Mohon tunggu...
Ama Atiby
Ama Atiby Mohon Tunggu... karyawan swasta -

"Pencari ilmu yang takkan pernah berhenti menambah ilmu" http://lovewatergirl.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Siti Nurbaya (Episode 6)

7 Januari 2011   12:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12943997111752366891

Beuraden adalah nama suatu gampong (kampung) di kecamatan peukan bada, kabupaten Aceh Besar. Kampung dimana suamiku lahir dan dibesarkan. Meskipun lokasinya tak jauh dari ibu kota Banda Aceh, aku sendiri belum pernah mendengar nama kampung itu sebelumnya.

Perjalanan menuju kesana memakan waktu kurang lebih 20 menit dengan sepeda motor dari rumahku. Lumayan dekat memang, aku sendiri heran mengapa aku tidak ngeh, padahal kampung itu sering kulalui ketika mengunjungi pantai Lhok’nga dan Lampu’uk. Dua pantai terkenal yang menjadi objek wisata bahari di provinsi Aceh.

Waktu musibah besar tahun 2004 silam, kampung ini merupakan salah satu kawasan yang paling parah terkena tsunami. Menurut cerita suamiku, dari sekitar 300 KK yang mendiami kampung Beuraden, hanya tersisa 50 orang saja. Keluarga inti suami ku masih terselamatkan, walaupun mereka harus berkejar-kejaran dengan gelombang. Beberapa diantaranya bahkan sempat bertempur dengan amukan air yang maha dahsyat tersebut. Banyak saudara dari pihak dan ayah dan ibunya tinggal yang di kawasan tersebut yang menjadi korban.

Untuk pertama kalinya aku diboncengin oleh suamiku dengan sepeda motornya. Terasa agak kikuk memang, tapi kelihatannya dia juga begitu. Dia melarangku memegang paha atau memeluk pinggangnya, ga terbiasa katanya. Dari pada ntar tidak konsen dijalan, yah, aku turuti saja permintaannya.

Teringat dulu pernah suatu kali aku nebeng (dibonceng) oleh Satria dengan motor Yamaha Scorpio kesayangannya. Hanya sekali, itupun terjadi diluar pengawasan ayahku. Ayah memang orang yang sangat strict dengan pergaulan anak gadisnya. Baik aku dan adik-adik perempuanku dilarang keras untuk berboncengan dengan lelaki yang bukan muhrim, apalagi keluar berdua-duaan. Setahun yang lalu, entah godaan apa yang menghampiriku, sehingga aku mau saja menerima ajakannya yang hendak mengajakku jalan-jalan.

Waktu itu dia menjemputku di kantor. Saat bersama dengannya, terus terang perasaanku campur aduk, antara senang dan tidak tenang. Aku khawatir klo tiba-tiba ayah, abang, atau adik-adikku memergoki kami di jalan. Sungguh perasaan itu tidak mengenakan. Di atas sepeda motor, aku duduk berjarak dengannya, kuselipkan tas diantara punggungnya dan badanku agar kami tak bersentuhan. Tindakan itu justru mengundang protes darinya. Dia baru mengerti setelah aku menjelaskan perinsipku, dan dia memakluminya. Setelah berkeliling, dia mengantarkanku kembali ke kantor. Aku kemudian pulang dengan mobilku sendiri, seolah-olah kami pulang masing-masing. Sampai sekarang cerita ini masih menjadi rahasia kecil kami. Ah.. jadi senyum sendiri klo mengingatnya. Satria... Lagi apakah dia sekarang? Padahal hari ini aku ingin meneleponnya.

Ya ampun... Apa yang sedang ku pikirkan ini, tak sadarkah aku sekarang sedang bersama siapa? Kubuang jauh-jauh pikiranku tentang Satria. Kupandangi punggung suamiku yang berada didepanku ini. Punggung yang bidang.

Ah... Aku ingin menyentuhnya. Aroma parfumnya begitu menggodaku. Aku tak tahu parfum apa yang dia pakai. Aku memang belum sempat membongkar isi tasnya yang dibawa oleh saudaranya kemarin malam setelah pesta. Tas itu lebih mirip tas kantor, yang sepertinya cuma berisi dua pasang baju dan celana.

*****

SELAMAT DATANG DI GAMPONG BEURADEN

Gapura yang menjadi petunjuk nama kampung ini sangat unik, letaknya pas didekat sebuah pohon besar yang membuatnya kadang luput dari penglihatan. Jalanan kampung sudah diaspal, tak seperti bayanganku sebelumnya. Menurut suamiku, baru setelah tsunami jalan tersebut diaspal untuk kemudahan distribusi bantuan.

Perjalanan kami berhenti dihalaman sebuah rumah. Rumah yang menurutku lebih mirip dengan rumah peninggalan zaman Belanda. Rumah panggung semi-permanen yang kelihatan sudah sangat tua tapi keperkasaannya masih memancarkan pesona tersendiri. Dari luar terlihat rumah seperti terbagi menjadi dua bagian. Bagian atas adalah seuramo (tempat menerima tamu) dan bagian bawah yang merupakan rumoh dapu (dapur). Kedua ruangan ini dipisahkan oleh beberapa anak tangga.

Dari dalam rumah kudengar sayup-sayup suara yang menyebut namaku. Dinding kayu ini memang tidak bisa berbicara, tapi suara-suara di dalam rumah terdengar begitu jelas. Ramai sekali... ada suara tangisan anak-anak juga. Kulihat ada seorang gadis membuka pintu depan.

Walaikumsalam” ujarnya, menjawab salamku. Aku tak bisa lupa dengan gadis ini. Di pesta kemarin dia kelihatan paling sibuk mengatur keluarga suamiku yang ingin berfoto denganku. Kuserahkan bungkusan berisi kue Meusekat titipan bunda kepadanya.

Namanya Layla, si bungsu yang lebih tua beberapa bulan dariku. Tapi kini dia harus memanggilku dengan sebutan kakak. Perawakannya kecil, tingginya hanya 155 cm. Lebih pendek 5 cm dari suamiku.

Suamiku merupakan anak ketiga. Abangnya Sofyan, merupakan menantu Mak Wa, orang yang menjodohkanku. Sebelum menikah dulu, Ida, istrinya sering main kerumah ku karena masih sepupu bunda. Baru kuketahui kemudian ternyata ide perjodohan ini datang darinya yang ia sampaikan lewat Mak Wa.

Seorang wanita paruh baya lalu datang menghampiriku. Kupikir dia adalah mamak suamiku, tapi ternyata memperkenalkan diri sebagai kakaknya. Namanya Wasti, umurnya hampir sama dengan bunda. Orangnya ramah dan keibuan. Kalau berbicara kental sekali logat Aceh Besar nya. Terkadang aku tak begitu paham apa yang mereka bicarakan. Aku memang tidak begitu pandai berbahasa Aceh. Adik-adik suamiku berjumlah 6 orang. Kecuali Layla, yang lain adalah laki-laki. Tak satupun adiknya yang laki-laki terlihat.

“laki-laki mana ada yang betah dirumah, kak” Ujar Layla menjawab pertanyaanku.

Tak lama berselang, aku ditinggalkan diruang tamu berdua saja dengan suamiku. Ruangan ini sangat sederhana, berukuran 3x6 meter dan hanya beralaskan tikar. Tak ada pajangan foto keluarga. Yang ada hanya sebuah kaligrafi ayat kursi yang dibingkai kaca dan bunga plastik yang menggantung di dinding kayu. Bentuknya sudah sangat usang dan kelihatan berdebu. Disudut ruangan terdapat sebuah meja yang diatasnya terdapat tumpukan kain yang terlipat rapi. Sebuah setrika terlihat diantara tumpukannya.

Dinding kayu yang kokoh mulai terlikat lapuk dibeberapa bagian. Tak sengaja kulihat ada rombongan rayap yang mengintipku dan berhasil membuat aku membencinya. Dinding dibawah kayu yang telah melepuh dan terkelupas terlihat hampir di seluruh bagian rumah. Pemandangan yang sama kuperhatikan di luar tadi. Aneh, karena kuperhatikan bentuknya seperti rembesan air, tapi kering. Aku sampai enggan untuk bersandar.

Waktu tsunami dulu, air di dalam rumah ini hampir mencapai 4 meter, rumah ini masih utuh karena air yang datang sudah pecah oleh perbukitan di belakang rumah yang jaraknya hanya beberapa meter. Tapi akibat terlalu lama terendam oleh air tsunami, menyebabkan lapisan temboknya terkikis, walaupun sudah diperbaiki, temboknya akan kembali lagi seperti itu, seolah-olah dia melepuh dengan sendirinya. Bukan hanya rumah abang, rumah-rumah lain disekitar sini juga begitu, kecuali rumah baru yang baru dibuat setelah tsunami. Begitulah penjelasan suamiku tentang rumahnya ini.

Kak Ida kemudian muncul membawakan dua gelas air syrup berwarna merah dan beberapa potong kue bolu dan agar-agar.

“Mari Ama silahkan diminum” ujarnya. “Nanti malam tidur disini kan?”

“Iya kak.”

“Kakak sore ini balik Ke Takengon (Nama daerah di kabupaten Aceh Tengah). Kasihan Anisklo terlalu lama ga sekolah.”

Anis adalah anak bungsu kak Ida. Umurnya masih 7 tahun. Memang setelah menikah dia tinggal dengan suaminya di Takengon. Kebetulan suaminya sudah jadi guru MIN disana. Hanya sesekali dia pulang ke Beuraden, itupun klo ada acara atau lebaran. Mungkin karena sesama menantu kami kelihatan cepat akrab.

“Mamak mana kak?” Tanyaku kemudian.

“ Ada di dapur. Lagi masak. Karena tau Ama akan datang, mamak seperti buat kenduri aja, pagi-pagi tadi kak Wasti sudah belanja dan potong ayam.”

Tak kusangka kedatanganku telah membuat repot keluarga ini.

“Biasa itu Ama, kakak dulu juga gitu, orang kampung emang begitu kalau pertama menyambut menantu. Nanti lama-lama juga kalau Ama kesini, turunnya kedapur juga” jelasnya lagi.

Suamiku kemudian minta diri untuk sholat dzuhur ke Mushalla didekat rumah. Tinggalah kini aku berdua saja dengan kak Ida diruangan ini.

“Gimana malam pertama kalian?” Tanyanya tiba-tiba.

Hampir saja air yang sedang aku minum ini menyembur keluar. Aku tak menyangka akan diserang dengan pertanyaan yang diluar ‘zona nyaman’ ku ini. Kusenyumi saja dia, mudah-mudahan dia mengerti kalau aku sedang tak ingin membahasnya.

“Kalian memang baru kenal, tapi kakak jamin tak butuh waktu lama bagi kalian untuk saling kenal satu sama lain. Dulu kakak juga dijodohkan, dan kami menikmati nikmatnya pacaran setelah menikah.”

“Maimun lelaki yang baik, walaupun cuma adik ipar, dia sudah kakak anggap seperti adik sendiri.”

“ Beberapa waktu yang lalu dia meminta kakak untuk mencarikan calon istri untuknya. Karena dia tidak pernah dekat dengan seorang wanitapun. Beberapa orang teman dekat dan saudara juga sudah mengenalkan dengan beberapa dara (anak perawan), tapi tak satupun yang kena dihatinya. Waktu kakak cerita dengan mamak kakak (Mak Wa), langsung kepikiran Ama karena sebelumnya bunda dan ayah Ama ada minta sama Mak Wa untuk mencarikan jodoh untuk Ama.”

Aku jadi semakin tertarik untuk mendegarkan cerita tentang suamiku ini lebih jauh.

“Tau tidak, gimana reaksi Maimun waktu pertama ke rumah Ama?” Pertanyaannya yang tak perlu kutanggapi ini langsung dijawabnya cepat.

“Dia langsung minta pulang waktu masuk ke pekarangan rumah Ama, memandangi rumah yang begitu besar, menyiutkan nyalinya. hehe

Tapi mak wa bersikeras. “Kenal dulu dengan orangnya, masalah diterima atau tidak bukan perkara” dan ternyata setelah pertemuan itu, dia langsung jatuh hati dengan Ama.”

“Ama percaya tidak, kalau berjodoh itu semua perkara akan terasa ringan dan dimudahkan, seolah tak ada yang menghambat.” Lanjutnya lagi.

“Iya kak” Jawabku singkat.

“Latar belakang kalian memang berbeda, Ama yang dari lahir tak pernah hidup susah mungkin ga terbiasa tinggal di kampung dengan rumah begini, bukan? Ama pasti terkejut waktu datang ke sini, kan?”

“Ga ah... Biasa aja.” Jawabku bohong. Entah kenapa aku mulai merasa agak risih bicara dengan dia lama-lama. Seolah-olah dia bisa membaca hatiku.

“Baguslah kalau gitu. Kalau harta kan bisa dicari, yang penting itu kalian bahagia.”

“Walaupun masih honor, kakak yakin dia bisa membahagiakan Ama.”

Apa.....?! Kali ini aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang sedang aku dengar ini.Belum habis rasa terkejutku mendengar tentang asal muasal perjodohan kami, aku kembali harus menerima kenyataan bahwa suamiku hanya seorang pegawai honorer.

“Memang kerja dimana?”

“Eh... Maimun belum kasih tau ya?”

“Dia kerja di biro keistemawaan Aceh, bagian penyaluran bantuan untuk pembangunan Mesjid. Jadi sesekali dia sering pergi keluar daerah untuk pendistribusian bantuan. Hidupnya memang ga jauh-jauh dari rumah dan mesjid. Kamu beruntung mendapatkan suami seperti itu.”

Aku terdiam seribu bahasa. Ini jauh sekali dari yang kupikirkan. Memang kuakui selama ini aku terlalu cuek untuk menanyakan masalah suamiku termasuk pekerjaannya. Tapi mendengar ini semua dari kakak iparku ini sungguh menyesakkan dadaku. Apalagi ini semua jauh dari yang kuharapkan. Sangat jauh bahkan.

*****

Selanjutnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 7)

Sebelumnya:

Bukan Siti Nurbaya (Episode 5)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun