KETIKA paket Program Legistasi Nasional (Prolegnas) DPR-RI untuk pembahasan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual (PKS) atas usulan Komisi 8 buru-buru dihapus dalam acara persidangan tahun 2020, banyak kalangan politisi, media massa dan masyarakat bertanya-tanya: apanya yang kurang dari RUU itu di mata anggota Komisi 8 yang terdiri dari beberapa fraksi parpol tersebut?
Keheranan masyarakat terhadap sikap seperti itu bisa difahami, mengingat RUU tersebut bukan hanya produk dari tahun yang baru lalu, akan tetapi sudah diajukan ke Prolegnas sejak 2016, 2017, 2018, 2019 dan tahun ini. Selalu digagalkan. Apakah ada yang 'jelek' dalam RUU itu?
Apakah kasus-kasus kejahatan yang berhubungan dengan seksual sama saja dengan kejahatan biasa dan bisa ditangani dengan KUHP maupun diserahkan saja pada sikap Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang dapat tegas  mengadili tindak pidana seksual pelakunya?
Tragisnya, di saat penghapusannya dalam Prolegnas, dimana masih banyak tindak kriminalitas seksual dalam tahun-tahun terakhir masih belum tuntas dalam segi hukum, muncullah beberapa kasus pidana seksual yang mengerikan.
Di Bandar Lampung, T.O. selaku pimpinan 'rumah-aman' Pelayanan Pusat Terpadu buat anak-anak, justru memperkosa beberapa anak-anak gadis yang seharusnya dilindungi. Kejamnya lagi, sesudah diperkosa lalu "dijual" kepada para lelaki hidung belang. Ketika akan ditangkap Polisi, TO melarikan diri hingga kini.
Di Denpasar, seorang gadis (15 tahun) yang diperkosa hingga hamil dan saat bayinya dilahirkan, gadis itu diserahkan kepada bapaknya untuk kemudian diperkosa.
Di Jakarta, DA (warganegara Perancis, usia sekitar 50 th.) ditangkap Polda Metro Jaya, karena melakukan pemerkosaan pada gadis-gadis antara 10-17 tahun (pedofolia) sebanyak 305 orang dengan diberi imbalan uang! Kemungkinan Masih diselidiki kemungkinannya sebagai oknum jaringan internasional kriminalitas tersebut. Â Â Â Â
Kisah-kisah nyata yang buat para orangtua yang mencintai anak-anaknya (terutama melindungi anak-anak perempuannya), tentu benar-benar merasa ngeri dan ketakutan. Kecuali kalau ada bapak/ibu yang tidak ambil pusing atas kejahatan-kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Apalagi para lelaki yang bersikap sebagai kaum superior dalam kehidupan manusia ini. Merasa superior karena kaum lelakilah yang berkuasa atas kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.Â
Kalau para anggota Komisi 8 DPR-RI itu dituding sebagai para lelaki superior sehingga tak sepakat ada UU PKS nantinya, sudah tentu menolaknya. Kalau dalam Komisi 8 ada para wanitanya, mereka kalah superioritasnya ataupun tak peduli. Bukankah menjadi anggota DPR sekedar bertujuan mencari rejeki dan kekuasaan?
Kalau disebut sebagai 'wakil rakyat', barangkali cuma bisa dihitung dengan jari saja! Kalaulah mereka anggap KUHP cukup menangani kejahatan seksual itu, tidak memahami bahwa aspek hukumnya yang hanya ada beberapa pasal dalam Kitab itu untuk menerapkan pidana bagi pelaku kejahatannya. Tetapi tidak ada pasal yang berurusan dengan bagaimana dengan nasib para korbannya yang membawa derita dan aib selama hidupnya? Tidak ada dalam KUHP. Sampai Menteri Sosial turun tangan untuk menangani pemulihan para korban pedofolia D.A. itu.