Mohon tunggu...
Alyssa Diandra
Alyssa Diandra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Umum

Seorang dokter umum yang tertarik dengan isu di masyarakat terutama ada keterkaitan dengan ilmu kesehatan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Stres, Baik atau Buruk?

1 Mei 2024   23:55 Diperbarui: 2 Mei 2024   23:22 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini, publik dihebohkan dengan berita tentang dokter residen yang mengalami depresi dan memiliki keinginan bunuh diri. Sebagian besar merespon dengan rasa terkejut dikarenakan dokter merupakan profesi yang bertugas menjaga kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, seorang dokter diharapkan sehat secara fisik dan mental agar bisa menjalankan tugas dengan baik. 

Selain itu, anggapan bermental lemah, kurang iman, serta menyalahkan kondisi seperti tugas berat, isu perundungan juga ikut menyertai. Apapun respon yang muncul, hal ini memunculkan pertanyaan, apakah benar generasi sekarang memang bermental lemah dalam menghadapi tekanan? Mengapa tidak semua memiliki depresi dan keinginan bunuh diri yang serupa kalau tekanannya sama?

Tekanan hidup dapat memicu stres. Meskipun stres seringkali bermakna buruk, kita tetap membutuhkan stres dalam kadar tertentu untuk berkembang dan lebih mengenal diri kita. Ada 2 jenis stres yang dikenal yakni 

  • Stres yang positif (eustress) disebut sebagai stres yang memiliki dampak positif seperti meningkatkan motivasi, kemampuan menyelesaikan masalah, kepuasan serta stres yang dianggap dapat diatasi dengan baik. Contoh secara umum seperti kehamilan, kelahiran anak, promosi jabatan.
  • Stres negatif (distress), seperti yang diketahui merupakan stres yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan mental sehingga mengganggu kehidupan seperti kehilangan orang terkasih, kehilangan pekerjaan, mengidap penyakit berat, dan sebagainya.

Namun, contoh-contoh yang dikemukakan pada jenis stres tersebut tidak dapat diberlakukan sama pada semua orang. Beberapa orang mungkin menganggap bahwa kehamilan merupakan tekanan atau stressor baru . Mengapa respon setiap orang terhadap stres yang sama dapat berbeda?

Respon seseorang terhadap stres dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, dan sosial. Faktor biologis seperti kondisi medis yang dialami dan genetik, sedangkan faktor psikologis sendiri meliputi kepribadian, temperamen, mekanisme koping. Faktor sosial atau lingkungan baik dari trauma masa kecil, pola asuh, budaya, agama, pendidikan dan lain sebagainya dapat tentunya turut mempengaruhi tidak hanya dalam menghadapi stressor namun dapat mempengaruhi faktor biologis dan psikologis individu.

Jika seseorang sejak kecil mengalami banyak peristiwa kurang menyenangkan atau sejak kecil mendapatkan pola asuh yang kurang baik, individu ini akan lebih rentan mengalami distress di kemudian hari jika ada peristiwa pencetus. Selain itu, adanya peristiwa  yang bersifat katastrofik seperti menyaksikan keluarga meninggal saat bencana, atau menghadapi beberapa stressor dalam waktu berdekatan ataupun bersamaan juga dapat memicu kondisi distress yang akhirnya meningkatkan risiko terjadi gangguan kesehatan jiwa terutama cemas dan depresi. Dapat dikatakan bahwa distress dapat terjadi jika seseorang sudah tidak mampu bertahan dalam menghadapi stressor yang datang pada hidupnya.

Lalu bagaimana cara menghadapi stres? Resiliensi atau ketahanan dalam menghadapi stres, mirip dengan daya tahan tubuh dalam menghadapi penyakit fisik. Resiliensi dapat ditingkatkan dengan berbagai cara seperti

  • Mengenali tanda stres masing-masing individu dan mengakui bahwa sedang mengalami kondisi stres atau tidak baik-baik saja. Beberapa tanda seseorang mengalami stres seperti sulit tidur, tidak bersemangat, cenderung tidak sabar, malas bersosialisasi, atau adanya keluhan fisik seperti sakit kepala, mual, atau diare.
  • Beristirahat sejenak dengan mengambil sedikit jarak dan waktu untuk memulihkan diri
  • Menjaga pola hidup sehat. Selain makan makanan dengan gizi seimbang, olahraga atau aktivitas fisik direkomendasikan untuk meningkatkan resiliensi karena dapat meningkatkan hormon endorfin yang berperan dalam perasaan senang. Selain itu, olahraga juga dapat menjadi mekanisme koping untuk menyalurkan emosi dan perasaan yang  dirasakan.
  • Bercerita terhadap orang terdekat yang dapat dipercaya. Dukungan sosial sangat penting dalam menghadapi stres. Adanya teman untuk meluapkan perasaan, sekalipun hanya didengarkan saja, seringkali amat membantu untuk berpikir lebih jernih dalam menghadapi masalah. Jika terpilih menjadi pendengar, mendengar dengan empati saja seringkali sudah amat berarti bagi pihak yang membutuhkan
  • Menghubungi tenaga professional seperti psikiater atau psikolog jika upaya mengatasi stres gagal, stres telah mengganggu aspek kehidupan, atau adanya pikiran menyakiti diri atau mengakhiri hidup.

Pada akhirnya, kabar ini tidak dapat terus menerus disikapi dengan negatif. Justru dapat menjadi peringatan dini mengenai betapa pentingnya kesehatan mental serta masalah kesehatan mental dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang profesi, pendidikan, ekonomi maupun sosial. Semoga ini menjadi awal bagi kita semua untuk lebih peduli dan peka akan masalah kesehatan mental sehingga dapat terwujud system yang lebih ramah akan kesehatan mental terlepas dari apapun latar belakang seseorang.

Referensi :

Shafer, H. Eustress Vs. Distress: Positive & Negative Types of Stress. 2023. Available from: https://www.choosingtherapy.com/eustress-vs-distress/

WebMD. How to Manage Stres. 2023. Available from:  https://www.webmd.com/balance/all-stressed-out

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun