Di salah satu sudut di belakang kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tercium aroma yang menjadi penanda harapan bagi perut-perut yang lapar. Aroma gurih kaldu sapi yang menguap ke udara, berpadu dengan wangi bawang goreng dan sambal yang khas. Aroma itu berasal dari sebuah gerobak sederhana, sebuah gerobak bakso di pinggir jalan yang telah menjadi panggung perjuangan sekaligus saksi bisu perjalanan hidup seorang perempuan tangguh bernama Bu Tris.
Kisah Bu Tris (55), adalah potret ketahanan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Jogja. Ia adalah cerminan dari ribuan pejuang ekonomi lainnya yang menggantungkan hidup pada kreativitas, kerja keras, dan ketabahan hati yang luar biasa. Sejak 2010, perantau asli Klaten ini telah mendedikasikan hidupnya untuk menyajikan sebungkus kebahagiaan bagi para pelanggannya, yang mayoritas adalah mahasiswa yang datang dan pergi silih berganti.
Ia tidak hanya menjual bakso biasa. Inovasi menjadi senjatanya untuk bertahan di tengah persaingan. Ada bakso mercon yang menantang lidah, bakso beranak yang penuh kejutan, hingga ada juga varian telur, keju, dan jamur yang memanjakan selera. Semua itu ia buat sendiri, dengan resep andalan dan kualitas yang selalu dijaga, sebuah bukti dedikasi yang tak pernah luntur.
Sebelum badai pandemi datang, dagangan Bu Tris adalah mesin ekonomi keluarga yang berjalan lancar. "Alhamdulillah, dulu itu sehari bisa habis 10 kilogram daging," kenangnya, matanya menerawang ke masa jaya. Dari hasil kerja kerasnya, ia dan suami tidak hanya bisa hidup layak di kota pelajar ini, tapi juga berhasil menyekolahkan sang anak hingga ke jenjang perkuliahan, sebuah pencapaian yang menjadi kebanggaan terbesarnya. Gerobaknya menjadi titik kumpul, tempat mahasiswa mengisi energi sebelum kembali bergulat dengan tugas dan skripsi.
Namun, pandemi COVID-19 datang sebagai pukulan telak yang tak pernah terbayangkan. Ketika kampus-kampus mengunci gerbangnya dan mahasiswa pulang kampung, jalanan di sekitar UIN Sunan Kalijaga yang biasanya hidup, berubah menjadi lorong yang sunyi. Bagi Bu Tris, ini adalah awal dari masa paling kelam dalam perjalanannya sebagai seorang pedagang.
"Kesulitannya pas corona. Usaha benar-benar di bawah. Tapi yang paling jatuh itu justru setelahnya, waktu kuliah masih libur panjang," ceritanya dengan nada getir. Meski tak ada pembeli, ia menolak untuk menyerah. Setiap hari, kompor di gerobaknya tetap menyala. "Kalau nggak jualan, mau makan apa?" Pertanyaan sederhana itu menjadi bahan bakar semangatnya untuk terus bertahan, bahkan di tengah keputusasaan yang paling dalam.
Perjuangannya tidak main-main. Saat itu, ia mencoba beradaptasi dengan berjualan aneka jajanan secara online, dari makaroni hingga sambal kemasan, dan apa pun yang bisa ia buat dengan tangannya. Namun, gelombang krisis terlalu besar untuk dibendung. Satu per satu, aset yang ia kumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun harus dilepas. Mobil, motor, bahkan rumah, semuanya dijual demi menjaga agar dapur tetap mengepul dan keluarga bisa terus makan.
Kini, dua tahun setelah badai mereda, lukanya masih terasa dalam. Kampus memang sudah ramai kembali, tapi kondisi bisnisnya belum pulih sepenuhnya. Angka berbicara lebih keras dari apa pun. "Dulu 10 kilogram sehari, sekarang 5 kilogram itu untuk tiga hari," ungkapnya, menunjukkan betapa drastis penurunannya. Penghasilannya kini hanya cukup untuk menyambung hidup. "Belum bisa buat nyelengi (menabung). Yang penting ada penghasilan untuk makan, yang penting sehat," katanya pasrah namun tetap tegar.
Di tengah ujian itu, karakter sejatinya terpancar terang. "Harus berani, harus kuat,harus semangat!" ucapnya, sebuah mantra yang ia ulang-ulang untuk menguatkan diri. “Bagaimana lagi, yang namanya hidup berdagang ya begini.” Kekuatan itu juga ia temukan dalam ikatan emosional yang tulus dengan para pelanggannya.
Momen-momen kecil menjadi pengobat lelahnya. Seperti saat para alumni yang kini telah sukses dan berkeluarga, datang kembali ke tempatnya berjualan sambil membawa anak-anak mereka. "Mereka nunjukin ke anaknya, 'ini lho jajanan Ayah/Ibu waktu masih kuliah'," tuturnya sambil tersenyum. Sebungkus baksonya telah menjadi bagian dari sejarah hidup seseorang, sebuah kenangan manis yang tak ternilai harganya.
Di tengah aset materi yang terpaksa ia lepaskan, pengakuan tulus inilah yang menjadi kekayaan tak ternilai harganya. Momen-momen ini adalah bukti bahwa usahanya selama ini bukan sekadar tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang menenun cerita dan menjadi bagian dari kenangan banyak orang.
Dan di ujung terowongan perjuangan, selalu ada cahaya harapan yang menanti. Impian Bu Tris kini sederhana namun mulia. "Semoga usaha ibu bisa kembali lagi seperti dulu," bisiknya penuh harap. "Biar bisa nabung lagi, biar bisa buat umroh."
Kisah Bu Tris bukanlah cerita tunggal. Ia adalah representasi dari ketahanan luar biasa para pelaku UMKM di Jogja dan seluruh Indonesia. Mereka adalah tulang punggung ekonomi yang paling merasakan hantaman krisis, namun juga yang paling gigih untuk bangkit kembali. Di setiap butir bakso yang ia sajikan, ada cerita tentang kejatuhan, ketabahan, dan sebuah harapan yang tak pernah lekang oleh waktu, bahwa esok akan lebih baik dari hari ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI