Mohon tunggu...
Ama Atiby
Ama Atiby Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Pencari ilmu yang takkan pernah berhenti menambah ilmu" http://lovewatergirl.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 7)

8 Januari 2011   10:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:49 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Makan siang telah disajikan di depanku, dua talam besar berisi penuh makanan. Ada sebakul nasi, rendang, ayam goreng kampung, telur asin, balado udang, kerupuk emping, dan gulai batang pisang yang katanya khas dari kampung ini. Hanya ada dua piring nasi dan dua gelas air putih. Mengapa hanya dua? Apa yang lain tidak ikut makan?

“Ayo kita makan.” Ajak suamiku.

“Kok cuma kita?”

“Mereka makan di dapur, biar ade ga malu makannya. Ntar dipelototin bisa ga jadi makan kamu.” Ujarnya diselingi tawanya yang renyah.

Kuikuti saja omongan suamiku ini, memang benar kata pepatah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Kalau di tradisi keluargaku, tidak sopan membiarkan tamu makan tanpa ditemani oleh empunya rumah, apalagi menantu. Kalau di keluarga ini justru sebaliknya.

Kuperhatikan suamiku yang dengan lahap menyantap makanannya. Memang harus kuakui masakan ibu mertuaku ini enak sekali di lidah. Klo bisa di rate sudah aku kasih dua jempol. Berbeda sekali dengan dirumahku, dimana segala sesuatunya di urus oleh pembantu. Kalau ada acara-acara seperti arisan atau pesta seperti kemarin, bunda lebih memilih untuk menggunakan jasa catering dari pada harus merepotkan diri untuk berurusan di dapur. Belakangan ini bahkan bunda sudah jarang sekali masak, walaupun sebenarnya masakan bunda tak kalah sedapnya. Mungkin sudah terlalu sibuk dengan kegiatan sosialnya sebagai istri anggota dewan sehingga terkadang sudah jarang berada dirumah. Bisa jadi juga bunda merasa kesepian dirumah sehingga banyak menyibukkan diri diluar.

Setelah makan, suamiku membereskan sisa makanan kami dan membawanya kembali ke dapur. Selang sesaat, suamiku naik dengan seorang perempuan tua dan menghampiriku.

“Ini mamak abang”

Langsung saja aku berdiri dan menyalaminya. Kuciumi tangannya sebagai rasa hormatku. Wanita yang telah melahirkan hampir selusin anak ini kelihatan begitu kuat di usianya yang senja. Lebih heran lagi saat kukuetahui diusianya itu ia masih punya tenaga untuk berlaga di sawah dari menanam padi hingga menuainya. Benar-benar sosok wanita yang bersahaja dalam kesederhanaan. Pikirku.

*****

Rintik-rintik hujan mulai terdengar membasahi atap. Cuaca sekarang memang susah  di prediksi. Waktu berangkat tadi matahari bersinar terik dan begitu menyengat kulit. Aku mulai merasa bosan di dalam rumah ini. Tak ada televisi yang bisa aku tonton untuk mengusir suntuk. Suamiku yang melihatku uring-uringan memberikan sebuah album kepadaku. Kubolak-balik lebar-lembar album dimana potret keluarga suamiku tersimpan. Tak banyak memang karena sebagian telah rusak terendam air .Dia menjelaskan satu persatu nama-nama saudaranya yang tentu saja tak bisa kuingat semuannya. Lagipun ini bukan pelajaran sekolah yang harus aku hafalkan untuk bekal ujian. Tapi cukuplah untuk sekedar memperkenalkan aku dengan keluarga besarnya baik yang masih hidup maupun yang telah tiada.

Satu yang paling menarik perhatianku adalah sesosok wanita yang sangat mirip dengan kak Wasti, tapi bisa kupastikan dia bukan kak Wasti karena mereka berada di satu foto yang sama. Mirip sekali, seperti kembaran saja. Aneh... mengapa suamiku luput menceritakan tentang dia.

“em... itu Nafsi... Anak Nyak Mi.” (nyak mi:kakak kandung mamak).

“Masih hidup?”

“Entahlah. Terakhir abang dengar dia di Jawa.”

“Lho!?” Tak bisa kututupi rasa penasaranku akan dirinya

“Dia.. Lari... eum... dengan pacarnya.”

Hah... belum hilang rasa terkejut dan penasaranku, suamiku kemudian melanjutkan lagi bercerita. Mungkin dia mengerti rasa keingintahuanku yang begitu besar.

“Seminggu setelah nikah dia kabur meninggalkan keluarga dan suaminya."



"Dia memilih untuk lari tanpa ikatan pernikahan dengan sepupunya sendiri, anak Mak Po (mak po: kakak kandung nyak mi).”

Terlihat gurat kesedihan dan kekecewaan dari raut wajahnya.

“Tak ada yang tahu kalau mereka telah berhubungan sebelum Nafsi nikah, kejadian itu sudah 15 tahun yang lalu. Tapi kelakuan bejad mereka telah mencoreng dan memberi aib bagi keluarga ini.”

“Suaminya gimana?” selidikku lagi.

“Tak lama setelah kejadian itu, dia menikah lagi. Tapi na’as, waktu tsunami dia dan seluruh keluarganya menjadi korban. Mereka tinggal di Lhok’Nga."

"Suaminya adalah teman dekat abang. Betapa menyedihkan dia saat itu. Entah kekuatan apa yang membuatnya begitu sabar.

Kalau itu abang, sudah sedari dulu abang tebas kepala kedua orang terkutuk itu.”

Kali ini dia menatap tajam mataku. Tak ada sedikitpun gurat keraguan atas perkataannya itu.

*****



Bersambung

Selanjutnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 8)

Sebelumnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 6)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun