Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, semua perkara perdata yang diajukan di pengadilan wajib melalui proses mediasi terlebih dahulu untuk mencari jalan damai.
PersidanganÂ
Jika mediasi tidak berhasil, perkara dilanjutkan ke persidangan untuk mendengarkan keterangan para pihak, saksi, dan pemeriksaan alat bukti.
Putusan HakimÂ
Setelah melalui proses persidangan, hakim akan mengeluarkan putusan yang bersifat mengikat (res judicata) dan memiliki kekuatan hukum tetap jika tidak diajukan upaya hukum banding atau kasasi.
Prosedur ini memastikan bahwa setiap perkara yang diajukan di pengadilan agama diselesaikan secara adil, transparan, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Perkembangan Peradilan Agama dari Masa Sebelum Kemerdekaan hingga Masa Reformasi
Perjalanan peradilan agama di Indonesia telah melalui fase yang panjang, mulai dari masa kolonial hingga era reformasi. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya pada aspek kelembagaan, tetapi juga kewenangan yang semakin luas.
Masa Sebelum Kemerdekaan
Peradilan agama telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kesultanan Demak, Banten, dan Aceh. Pada masa penjajahan Belanda, peradilan agama diakui secara terbatas melalui berbagai peraturan kolonial, seperti Staatsblad 1882 Nomor 152 yang memberikan kewenangan kepada penghulu untuk mengurus masalah perkawinan dan warisan bagi orang Islam di Jawa dan Madura. Namun, wewenang ini sering kali diintervensi oleh pemerintah kolonial yang lebih mengutamakan hukum perdata barat.
Masa Awal Kemerdekaan