Mohon tunggu...
ALYA ROSIANAWATI
ALYA ROSIANAWATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Sedang mencari jati diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Parliamentary Threshold dalam Konteks Pseudo Democracy

27 April 2023   13:27 Diperbarui: 27 April 2023   13:27 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dengan demikian, ini berimplikasi terhadap hilangnya kesempatan publik untuk diwakili kepentingannya di dalam kontestasi elektoral yang menjadi karakteristik khas dari penyelenggaraan demokrasi. Secara lebih lanjut dalam tulisan ini, akan dibahas perihal kritik terhadap praktik kebijakan Parliamentary Threshold dengan cakupan Indonesia sebagai negara yang mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi dan menjunjung tinggi perlindungan Hak Asasi Manusia.

Reality of Electoral and Parliamentary Threshold Norms

(Marijan, 2011; Prihatmoko, 2005; Yuda, 2010) menyampaikan bahwa Parliamentary Threshold dipahami sebagai syarat minimal suara yang harus dicapai oleh suatu partai politik agar dapat menempatkan anggotanya untuk memegang kekuasaan di parlemen (A. F. Adam; W. L. Betaubun;  N. Jalal, 2021). Bagi Indonesia sendiri, kebijakan ini ditujukan guna memperkuat sistem presidensial sebagaimana diharapkan pemerintahan akan berjalan dengan efektif melalui penyederhanaan jumlah partai politik yang turut berkontestasi dalam pemilu. 

Tentunya kebijakan ini akan menjadi bentuk antitesis tersendiri bagi Indonesia sebagai negara yang menganut sistem multipartai, dimana dinamika perkembangan partai politik seharusnya mampu diterima sebagai suatu keniscayaan, termasuk tumbuh kembangnya partai politik tersendiri dalam menyesuaikan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. 

Keputusan untuk menerapkan kebijakan ini akan memperoleh banyak kontradiksi karena memungkinkan adanya indikasi-indikasi yang mengarah kepada ruang permainan antar partai politik di parlemen atau game theory guna mencapai power, authority, dan legitimation sebagai orientasi puncak dari proses bermain para aktor politik.

 Yudi Hertanto (2019) menyampaikan bahwa dalam hal ini manusia diasumsikan sebagai Homo Ludens dimana pada hakikatnya manusia menyukai permainan dan bermain. Pada gilirannya, Parliamentary Threshold hanya akan dipandang sebagai sebuah kepentingan hegemonik partai politik di parlemen yang secara ofensif bertarung dalam proses tarik-menarik kekuasaan melalui penentuan angka Parliamentary Threshold di parlemen.


Beralih dalam realitas, secara normatif rasionalisasi untuk mengimplementasikan kebijakan Parliamentary Threshold memang semacam hajat moral yang sangat besar dan perlu dukungan terhadap segenap elemen demi mewujudkan stabilitas dan kekuatan sistem presidensial melalui cara-cara taktis, seperti penyederhanaan jumlah partai politik. Namun, apabila kita telisik histori jam terbang kebijakan Parliamentary Threshold sejak tahun 2009 melalui UU No.10 tahun 2008 Pasal 202 hingga terakhir diimplementasikan pada pemilu tahun 2019, esensi 'penyederhanaan partai politik' sebagai peserta pemilu justru tidak sampai terwujud. 

Hal ini dapat dilihat dari fakta menarik dari penyelenggaraan pemilu tahun 2009, dimana pada masanya telah diberlakukan kebijakan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5 persen. Apabila dikalkulasikan, pada pemilu tahun 2004, secara keseluruhan terdapat 44 partai politik dimana 6 diantaranya merupakan partai lokal aceh. Sedangkan, pada pemilu tahun 2009, dalam konteks Parliamentary Threshold telah diberlakukan, mampu menghasilkan partai-partai baru yang berhasil lolos dalam parlemen, yaitu Partai Hanura dan Partai Gerindra. 

Perihal ini kemudian menjadi konsen bagi parlemen untuk mulai menggarap kembali kebijakan Parliamentary Threshold yang digadang-gadang sebagai perwujudan penguatan sistem presidensial. Pada pemilu tahun 2014, ambang batas perolehan suara ditingkatkan sebesar 3,5 persen dengan syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan di dalam kepengurusan partai politik baik di tingkat pusat maupun daerah. 

Asumsinya, tingkat keketatan ambang batas ini dinilai mampu menjadi menyederhanakan jumlah partai politik di parlemen, tetapi realita justru berbicara lain. Terdapat 10 partai politik lebih banyak yang lolos dalam Parliamentary Threshold dibandingkan pada pemilu tahun 2009 dengan tingkat ambang batas yang berbeda.

Apabila implementasi Parliamentary Threshold pada pemilu tahun 2009 dan 2014 semacam tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah partai politik yang turut dalam kontestasi elektoral dan lolos administrasi serta faktual KPU, Pemilu 2019 mungkin menjadi angin segar dari praktik Parliamentary Threshold, dengan besaran ambang batas perolehan suara sebesar 4 persen, terdapat 9 partai politik yang mampu menembus kursi parlemen, berkurang 1 partai politik pada pemilu 2014 yang semula adalah 10 partai politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun