Dansa 'tango' sudah lama masuk negara kita. Di hampir tiap negara di dunia, dansa tango, salah satu tarian rakyat Brazilia, sudah meng-internasional. Tapi pada minggu lalu, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI, La Nyalla M.Mattalitti justru mengingatkan Pemerintah untuk mengamati kemungkinan banjirnya impor ayam asal Brasil. 'Ayam tango!' Â Lagi pula, dalam 'bersaing' mengenai impor daging-ayam itu ke Indonesia, dalam sidang World Trade Organization (WTO), kita dikalahkan.
Masalahnya, Brasilia dikenal sebagai eksportir ayam-potong terbesar di dunia. Ekspornya tidak terbatas ke benua Amerika, tetapi Eropa dan sebagian negara Asia Tenggara. Termasuk negara kita.Â
Sebelumnya mungkin anda menyantap daging ayam direstoran atau dirumah yang dibeli di supermarket, yang ternyata daging asal impor. Ayam-tango itu. Dagingnya A rata-rata gemuk dan lunak, sehingga kebeken secara internasional.
Permasalahan yang nampaknya diminta oleh Ketua DPD-RI adalah apabila daging ayam,-- atau mungkin juga ayamnya yang masih hidup,-- membanjiri pasaran pedaging
Di supermarket dan meluber hingga ke pasar tradisional, suda dapat dipastika para peternak ayam kita akan minta perhatian Pemerintah karena harga daging ayamnya anjlok. Â Â
Kalau sampai terjadi semacam itu, berarti daging ayam-tango itu disukai konsumen dan harganya lebih murah.. Konsumen tidak akan pilih-pilih daging ayam domestik atau impor, selama daging tersebut layak dikonsumsi. Sedangkan para importir daging tersebut akan membanjirkan komoditas impornya sebanyak mungkin apabila laku terjual.
Lalu apa yang salah dengan daging-ayam made in Indonesia? Para peternak dan pedagang ayam-potong domestik harus memahami, mengapa ada dan terjualnya daging-ayam impor, terutama dari Brasilia itu. Tidaklah selalu berharap, apa tindakan Pemerintah. Kiranya, Pemerintah (terutama Kementerian yang punya kaitan dengan masalah tersebut) Â juga tahu diri, harus bertindak bagaimana. Jadi, para peternak dan pedagang domestik harus memikirkan cara berupaya untuk menjadikan daging-ayam- nya serasa asal impor itu. Yang utama lagi, bagaimana dapat mencukupi sebagian besar permintaan konsumen.
Memang kita tidak memperkirakan pemakan daging-ayam di rumah, di restoran atau di mana saja dan oleh siapa saja, begitu tinggi angkanya. Jadinya, bagi pencinta lingkungan dan satwa, adalah tidak adil kalau ada seekor musang saja masuk kendang ayam untuk menyantap hanya seekor saja ayam di dalamnya, sudah diburu-buru dan diusahakan dibunuh. Jadi kita maklumi, manusia Indonesia sudah berlaku bagaikan jutaan musang yang jauh lebih ganas, dan yang harus dipenuhi kebutuhannya berupa ayam-ayam potong untuk direbus, digogeng, dipanggang, Â digiling dan macam-macam. Â