Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PPU-XXII/2024 telah menjadi titik balik penting dalam sistem kepemiluan Indonesia. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah harus dipisahkan dengan rentang waktu maksimal dua setengah tahun . Artinya, pemilu daerah tidak lagi diselenggarakan serentak dengan pemilu nasional seperti yang terjadi pada 2024. Dampak dari putusan ini sangat signifikan, karena mengharuskan adanya perubahan mendasar dalam kerangka hukum pemilu yang berlaku saat ini, termasuk Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada, dan Undang-Undang Partai Politik.
Dorongan untuk segera merevisi ketiga undang-undang tersebut datang dari berbagai pihak, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil seperti Perludem. Mereka menilai bahwa putusan MK ini membuka ruang untuk melakukan kodifikasi atau penyatuan aturan-aturan kepemiluan ke dalam satu undang-undang yang utuh, komprehensif, dan lebih sistematis. KPU pun telah menyatakan kesiapannya untuk menyusun materi pembahasan RUU Pemilu bersama DPR. Salah satu poin penting yang akan dibahas adalah harmonisasi definisi pemilih, agar tidak menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan dua jenis pemilu yang terpisah waktunya.
Pemerintah, melalui Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, menyambut baik putusan MK dan mendukung proses revisi undang-undang sebagai bagian dari penyempurnaan sistem demokrasi. Ia menegaskan bahwa proses revisi tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa atau hanya mengakomodasi kepentingan politik jangka pendek. Sebaliknya, semua masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, perlu diserap agar hasil revisi mencerminkan kepentingan nasional secara holistik. Bahkan, Bima Arya membuka pintu bagi usulan-usulan dari perguruan tinggi, seperti yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin yang mengusulkan adanya standar pendidikan minimum bagi calon pemimpin.
Revisi undang-undang kepemiluan ini menjadi momen strategis untuk membangun sistem demokrasi yang lebih berkualitas. Namun, proses ini juga menyimpan tantangan. Misalnya, dampak langsung dari putusan MK adalah kemungkinan diperpanjangnya masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang terpilih pada Pemilu 2024, karena pemilu selanjutnya baru akan digelar pada 2031. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait akuntabilitas dan efektivitas pemerintahan lokal dalam periode transisi yang panjang. Maka dari itu, desain revisi undang-undang harus cermat agar tidak menciptakan kekosongan hukum atau ketimpangan representasi politik di tingkat daerah.
Dalam situasi ini, mahasiswa memiliki peran strategis untuk turut mengawal proses revisi undang-undang agar lebih transparan dan partisipatif. Sebagai bagian dari masyarakat intelektual, mahasiswa dapat berkontribusi melalui kajian akademik, diskusi publik, dan penyampaian opini yang berbasis data serta argumentasi ilmiah. Mahasiswa juga dapat mendorong agar prinsip-prinsip demokrasi seperti partisipasi publik, keadilan elektoral, dan akuntabilitas penyelenggara pemilu menjadi fokus utama dalam pembahasan revisi undang-undang.
Selain itu mahasiswa juga bisa memanfaatkan media sosial dan media massa untuk mengedukasi masyarakat terkait urgensi revisi undang-undang kepemiluan. Dalam jangka panjang, keterlibatan ini akan memperkuat budaya politik yang sehat dan menciptakan generasi pemilih yang cerdas dan kritis.
Dengan demikian, revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Parpol pascaputusan MK bukan hanya soal penyesuaian teknis terhadap jadwal pemilu. Lebih dari itu, ini adalah momentum pembenahan sistem politik Indonesia secara menyeluruh. Mahasiswa sebagai agen perubahan diharapkan mampu menjadi garda depan dalam mengawal demokrasi yang berkeadaban, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI