Yang perlu dibicarakan, adalah "mandeknya" informasi dari  management pabrik itu sejak 14 April hingga 28 April di Dinas Kesehatan Pemkot Surabaya. Begitu pula Gugus Tugas kota Surabaya tidak menerima laporan tersebut.Â
Tentu ada pertanyaan diarahkan kepada Walikota Surabaya, Tri Rismaharani, yang biasanya sangat reaktif, demonstratif dan  marah-marah. Publik tidak menerima penjelasannya mengenai kinerja Dinas Kesehatan dibawah wewenangnya itu dikarenakan dalam situasi gawat disektor kesehatan dan jiwa manusia ini.
Menurut Gubernur Jatim, yang dilakukan perusahaan itu dapat dibenarkan. Mereka tidak menutup operasionalnya ketika ada yang terinfeksi covid-19, sebab sudah lapor pada Dinas Kesehatan Surabaya. Tidak bereaksi lebih lanjut terhadap infeksi itu karena sudah lapor dan tak ada reaksi. Management tidak ingin merugi menutup pabriknya.Â
Namun, ketika gejala-gejala infeksi virus itu nampak meluas menggerayangi karyawannya, maka dilaporkanlah ke Gugus Tugas dan menutup pabriknya pada 26 April.Â
Sedangkan para karyawannya,--terbanyak karyawati/buruh harian,-- takut ketahuan terinfeksi covid-19, karena harus berhenti kerja dan tidak akan berpenghasilan. Karenanya, Â tudingan bisa saja diarahkan ke Dinkes Surabaya yang semestinya selalu siaga tanggap pandemi.Â
Baru kemudian Pemkot Surabaya tidak mau disalahkan. Katanya pihaknya tidak lamban hadapi covid-19. Tentu dicari-cari yang bisa disalahkan, yakni pembuat laporan 14 April itu. Demi bisnis, perusahaan itu tak ingin membantah lalu berpolemik. Tidak ada untungnya. Jadi jelas yang bersalah: covid-19.Â
Kelambanan dan membiarkan laporan terinfeksinya karyawan pabrik itu bagaikan "menyediakan kantong virus" didalam tubuh karyawan-karyawati tersebut. Suatu saat bisa meletus covid-19 jenis baru, sementara mungkin virus sekarang sudah mereda! Contohnya, sekarang saja dilaporkan klaster-baru covid-19 sudah menginfeksi 63 karyawan-karyawati itu.