Selalu menarik memang kalau membicarakan soal LGBT. Terlepas dari bagaimana agama memandangnya sebagai suatu dogma, saya lebih tertarik untuk menyelami lebih dalam pola pikir orang-orang yang memiliki kecenderungan suka dengan sesama jenis tersebut.Â
Hal itu memungkinkan agar saya open mind dengan sesuatu yang belum saya pahami. Dan itu menghindarkan saya dari golongan orang-orang yang suka nge-judge sembarangan. Lebih-lebih merasa jadi manusia paling suci di muka bumi, yang seolah memiliki otoritas memegang kunci surga dan neraka.
Bagi tidak sedikit orang, LGBT adalah fenomena yang bertentangan dengan agama. Dalam kajian-kajian keagamaan pun, LGBT sering kali dinarasikan sebagai sebuah bencana akhir zaman.Â
Dalam dogma agama yang saya anut bahkan disebut, bahwa manakala ada satu kaum yang secara terang-terangan melegalkan perkawinan sesama jenis, maka kaum tersebut tinggal menunggu turunnya azab dari Tuhan.
Dalil yang umumnya digunakan untuk melegitimasi kebenaran tersebut sebut saja kisah kaum Sodom (bahasa kitab: Shadum) yang dibinasakan karena kasus kecenderungan seksual yang menyimpang. Pemahaman skriptualis itulah yang selanjutnya membuat seseorang dengan sangat ringan hati mendiskriminasi ketimbang mencoba mencari tahu latar belakang si penyintas. Sebab bagi saya, hampir tidak ada satu perkara pun yang tidak ada sebabnya.
Di sinilah perlunya kita melihat suatu perkara tidak cuma dari satu mata saja, yang dalam hal ini adalah agama. Tapi lebih bagaimana kita  mampu melihat hal tersebut sebagai problem kolektif yang bisa kita cari solusinya bersama-sama.
Dari dulu saya memang tidak pernah tertarik jika mendiskusikan LGBT menggunakan dalil ini-itu. Bukan, bukan karena saya tidak percaya kitab suci. Saya sangat mengimani kisah binasanya kaum Sodom.Â
Namun pada titik tertentu, saya sering membayangkan diri saya sebagai penyintas. Seandainya saya dalam posisi tersebut, betapa sulitnya saya hidup di tengah-tengah masyarakat yang stigmatis.Â
Pasti saya akan sangat tertekan manakala dirundung dengan tuduhan, "jadi sebab turunnya azab". Bayangkan saja, setiap ada bencana, saya dan kawan-kawan LGBT lainnya selalu dikambing hitamkan.
Pernah nonton film Negeri van Oranje (2015)? Keseluruhan film ini pada dasarnya didominasi oleh kisah persahabatan, petualangan, dan tentu drama percintaan. Tapi saya menyimpulkan bahwa inti film ini sebenarnya terletak pada scene saat Lintang (diperankan Tatjana Saphira) mengetahui kalau Geri (diperankan Chicco Jericho), cowok yang dikaguminya, ternyata adalah seorang gay.
Lintang pada mulanya sangat terpukul saat mengetahui fakta tersebut. Namun hatinya kemudian tersentuh dan berbalik memeluk Geri saat Geri bercerita, kalau menjadi gay itu tidak ada yang pernah minta.Â