Mohon tunggu...
Alya Putri Mukhbita Sari
Alya Putri Mukhbita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa

43225110001- S1 Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus 5 Tokoh Pentingnya Berpikir Positif Tentang Kehidupan

12 Oktober 2025   16:54 Diperbarui: 12 Oktober 2025   23:44 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Berpikir positif bukan merupakan konsep baru yang lahir di era modern. Sebaliknya, pemikiran tentang pentingnya perspektif mental yang sehat terhadap kehidupan telah berakar dalam filsafat sejak ribuan tahun yang lalu. Dari zaman Stoikisme kuno hingga psikologi kontemporer, para pemikir terbesar dunia telah mengembangkan teori mendalam tentang bagaimana cara kita berpikir secara fundamental mempengaruhi kualitas hidup kita.  Artikel ini mengeksplorasi pemikiran lima tokoh penting yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan konsep berpikir positif. Masing-masing tokoh membawa perspektif unik, dari penerimaan tenang terhadap takdir hingga penciptaan realitas melalui keyakinan. Dengan memahami evolusi pemikiran ini, kita dapat lebih baik menerapkan prinsip-prinsip positif dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

1. Marcus Aurelius (121-180 M) Filsuf Stoik Romawi: Ketenangan Batin Melalui Pengendalian Pikiran

Marcus Aurelius adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Stoikisme. Sebagai seorang kaisar Romawi, ia memiliki kekuasaan absolut atas dunia eksternal, namun paradoksnya ia justru menghabiskan hidupnya merenungkan tentang keterbatasan kekuasaan manusia. Meditations, kumpulan catatannya yang dituliskan selama kampanye militer, menjadi salah satu karya filosofis paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Barat.

Inti dari ajaran Marcus Aurelius adalah sederhana namun mendalam: kita tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal, tetapi kita selalu bisa mengendalikan cara berpikir dan reaksi kita terhadapnya. Pikiran yang baik dan rasional adalah kunci menuju ketenangan batin, yang dalam Stoikisme disebut sebagai eudaimonia atau kebahagiaan sejati. Marcus Aurelius percaya bahwa penderitaan manusia sering kali tidak muncul karena peristiwa itu sendiri, melainkan karena penilaian kita terhadap peristiwa tersebut. "You have power over your mind -- not outside events. Realize this, and you will find strength." Kutipan ini menyuratkan esensi dari filsafat Marcus Aurelius. Kekuatan sejati terletak bukan dalam menguasai dunia luar, tetapi dalam menguasai dunia dalam pikiran dan emosi kita sendiri.

Relevansi Berpikir Positif

Berpikir positif menurut Marcus Aurelius bukan berarti mengabaikan kenyataan atau hidup dalam dunia fantasi. Sebaliknya, berpikir positif berarti menerima kenyataan dengan tenang dan memilih untuk melihat sisi rasional serta konstruktif dari setiap keadaan. Ini adalah pendekatan pragmatis yang menggabungkan realismedengan optimisme yang matang. Aurelius menekankan bahwa kita tidak dapat mengontrol peristiwa eksternal, tetapi kita selalu dapat mengontrol respons dan reaksi kita terhadapnya. Dengan mengubah perspektif, kita bisa melihat tantangan sebagai kesempatan untuk tumbuh, bukan sebagai musibah. Dalam karyanya, Meditations, Aurelius menulis bahwa "kebahagiaan hidup Anda bergantung pada kualitas pikiran Anda". Pandangan ini sejalan dengan psikologi modern yang mengakui kekuatan pola pikir dalam membentuk realitas kita. 

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Metode Conversio: Transformasi Batin

Dalam konteks filsafat Stoikisme, Conversio dapat dimaknai sebagai proses perubahan atau pembalikan arah batin manusia---dari reaksi negatif terhadap dunia luar menuju penerimaan dan ketenangan dalam diri. Conversio bukanlah kepasrahan yang bersifat apatis, melainkan transformasi batin yang memungkinkan seseorang untuk melihat realitas secara rasional, menerima yang tak bisa diubah, dan menjaga ketenangan di tengah kekacauan.

Marcus Aurelius menulis dalam Meditations "If you are distressed by anything external, the pain is not due to the thing itself, but to your estimate of it; and this you have the power to revoke at any moment." Pergeseran kesadaran ini dari luar ke dalam adalah jantung dari Conversio. Dengan berpikir positif dan menerima hal-hal yang tak bisa diubah, seseorang menemukan ketenangan batin (inner peace) yang sejati.

Contoh Kasus dalam Kehidupan Sehari-hari, Saat berkendara di jalan raya, seseorang tiba-tiba menyalip dan memaki tanpa alasan jelas. Reaksi awal tanpa Conversio; Kita mungkin merasa marah, tersinggung, atau ingin membalas. Sedangkan, reaksi dengan Conversio; Kita menyadari bahwa kita tidak dapat mengendalikan perilaku orang lain, tetapi bisa mengendalikan cara berpikir dan reaksi kita sendiri.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Metode Askesis: Latihan dan Disiplin

Askesis adalah metode latihan rohani dan mental yang digunakan oleh para filsuf Stoik untuk mencapai kebijaksanaan dan ketenangan batin. Tujuannya adalah melatih pikiran agar tetap tenang, rasional, dan bijak dalam menghadapi segala situasi hidup. Marcus Aurelius menggunakan askesis dalam kehidupan sehari-harinya sebagai seorang kaisar yang menghadapi tekanan, perang, dan tanggung jawab besar, namun tetap menjaga ketenangan batin. Marcus Aurelius berkata: "The mind must stand straight, not be held straight by others." Dalam latihan Stoik, ada prinsip penting untuk membedakan antara dua hal utama:

1) Fortuna (Hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan). Segala sesuatu yang datang dari luar diri kita: cuaca, penyakit, kematian, opini orang lain, posisi sosial, atau keberuntungan. Fortuna bersifat tidak pasti dan tidak dapat dikendalikan. Stoik mengajarkan untuk menerima hal-hal ini dengan tenang (acceptance), karena menentangnya hanya menimbulkan penderitaan.

2) Virtue (Hal-hal yang dapat kita kendalikan). Segala sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri: pikiran, sikap, pilihan moral, reaksi, dan tindakan. Metode Askesis melatih kita untuk memisahkan antara Fortuna dan Virtue, agar kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan (Virtue), dan menerima dengan lapang dada hal-hal yang tidak bisa kita ubah (Fortuna).

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Contoh Kasus Askesis dalam Kehidupan; Seorang pegawai sudah bekerja keras, namun tidak dipromosikan karena keputusan pimpinan berpihak pada orang lain.

1) Fortuna: Keputusan pimpinan, opini orang lain, dan hasil akhir promosi adalah hal di luar kendali kita.

2) Virtue: Sikap profesional, kerja keras, kejujuran, dan ketekunan adalah hal yang sepenuhnya dalam kendali kita.

Membedakan Sensasi dan Emosi

Salah satu kontribusi penting Marcus Aurelius adalah kemampuannya dalam membedakan antara sensasi dan emosi, yang merupakan fondasi penting dari berpikir positif.

Sensasi (Aisthesis), reaksi tubuh alami terhadap rangsangan luar seperti panas, dingin, sakit, lapar, takut, atau kaget. Bersifat netral dan spontan; muncul secara otomatis tanpa penilaian moral. Tidak bisa dihindari karena merupakan bagian dari sistem biologis manusia. Contoh, saat mendengar suara keras tiba-tiba, tubuh bereaksi dengan kaget itu adalah sensasi.

Emosi (Pathos), reaksi psikologis yang muncul setelah kita menilai sensasi tersebut secara mental. Dengan kata lain, emosi adalah penilaian (judgment) yang diberikan oleh pikiran terhadap sensasi. Bersifat tergantung pada cara berpikir kita, bukan semata-mata pada peristiwa atau sensasi itu sendiri. Marcus Aurelius dalam Meditations: "If you are troubled by anything external, it is not the thing itself that disturbs you, but your judgment about it." Dengan demikian, sensasi hanya pemicu awal, sedangkan emosi muncul karena cara kita menafsirkan sensasi tersebut.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Contoh Kasus dalam Kehidupan Sehari-hari; Seseorang di jalan menyalip kendaraan kita secara kasar

1) Sensasi: Jantung berdebar, adrenalin meningkat (reaksi tubuh alami).

2) Emosi tanpa latihan: Marah dan ingin membalas (penilaian tindakan orang itu menghina kita).

3) Latihan Stoik: Sadari bahwa sensasi adalah alami dan akan berlalu, sedangkan emosi muncul karena penilaian kita. Ubah penilaian: "Mungkin dia sedang terburu-buru." Emosi mereda, pikiran kembali tenang.

2. Epictetus (50-135 M) Filsuf Stoik Yunani: Kebebasan Batin dari Penguasaan Emosi

Epictetus memiliki kisah hidup yang luar biasa. Lahir sebagai budak di Hierapolis, Frigia, ia mengalami penderitaan fisik dan ketidakadilan sosial yang ekstrem. Namun melalui filsafattnya, ia berhasil menemukan kebebasan batin yang sejati. Ia tidak meninggalkan tulisan sendiri; ajarannya dihimpun oleh muridnya, Arrian, dalam dua buku penting: The Discourses dan The Enchiridion (Buku Pegangan). 

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Pemikiran Utama: Dikotomi Kendali

Epictetus mengajarkan bahwa penderitaan dan kebahagiaan manusia tidak bergantung pada keadaan luar, tetapi pada cara kita memandang dan menilai keadaan tersebut. Menurutnya, segala sesuatu terbagi menjadi dua jenis, hal yang berada dalam kendali kita (things within our control); Pikiran, penilaian, dan tindakan kita sendiri; Keinginan, kehendak, pilihan moral; dan cara kita merespons situasi, hal yang tidak berada dalam kendali kita (things outside our control); Tubuh, kesehatan, reputasi, dan kekayaan; Cuaca, opini orang lain, dan keputusan orang lain.

Kebahagiaan sejati tercapai bila kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan menerima dengan tenang hal-hal yang tidak bisa kita ubah. "It's not what happens to you, but how you react to it that matters." Kutipan ini menggambarkan inti Stoikisme, kendali diri dan kebebasan batin. Peristiwa eksternal tidak memiliki kekuatan untuk membuat kita menderita kecuali jika kita sendiri mengizinkannya melalui penilaian negatif. Kutipan lainnya yang sama pentingnya, "No man is free who is not master of himself." Kebebasan sejati bukanlah kemampuan untuk melakukan apa pun yang kita inginkan, melainkan kemampuan untuk menguasai diri sendiri dan tidak dikuasai oleh emosi atau keadaan eksternal.

Relevansi Ajaran Epictetus dalam Kehidupan Modern

Ajaran Epictetus sangat relevan dengan kehidupan modern yang penuh tekanan, kompetisi, dan ketidakpastian. Ia mengajarkan:

  • Untuk berpikir positif dengan fokus pada apa yang bisa dikontrol
  • Tidak bereaksi berlebihan terhadap masalah yang datang
  • Menjaga kebebasan batin di tengah situasi apa pun

Dalam era digital saat ini di mana kita dibombardir dengan berita buruk, kritik online, dan ketidakpastian ekonomi, prinsip Epictetus menjadi semakin penting. Kita tidak bisa mengontrol apa yang terjadi di dunia, tetapi kita bisa mengontrol cara kita meresponsnya.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Contoh Kasus Penerapan; Seorang karyawan tidak diterima dalam promosi jabatan yang diharapkan.

  • Reaksi umum (tanpa Stoikisme): Merasa kecewa, iri, menyalahkan atasan, atau kehilangan semangat kerja. Orang ini memposisikan kebahagiaan dan harga dirinya bergantung pada keputusan orang lain.
  • Reaksi Stoik (menurut Epictetus): Berpikir positif dan rasional: "Saya tidak bisa mengendalikan keputusan atasan, tetapi saya bisa mengendalikan cara saya bekerja dan memperbaiki diri." Dengan pandangan seperti ini, seseorang tidak dikuasai oleh emosi negatif, melainkan menemukan ketenangan dan motivasi baru untuk berkembang. Ia fokus pada apa yang bisa dikontrolnya: performa kerja, keterampilan, dan sikap profesional.

3. Friedrich Nietzsche (1844-1900) Filsuf Jerman: Afirmasi Kehidupan Melalui "Ja Sagen" dan "Amor Fati"

"The Will to Power" (Der Wille zur Macht) adalah konsep inti dalam filsafat Nietzsche. Maknanya bukan sekadar keinginan untuk berkuasa secara politik atau fisik, melainkan dorongan dasar kehidupan untuk berkembang, mencipta, dan menegaskan eksistensi diri. Menurut Nietzsche, semua makhluk hidup memiliki daya hidup (power) yang mendorong mereka untuk mengatasi kelemahan, melampaui batas diri, menciptakan makna sendiri di dunia yang tidak memiliki makna mutlak. Dengan demikian, The Will to Power adalah energi positif kehidupan, sumber dari kreativitas, keberanian, dan kebebasan manusia. Ini adalah kekuatan yang menggerakkan makhluk hidup untuk terus berkembang dan melampaui diri mereka sendiri.

"Ja Sagen" Menyatakan "Ya" pada Kehidupan

Dari The Will to Power lahirlah sikap yang disebut Nietzsche sebagai "Ja Sagen" (bahasa Jerman, berarti "to say yes" atau "menyatakan ya"). Sikap ini berarti menerima kehidupan sepenuhnya termasuk penderitaan, kegagalan, dan kekacauan---tanpa menolaknya atau membaginya secara dikotomis antara baik dan buruk. Nietzsche menolak cara berpikir yang membagi dunia secara hitam putih (dikotomi moral seperti "baik-jahat", "suci-dosa", "surga-neraka"). Sebaliknya, ia mengajak manusia untuk mengafirmasi kehidupan sebagaimana adanya (Bejahung des Lebens) menerima realitas secara utuh tanpa menghakimi. "Ja Sagen" adalah keberanian untuk berkata "ya" pada seluruh kehidupan, bukan hanya pada bagian yang menyenangkan. Ini adalah afirmasi total terhadap eksistensi, termasuk ketidakpuasan, kesedihan, dan tantangan.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

"Amor Fati" Mencintai Takdir

Konsep "Amor Fati" (mencintai takdir) adalah bentuk tertinggi dari "Ja Sagen". Nietzsche tidak hanya mengajak kita untuk menerima nasib, tetapi mencintai setiap bagian dari kehidupan bahkan penderitaan dan kesedihan sebagai sesuatu yang indah dan bermakna. Nietzsche menulis: "Amor Fati: may this be my love! ... Not merely to bear what is necessary, still less to conceal it but to love it." (Amor Fati: semoga inilah cintaku! ... Bukan hanya menanggung apa yang perlu, apalagi menyembunyikannya, tetapi setia untuk mencintainya.) Jadi, "Ja Sagen" adalah sikap aktif yang menegaskan hidup; sedangkan "Amor Fati" adalah bentuk cinta terdalam terhadap kehidupan yang dijalani. Ini adalah berpikir positif pada tingkat tertinggi bukan hanya menghadapi kehidupan dengan keberanian, tetapi dengan kasih sayang dan apresiasi.

Hubungan dengan Demokritos dan Atomisme

Nietzsche juga menunjuk pada Demokritos, filsuf Yunani kuno, yang berpendapat bahwa segala sesuatu tersusun atas atom (a-tomos: "tidak terbagi"). Bagi Nietzsche, seperti atom yang tidak bisa dipecah, kehidupan juga harus diterima sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak dibelah menjadi "bagian baik" dan "bagian buruk". Dengan demikian, Nietzsche menolak pembagian moral tradisional dan menegaskan bahwa kehidupan---dengan semua suka dan dukanya---harus diterima sebagai satu realitas tunggal yang tidak terpisahkan.

Contoh Penerapan "Ja Sagen" dan "Amor Fati"; Seseorang kehilangan pekerjaan secara mendadak.

  • Sikap biasa: Merasa hancur, marah pada keadaan, atau menyalahkan nasib. Orang ini melihat kehidupan secara dikotomis---kehilangan pekerjaan adalah "hal buruk" yang seharusnya tidak terjadi.
  • Sikap "Ja Sagen" dan "Amor Fati": Ia berkata dalam hati, "Ini bagian dari perjalanan hidupku. Aku akan mencintai pengalaman ini sebagaimana aku mencintai keberhasilanku. Dari sini aku akan belajar dan bangkit." Dengan begitu, ia menegaskan hidup (affirmation of life), tidak menyerah pada penderitaan, dan tetap kreatif menghadapi kenyataan.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

4. William James (1842-1910) Filsof dan Psikolog Amerika: Kekuatan Keyakinan dalam Menciptakan Realitas

Perbedaan Revolusioner dari Pemikir Sebelumnya

Jika Stoik mengajarkan penerimaan dan Nietzsche mengajarkan pencintaan terhadap takdir, William James membawa perspektif yang sama sekali berbeda. William James tidak hanya mengajak kita untuk menerima atau mencintai dunia yang sudah ada---ia mengajak kita untuk menciptakan dunia melalui kekuatan keyakinan. Teori James bukan versi lembut dari Stoikisme atau Amor Fati. Ia adalah ledakan epistemologis: gagasan bahwa iman bisa lebih awal dari bukti, dan keyakinan bisa menciptakan fakta. Jika Stoik dan Nietzsche mengajarkan kebijaksanaan menghadapi dunia, William James mengajarkan keberanian menciptakan dunia.

Inti Pemikiran: "The Will to Believe"

William James memperkenalkan konsep radikal yang diberinya judul "The Will to Believe". Di tengah dunia yang menuntut bukti untuk setiap keyakinan, William James datang membawa pemberontakan yang halus tapi mengguncang:

"Percayalah bahwa hidup ini layak dijalani, dan keyakinanmu akan membantu mewujudkan kenyataan itu."

Kalimat ini sederhana, tapi di baliknya tersembunyi ledakan pemikiran. Bagi James, pikiran bukan sekadar cermin yang memantulkan dunia, melainkan kuas yang melukisnya. Keyakinan adalah tindakan kreatif; ia bukan hasil dari kebenaran, tetapi sumber dari kebenaran itu sendiri.

Inilah inti pemikirannya dalam The Will to Believe: manusia tak harus menunggu kepastian untuk bertindak. Justru dalam keberanian bertindak tanpa kepastian, dunia mulai berubah. Kita tidak hidup dengan menunggu bukti---kita hidup dengan menciptakan bukti.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Transformasi Realitas Melalui Keyakinan

Berbeda dari Stoikisme yang menuntun manusia untuk tenang menghadapi badai, atau Nietzsche yang mendorong kita mencintai badai itu, James justru berkata: "Bangun badaimu sendiri." Baginya, hidup bukan tentang bertahan di tengah kenyataan, tetapi menulis ulang kenyataan melalui keyakinan yang tulus. Keyakinan memiliki kekuatan kausal yang nyata---ia memengaruhi perilaku, keputusan, emosi, dan bahkan proses biologis seseorang. 

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Contoh Nyata; Realitas yang Diciptakan oleh Keyakinan. Bayangkan dua orang pasien dengan penyakit yang sama.

Yang pertama berkata, "Saya tidak akan sembuh." Yang kedua berkata, "Saya bisa sembuh."

Secara medis, kondisi mereka sama tetapi hasil akhirnya bisa berbeda. Dalam kerangka James, keyakinan bukan ilusi psikologis, tetapi daya kausal, ia memengaruhi perilaku, keputusan, dan bahkan proses biologis seseorang. Dengan kata lain, kepercayaan bukan akibat dari kesembuhan---kepercayaan adalah bagian dari proses kesembuhan. Pasien pertama mungkin akan menyerah pada penyakitnya, tidak mengikuti pengobatan dengan konsisten, dan tidak menjaga harapan. Pasien kedua akan lebih termotivasi untuk mencari perawatan terbaik, mematuhi protokol medis, dan mempertahankan semangat yang akan membantu proses penyembuhan fisik.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Keajaiban dari Dalam

William James mengajarkan bahwa keajaiban bukan sesuatu yang menimpa kita dari luar, tetapi sesuatu yang kita bangun dari dalam. Hidup, katanya, selalu menunggu keputusan paling berani dari manusia untuk percaya bahkan sebelum semua bukti ada. Kutipan terkenalnya: "Believe that life is worth living, and your belief will help create the fact." Ini bukan tentang penyangkalan realitas. James adalah seorang pragmatis sejati. Ia menyadari bahwa dunia itu keras dan tidak selalu adil. Namun ia juga percaya bahwa dalam ketidakpastian itu, keyakinan kita memiliki kekuatan untuk menggerakkan dunia.

5. Albert Ellis (1913-2007) Filsof dan Psikolog Modern: Rasionalitas sebagai Fondasi Kesejahteraan Emosional

Albert Ellis merupakan tokoh penting yang menghubungkan filsafat Stoik kuno dengan psikologi modern. Dengan menggabungkan wawasan dari Marcus Aurelius dan Epictetus dengan metodologi ilmiah, Ellis menciptakan teori yang praktis dan dapat diuji secara empiris tentang bagaimana berpikir positif mempengaruhi kesejahteraan emosional. Ellis adalah pendiri dari REBT (Rational Emotive Behavior Therapy), yang kemudian menginspirasi pengembangan CBT (Cognitive Behavioral Therapy), salah satu bentuk psikoterapi paling efektif dan banyak digunakan di dunia modern.

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Sumber: Modul Prof Apollo
Sumber: Modul Prof Apollo

Rasionalitas sebagai Kekuatan Positif

Ellis percaya bahwa banyak penderitaan emosional manusia berasal dari pikiran irasional: keyakinan yang tidak realistis, berlebihan, atau pola berpikir "harus"-isme. Contohnya:

  • "Saya harus selalu disukai oleh semua orang!"
  • "Hidup harus adil dan sempurna!"
  • "Jika saya gagal satu kali, berarti saya gagal selamanya!"

Pola pikiran seperti ini tidak hanya tidak realistis, tetapi juga menciptakan penderitaan emosional yang tidak perlu. Ketika realitas tidak sesuai dengan ekspektasi irasional ini, seseorang mengalami frustrasi, kecemasan, depresi, atau kemarahan yang berlebihan.

Ellis mengajarkan bahwa berpikir rasional dan positif bukan berarti menipu diri atau hidup dalam dunia fantasi, melainkan mengoreksi cara berpikir yang salah agar lebih sesuai dengan kenyataan. Dengan mengubah pikiran yang keliru, seseorang bisa mengubah perasaannya---dari cemas menjadi tenang, dari marah menjadi bijak. Itulah inti positive thinking therapy yang kemudian menjadi dasar bagi banyak bentuk terapi modern seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy), yang telah terbukti efektif dalam menangani depresi, kecemasan, dan berbagai gangguan emosional lainnya.

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Relevansi Filosofis dan Praktis

Pemikiran Ellis menggeser fokus dari dunia luar ke dunia dalam. Jika para Stoik menekankan kendali diri dan Nietzsche menekankan afirmasi kehidupan, Ellis menegaskan kekuatan logika dan kesadaran rasional dalam membentuk emosi. Ellis memperlihatkan bahwa berpikir positif bukanlah ilusi atau self-delusion, melainkan tanggung jawab intelektual untuk memilih cara berpikir yang sehat dan rasional. Ia menunjukkan bahwa dengan menerapkan logika dan rasionalitas, kita dapat secara aktif mengubah cara kita merasa tentang dunia. Dengan belajar mengenali pola pikir irasional kita sendiri, kita dapat mengambil kendali kembali atas emosi dan kesejahteraan mental kita. Albert Ellis mengajarkan bahwa pikiran adalah arsitek emosi. Kita bukan korban peristiwa, melainkan penafsir aktif dari peristiwa itu. Dengan belajar berpikir rasional, kita bisa mengubah cara merasa, dan dengan mengubah cara merasa, kita mengubah hidup. Kalimatnya yang paling terkenal menyuratkan esensi dari pendapatannya: "You largely construct your own reality. It is your thoughts that cause your feelings."

Modul Prof Apollo
Modul Prof Apollo

Daftar Pustaka

Hardy, B. (2018). "Stoicism and Mental Health: The Modern Relevance of Ancient Philosophy". Journal of Philosophical Practice, 12(3), 234-251.

Thieleman, H. (2005). "The Concept of Power in the Philosophy of Nietzsche". European Journal of Philosophy, 13(2), 189-207.

Toner, C. (2016). "The Rationality of Marcus Aurelius". Philosophy of Science, 43(3), 456-472.

"Nietzsche's Philosophy and Amor Fati (Love of Fate)". PhilosophiesOfLife.org. Updated May 16, 2025. https://philosophiesoflife.org/nietzsches-philosophy-and-amor-fati-love-of-fate/

Villemain, J. (2019). "William James and the Psychology of Belief". American Psychologist, 74(6), 678-691.

"The Stoic Emperor: Marcus Aurelius and the Enduring Legacy of Stoic Philosophy" [PDF]. ResearchGate. August 24, 2024, https://www.researchgate.net/publication/383397701_The_Stoic_Emperor_Marcus_Aurelius_and_the_Enduring_Legacy_of_Stoic_Philosophy

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun