Bagi sebagian orang, mengurangi asupan gula merupakan tantangan besar. Tidak heran jika berbagai produk makanan dan minuman kini mulai beralih menggunakan pemanis buatan. Salah satu yang sering kita jumpai adalah aspartame. Zat ini banyak dipakai dalam minuman bersoda rendah kalori, permen bebas gula, hingga beragam produk diet.
Meski popular, aspartame tidak lepas dari kontroversi. Sebagian orang menilai sebagai alternatif yang lebih sehat dibanding gula, sementara ada juga yang mencurigai efek sampingnya terhadap kesehatan. Lantas, seberapa aman pemanis buatan ini?
Apa itu Aspartame?
Aspartame atau L-aspartil-L-alanin-metilester (C14H16N2O5) ialah zat pemanis sintetis yang mulai terungkap sejak tahun 1965 oleh James Schulter (Pereiz et al. 2023). Sejak saat itu penggunaannya semakin meluas karena tingkat kemanisannya bisa mencapai ratusan kali lipat dibandingkan sukrosa. Hal ini memungkinkan produsen menggunakan jumlah yang sangat sedikit untuk menghasilkan rasa manis yang serupa dengan gula biasa. Tidak heran jika zat ini banyak dipilih untuk produk dengan klaim rendah kalori maupun bebas gula.
Secara umum, aspartame berbentuk kristal berwarna putih dalam bentuk serbuk halus, tidak bau, sedikit terdispersi dalam air, dan memberikan rasa manis murni tanpa meninggalkan aftertaste pahit. Keunggulan lainnya dari aspartame ialah tidak menyebabkan kerusakan gigi serta dapat memperkuat cita rasa makanan atau minuman. Karena sifatnya rendah kalori, pemanis ini kerap digunakan dalam berbagai produk diet, minuman, hingga makanan ringan (Anggrahini 2015).
Kontroversi dan Risiko Kesehatan
Aspartame populer karena tingkat kemanisannya sangat tinggi, yakni sekitar 100-200 kali lebih manis daripada gula pasir (Anggrahini 2015). Dengan sedikit saja, rasa manis sudah terasa tanpa menambah banyak kalori.
Meski begitu, keamanannya masih diperdebatkan. FDA (Food and Drug Administration) dan EFSA (European Food Safety Authority) menyatakan aspartame aman bila dikonsumsi sesuai batas, yaitu 40 mg/kg berat badan per hari. Artinya, seseorang dengan berat 60 kg bisa mengonsumsi hingga berkisar 2.400 mg per hari setara dengan puluhan kaleng soda diet.
Di dalam tubuh, aspartame dipecah menjadi fenilalanin, asam aspartat, dan metanol. Bagi penderita fenilketonuria (PKU), fenilalanin bisa berbahaya karena tidak dapat diolah dengan baik. Sementara itu, metanol dapat berubah menjadi formaldehida dan asam format. Formaldehida dapat menimbulkan kerusakan pada retina mata yang berdampak pada gangguan penglihatan, sedangkan asam format bisa mengganggu keseimbangan metabolisme karena menurunnya kadar basa dalam tubuh (Bella dan Juwitaningtyas 2024).
Karena alasan tersebut, WHO tetap mengingatkan pentingnya membatasi konsumsi pemanis buatan, termasuk aspartame.