lawrence Erlbaum.

Ariastuti, Lidwina, T. (2011). Adult Attachment Style and Its Relationship to Psychological Well-Being Among Filipino Roman Catholic Religious Sisters. Ateneo de Manila University.

Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss: Volume I. Attachment. London: Hogarth Press.

Cenceng. (2015). Perilaku kelekatan pada anak usia dini : Perspektif John Bowlby. Lentera,   Vol                          IXX,           No.              2.               Media     neliti. https://media.neliti.com/media/publications/195466-ID-perilaku-kelekatan-pad a-anak-usia-dini-p.pdf

Collins, N.L., Shaver, P. R., Cooper, M.L. (1998). Attachment Styles, Emotion Regulation< and Adjustment in Adolescence. Journal of Personality and Social Psychology, 74(5), 1380-1397.

Ebrahimi, L., Amiri, M., Mohammadlou, M. et al. (2017) Attachment Styles, Parenting Styles, and Depression. Int J Ment Health Addiction 15, 1064--1068.

Eprinita, S. (2019, 17 September) Pentingnya Kelekatan (Attachment) Antara Anak & Orang                                                       Tua.                                             Dfunstation. https://www.dfunstation.com/blog/read/pola-asuh-anak/91/pentingnya-kelekat an-attachment antara anak---orang-tua

Hazan, C., & Shaver, P. (1987). Romantic love conceptualized as an attachment process. Journal of Personality and Social Psychology, 52(3), 511--524.

Huang, S. (2022, May 24). Attachment Styles & Their Role in Adult Relationships.

Simply Psychology. www.simplypsychology.org/attachment-styles.html Mikulincer, M. & Shaver, P. R. (2003). The attachment behavioral system inadulthood:    Activation,    psychodynamics,   and    interpersonal    processes. Advances in Experimental Social Psychology, 35, 53-152.

Psychologymania.     (2013).     Faktor-Faktor    yang     Mempengaruhi     Attachment. Psychology                                                                                                                   mania. https://www.psychologymania.com/2013/01/faktorfaktor-yang-mempengaruhi. html

Sanjaya, E. (2016). Hubungan antara gaya kelekatan dengan perilaku kekerasan dalam relasi romantis pada remaja. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Sanata             Dharma.                        Yogyakarta.       Diakses                   dari                    : https://repository.usd.ac.id/8456/2/129114120_full.pdf

Santrock, J. W (2007) Perkembangan Anak. Edisi: 11. Jakarta: Erlangga. Schachner, D. A., Shaver, P. R., & Mikulincer, M. (2003). Adult Attachment Theory,

Psychodynamics, and Couple Relationships: An Overview. In S. M. Johnson & V. E. Whiffen (Eds.), Attachment processes in couple and family therapy (pp. 18--42). The Guilford Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun